Jago dan Kekuasaan


Pemungutan suara Pemilu 2024 telah digelar. Namun, tahapan-tahapan lainnya masih berlanjut sampai saat ini. Hingga hari ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih merekapitulasi hasil suara yang telah dilewati secara berjenjang dari berbagai daerah di Indonesia dan juga dari pemilih luar negeri.

Ada yang mengkhawatirkan daripada soal pemilu yang telah kita lewati, yaitu belum melandainya ketegangan politik di republik ini. Itu karena bukan saja akibat ‘tingkah’ KPU sebagai penyelenggara menuai polemik, melainkan juga karena santernya soal isu kecurangan Pemilu (Pilpres) yang konon disponsori penguasa untuk memenangkan sepasang calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Gibran.

Kabar dari berbagai lembaga hitung cepat memang menempatkan pasangan Prabowo-Gibran unggul dari dua pesaingnya: AMIN (Anies-Muhamin) dan Ganjar-Mahfud. Prabowo-Gibran meraup suara lebih dari 50 persen. Karena itu, kubu Prabowo-Gibran suka cita. Kebahagian itu langsung diresponnya melalui pidato kemenangan yang diselenggarakan di Istora Senayan. Sebaliknya, kubu lawan menanggapinya melalui dengung genta hak angket di DPR. Mereka menganggap kemenangan Pasangan 02 itu karena adanya campurtangan kekuasaan (Jokowi).

Relasi Hercules dan Prabowo

Merespon adanya dinamika seperti itu, sebagai loyalis Prabowo, Hercules bersama ormas yang dipimpinnya Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB) mengirimkan pesan, bahwa ia akan mengawal kemenangan Prabowo sampai titik darah penghabisan. Baginya, Prabowo adalah harga mati untuk jadi Presiden 2024. “Saya siap taruh leher di meja, untuk mendukung Pak Prabowo sepenuh hati”, ucap Hercules sebagaimana dilansir banyak media nasional.

Mungkin sedikit saja orang yang tak kenal Hercules. Mantan penguasa Tanah Abang yang sudah malang melintang dalam dunia hitam Jakarta. Sebagai orang yang berpengaruh, ia memiliki banyak pengikut yang tak kenal takut, termasuk maut.

Perkenalannya dengan Prabowo terbangun semasa ia turut dalam medan pertempuran operasi Seroja di Timor-Timur 1978. Saat itu Hercules menjadi bagian dari Tenaga Bantuan Operasi (TBO) yang bertugas menjaga gudang logistik dan gudang persenjataan di medan operasi. Sementara itu, Prabowo sebagai Komandan Kompi Nanggala 28, Kopassus. Di dalam buku “Kick Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif” (2008), “bahwa Hercules memiliki hutang nyawa pada Prabowo”.

Ia pernah berada pada titik terendah dalam hidupnya. Suatu ketika pada saat akan mengirimkan logistik ke medan operasi, helikopter yang ia tungganginya mengalami kecelakaan. Akibatnya ia harus mendapatkan perawatan intensif karena mengalami luka berat, hingga separuh dari tangan kanannya harus di amputasi. Rupanya di dalam kondisi ini Prabowo yang menyelamatkannya. Maka, tak heran bila Hercules sangat loyal pada Prabowo. Hubungan patron itu bukan semata-mata GRIB (ormas yang dipimpin Hercules) bagian dari struktur Gerindra (partai Prabowo), tapi lebih karena dibentuk oleh sejarah.

Jago dan Kekuasaan

Sejarah seringkali bekerja dalam geraknya yang spiral. Cerita Hercules (dalam arti orang kuat; jago) dan Prabowo (dalam konteks Pilpres; kekuasaan) ini bukan hal baru. Dalam sejarah, relasi jago dan kekuasaan memang berkait. Di mana ada kekuasaan di situ tersimpan kekuatan. Siapa saja yang memiliki kekuatan yang dibuktikan dengan kekuatan fisikal ataupun material, maka orang tersebut memiliki potensi untuk berkuasa seperti Luthfy (2017) tuliskan.

Pola pikir masyarakat kita yang sederhana dan tradisional lebih karena sejarah terbentuk atau terebutnya kekuasaan suatu daerah atau kerajaan pada masa lalu yang memang lebih mengedepankan “adu ketangkasan” daripada “adu gagasan”, “angkat senjata” ketimbang “angkat bicara”. Maka, tak mengherankan jika seorang calon pemimpin atau calon raja di dalam sistem tradisional harus memiliki latar pengetahuan dan juga keterampilan bertarung.

Oleh karena itu, menjadi lazim bila dahulu dilingkungan keraton terdapat para pendekar atau guru silat. Perannya bukan saja sebagai benteng istana, tetapi juga untuk melatih anak-anak keluarga istana, termasuk pangeran atau calon raja. Diilustrasikannya, seperti sosok Guru Drona dalam Mahabarata yang melatih ketangkasan Kurawa dan Pandawa.

Robert Cribb (2010) dalam satu karyanya “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949” menyebut, fenomena jago, jawara dan/atau bandit merupakan fenomena lama dari potret kehidupan sosial di Jawa. Pada periode klasik, Jawa merupakan tempat persembunyian ideal bagi orang-orang yang hidup di luar tatanan hukum masyarakat. Populasi di Jawa, saat itu, tentu belum sepadat hari ini dan hutan-hutan masih lebat, sehingga menutupi kampung-kampung atau pedukuhan. Catatan kejadian masa itu kerap menyebutkan sepak terjang para bandit atau rampok yang menyerang pelancong di hutan atau gunung.

Untuk itu, jago atau jawara amat dibutuhkan untuk dapat mengendalikan sepak terjang para rampok, penyamun, bandit, juga pemberontak. Nantinya, pengendalian terhadap mereka bisa jadi ukuran keberhasilan kepemimpinan seseorang atau pemerintahan sebuah wilayah. Sebagai konpensasinya, Jago yang sukses mengatasi masalah sosial tersebut dan atas kesediaannya mengakui otoritas pemerintah, sekaligus untuk membatasi sepak terjang mereka, seringkali kemudian ia diangkat sebagai pemimpin sebuah daerah vazal di bawahnya: bisa bupati, wadana, lurah, dst. Fenomena demikian merupakan gambaran khas masa perang, pemberontakan dan krisis ekonomi.

Kendati demikian, mengamati posisi para jago dalam sejarah, harus juga dilihat dari sudut pandang lainnya. Relasi jago dan politik kekuasaan semacam tidak ada pengaturan yang pasti dan tidak selamanya berjalan mulus. Dengan kata lain bersifat dinamis, seiring pasang-surutnya kekuasaan negara/kerajaan. Peter Carey, dalam penelitiannya mengenai perang Diponegoro,  mengisahkan bagaimana peran para jago digunakan bukan hanya untuk melindungi kekuasaan. Akan tetapi sebagai pelindung rakyat jelata dari penindasan kolonial, bahkan menjadi bagian dari tentara Diponegoro.

Contoh lainnya, misal, dalam babak sejarah Indonesia modern, Orde Baru. Jago pernah direkrut penguasa untuk kampanye pada Pemilu 1982 sebagai “tukang pukul”, bahkan jadi agen provokator. Namun, pada sisi lain, sekitar tahun 1983-1985, pemerintah malah melancarkan gerakan pemusnahan terhadap mereka yang kemudian dikenal sebagai gerakan “penembakan misterius”: Petrus.

Jawara atau jago seakan memiliki paradoks dalam peran sosial politiknya. Ini membuat publik pun seringkali terbelah jadi dua dalam menilainya. Namun, memang dualisme ini lah yang menyebabkan posisi mereka senantiasa terus dipelihara dan dibutuhkan hingga saat ini. ***

Terbit pada 8 Maret 2024, di Harian Umum Pikiran Rakyat.

Komentar

Paling Banyak Dilihat

TNI dan Politik

Gayatri Cerbon itu Bernama Eva Nur Arovah: Sebuah Obituari

ROMAN MOMI KYOOSYUTU SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL INDRAMAYU MASA PENDUDUKAN JEPANG

Mari Bertasbih Budaya "Lama" !

Tinggalan Arkeologis Situs Astana Gede Kawali - Ciamis