Gayatri Cerbon itu Bernama Eva Nur Arovah: Sebuah Obituari
“Bahwa menerima kehilangan itu berat,
karena kami sudah begitu dekat, serupa kapas dengan kain
saya kapas dalam kainnya”
Ungkapan di atas memberi penggambaran bahwa kehilangan atas orang atau apa-apa yang kita cintai, kagumi, milikki memang menyedihkan sekaligus rumit diterima oleh manusia. Tentu itu manusiawi. Sebab semakin dekat kita dengan orang yang pergi atau meninggal, semakin besar pula rasa sedih yang dirasakan.
Kematian adalah takdir. Kematian akan menyasar siapa saja dan kapan saja. Siapa pun tak bisa menolak ajal. “Ajal semakin akrab”, sebagaimana Sastrowadojo (J.J. Kusni, 2008) tuliskan pada salah satu puisinya: “Matahari akan direnggut malam ditenggelamkan ke hulu sungai atau laut. Bulan pasti dihalau matahari. Bulan dan matahari barangkali berdampingan di belahan kutub bumi sebagai suatu kekecualian. Tapi ajal tidak mengecualikan siapa pun”. Dalam menghadapi “ajal yang semakin akrab ini”, Chairil menjawab dengan lantang: “sekali berarti sudah itu mati”.
Hidup akan terasa terlalu singkat bagi seorang cendekiawan, agamawan, budayawan, seniman, atau bagi seorang pemimpi. Apalagi, jika ajal dipandang sebagai suatu kekalahan tokoh ulet seperti Ahasveros yang dikutuk-disumpahi Eros. Ilmu, cinta, dan mimpi akhirnya menjadi suatu usaha penghabisan anak manusia memberi arti pada waktu yang singkat untuk kita bernafas.
Mbak Eva – biasa saya memanggil – dengan ilmu, cinta dan mimpinya yang seluas samudera, dengan maksimal berusaha memberikan arti pada kurun waktu hidup yang singkat dan terbatas. Kurun waktu yang (sekali lagi) terlalu singkat daripada keinginan cendekiawan, budayawan, seniman atau kebanyakan pemimpi. Memberi arti pada soal keislaman, kebudayaan, kesejarahan. Tak ketinggalan ihwal kemanusiaan. Ia memaksimalkan usahanya menjadi anak manusia pemimpi yang manusiawi. Seorang pembelajar dan pencinta yang konsekwen.
Perkenalan
Saya memang terbilang baru dalam mengenal Mbak Eva. Kali pertama saya bertemu Mbak Eva berlangsung pada pertengahan 2014. Saat itu kami sama-sama menempuh studi pada Prodi Ilmu Sastra Konsentrasi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Bedanya, saya mengambil jenjang magister (S-2), sementara Mbak Eva pada jenjang doktoral (S-3). Itulah awal pertemuan sekaligus perkenalan kami. Walau perlu juga disampaikan, saat di Unpad, sejujurnya, saya belum terlalu akrab (masih sungkan) dengannya, dikarenakan baru sekali dua kali kami bertemu.
Jangankan untuk saling curhat, diskusi atau nimba ilmu lebih jauh, sekadar ngobrol pun tidak lah lebih dari 5 halaman bila dituangkan dalam kertas. Itu karena sejak kali pertama saya berjumpa dengannya, posisi saya tengah melakukan penyusunan tugas akhir (tesis). Pada lain sisi, Mbak Eva baru saja memulai studinya pada jenjang doktoral (S-3). Artinya intensitas perjumpaan kami yang minim menjadi tersendatnya keakraban.
Meski demikian dari perjumpaan dan perkenalan yang masih sangat amat dini itu, Mbak Eva memperlihatkan kesan sebagai pribadi ‘paripurna’. Pribadi yang memancarkan keteladanan. Sosoknya yang juga keibuan serta gaya komunikasinya yang humble, ramah dan juga merangkul, mencerminkan bahwa ia tergolong manusia cerdas.
Sosok ‘Paripurna’
Profesi keseharian Mbak Eva sebagai dosen. Ia merupakan dosen pada Prodi Pendidikan Sejarah di STKIP Pangeran Dharma Kusuma Indramayu sebagai induk homebase-nya. Disamping ia pun turut berbagi menyebarkan ilmu dan pengetahuannya di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Universitas Swadaya Gunung Djati (Unswagati) sebagai dosen tidak tetap. Kiprahnya sebagai dosen itulah yang kemudian mengintimkan kedekatan saya dengan Mbak Eva terajut setelah perjumpaan awal tadi di tahun 2014.
Mbak Eva bergabung ke STKIP Pangeran Dharma Kusuma Indramayu lebih awal dari saya sekitar 2013. Ia menjadi satu dari empat dosen yang berstatus tetap sejak Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Pangeran Dharma Kusuma Indramayu berdiri.. Adapun, ketiga dosen tetap lainnya adalah, Dr. Wahyu Iryana, Dr. Roni Tabroni, dan Dr. (Cand.) Nurhata.
Sementara itu, saya masuk dan bergabung menjadi bagian dari keluarga besar STKIP Pangeran Dharma Kusuma Indramayu pada pertengahan 2015. Saya pun ditempatkan di Prodi Pendidikan Sejarah karena latar keilmuan yang saya miliki.
Di tempat ini lah kemudian saya mengenal Mbak Eva lebih dekat lagi. Setelah saya mengenal Mbak Eva jauh lebih dekat, ia bukan hanya menempatkan sebagai rekan kerja saja yang sama-sama menjalankan aktivitas akademik di kampus, tetapi juga kehadirannya bak seorang ibu, kakak, dan juga guru bagi saya ataupun ketiga rekan lainnya. Keempat fungsi tersebut mampu diperankan Mbak Eva sekaligus.
Kami berlima banyak menjalani hari-hari bersama, membangun mimpi membawa nama Prodi Pendidikan Sejarah khususnya, dan STKIP Pangeran Dharma Kusuma Indramayu umumnya terbang bak Rajawali. Kami juga sering menghabiskan waktu bersama. Yang kesemuanya itu menunjukkan betapa bahwa kami ini bukan hanya merajut pertemanan, tetapi persaudaraan dengan prinsip silih asah ku pangabisa, silih asih ku pangasih, silih asuh ku pangaweruh yang kemudian bermuara pada prinsip silih wangikeun. Sehingga dalam ‘guyonan’ saya pernah terucap: “saya percaya bahwa angka ganjil kerap ‘dikeramatkan’. Lima dalam rukun Islam dan isi butir Pancasila. Papat kalima tunggal dalam ilmu kebathinan Jawa-Sunda. Eh, Puskesmas ikut-ikutan: empat sehat lima sempurna.”
Ungkapan itu hanyalah metafora, memuat maksud bahwa dengan dasar persaudaraan, keguyuban, kita berlima harus bisa membuat sejarah, paling tidak, sejarah penting bagi Prodi Pendidikan Sejarah, tempat kami bernaung. Betapa tidak, di tahun 2016 Prodi Pendidikan Sejarah berhasil meraih akreditasi B dengan prosesi assesmen yang berlangsung begitu cepat. Itu terjadi karena peran penting Mbak Eva di dalamnya (tanpa menihilkan yang lain). Mbak Eva juga yang berhasil membawa almamater kampus menembus lingkaran Departemen Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada. Dalam ingatan saya, ia pernah dua kali diundang sebagai promotor dalam ujian terbuka promosi doktor mahasiswa sejarah UGM.
Banyak cerita yang menunjukkan betapa Mbak Eva adalah sosok penting dan inspiratif, sehingga layak dijadikan panutan karena keluasan ilmu dan keluhuran adabnya. Ia tidak saja cerdas secara emosional, melainkan juga cerdas intelektual, dan juga spiritual. Cap itu layak disematkan kepadanya: Pertama, Mbak Eva merupakan seorang Hafidzah. Kecakapannya dalam menghafal ayat-ayat Qur’an disertai tafsir-tasirnya, sehingga ia mendapat penghargaan dari pemerintah provinsi Jawa Barat sebagai penerima beasiswa doktoral yang kemudian dijalaninya di Universitas Padjadjaran (2014-2018). Saya menjadi saksi betapa Pemprov Jawa Barat waktu itu mengapresiasinya melalui pemberian beasiswa kepada Mbak Eva yang dilangsungkan di sebuah ruang auditorium, milik Surat Kabar Pikiran Rakyat tahun 2014. Pemberian beasiswa tersebut diberikan langsung oleh Wakil Gubernur Jawa Barat kala itu, Bapak Dedy Mizwar.
Mbak Eva terlahir dari latar keluarga pesantren. Dalam darahnya mengalir darah biru santri. Ayah dan kakek-buyutnya merupakan seorang kyai dari Balerante, Palimanan. Oleh karenanya, sejak kecil ia sudah menerima pengajaran-pengajaran ilmu keagamaan yang begitu mapan. Berkat keilmuannya di bidang agama, Mbak Eva pernah keliling Eropa untuk mengajarkan anak-anak Indonesia yang berada di sana belajar Al-Qur’an.
Kedua, Mbak Eva adalah seorang cendekiawan sekaligus budayawan Cirebon. Ia merupakan doktor sejarah pertama dari Tanah Cirebon yang berasal dari latar perempuan (bisa jadi sampai detik ini satu-satunya doktor sejarah asli Cirebon yang berlatar perempuan, maaf kalau keliru). Suatu kenyataan yang masih terbilang jarang dicapai oleh seorang perempuan desa meraih pendidikan paling tinggi. Apalagi yang tertarik pada kajian-kajian kesejarahan.
Keseriusannya di dalam menggeluti alam kesejarahan kemudian ia jadikan daerah kelahirannya (Cirebon) sebagai plot dalam tiap penelitiannya. Itu terlacak sejak beliau menempuh studi magister (S-2) di Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada dengan judul tesis “Pesantren dan Pasar di Pedesaan Cirebon: Agama dan Ekonomi di Tegalgubug Abad XX”. Kefokusannya dalam mengkaji Cirebon dilanjutkan ke dalam disertasi, sebuah prasyarat dalam memperoleh gelar doktor di bidang Ilmu Sastra Konsentrasi Sejarah Universitas Padjadjaran. Adapun disertasi yang ditulisnya berjudul “Cirebon 1681-1945: Dinamika Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya”.
Selain tesis dan disertasi, Mbak Eva memiliki beberapa karya ilmiah buah penelitian dan pemikirannya yang tergolong ke dalam makalah atau artikel ilmiah. Beberapa karya itu di antaranya: “Islam di Karesidenan Cirebon” yang ditulisnya bersama-sama dengan rekan seperjuangannya seperti Wahyu Iryana, Galun Eka Gemini, Roni Tabroni dan Nurhata. Buku itu kemudian diterbitkan pada 2019 oleh Penebar Media Pustaka. Berikutnya adalah “Prosiding” Muktamar Pemikiran Santri Nusantara 2018: Islam, kearifan lokal dan tantangannya. Ada juga “Wewekas dan Ipat-ipat Sunan Gunung Djati Beserta Kesesuainnya dengan Al-Qur’an”, diterbitkan pada Jurnal Patanjala. Dan karya-karya lainnya seperti “Budaya Bahari: Apresiasi di Cirebon”, Pantai, Rendah dan Tinggi: Kesatuan Geografis dalam Mendukung Perekonomian Cirebon dari Abad XIX-XX”, diterbitkan di Paramita: Jurnal Kajian Sejarah (2018) dan lain sebagainya.
Keseriusan dan ketekunannya dalam mengkaji Kecirebonan, sehingga banyak orang menyematkannya sebagai cendekiawan dan budayawan Cirebon. Kata Cirebon itu menunjukkan bahwa ia tidak semata-mata lahir dan tinggal di Cirebon saja, tetapi juga karena pemahamanan dan pengetahuannya soal Kecirebonan.
Ketiga, Mbak Eva adalah seorang aktivis dan organisatoris. Perjalanannya dalam dunia keorganisasian ia tempuh sejak di IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Tercatat ia pernah menjadi Ketua IPPNU Kab. Cirebon (2001-2004). Setelah dari IPPNU ia melanjutkan perjalanan organisasinya di PC Fatayat NU Kab. Cirebon dan menduduki jabatan sebagai ketua Litbang. Kemudian ia aktif menjadi Wakil Ketua Fordaf Jawa Barat, anggota Ikatan Hafidzah Al-Qur’an (IHQ) Kab. Cirebon. Bersama ulama perempuan lainnya, Yu Mas dari Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin, ia ikut menggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Babakan Ciwaringin, Cirebon. Selain kiprah di organisasi keagamaan, posisinya sebagai akademisi, ia aktif pula pada organisasi profesi kesejarahannya. Mbak Eva menjadi pengurus inti pada Masyarakat Sejarawan Indonesia Wilayah Jawa Barat (2022-2026) dan juga Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI) Wilayah Jawa Barat (2021-2025).
Dari ketiga variable yang melekat pada diri Mbak Eva, tidaklah berlebihan kalau saja saya menyebutnya sebagai sosok ‘paripurna’. Ya, Mbak Eva memang sosok yang luar biasa. Kecerdasannya, kesederhanaannya, keuletannya, kealimannya, jiwa sosial, semangat belajarnya, sifat keibuannya dan sifat-sifat positif lainnya mampu mengubah hubungan dari pertemanan menjadi persahabatan, dari persahabatan menjadi persaudaraan tanpa membeda-bedakan usia, latar belakang, isi kepala, termasuk “isi dompet”.
Serupa Gayatri
Itulah gambaran manusia sejati bernama Eva Nur Arovah. Sosoknya yang luar biasa itu mengingatkan saya pada satu tokoh di era kesejarahan Majapahit, Gayatri Sri Rajapatni. Gayatri adalah permaisuri Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Gayatri kerap disebut-sebut sebagai tokoh di balik layar kejayaan Majapahit. Ibu suri yang melahirkan raja-raja Majapahit.
.
Gayatri adalah cerminan manusia yang bukan haus kekuasaan. Perempuan prajnaparamita (Dewi Kebijaksanaan) yang memilih jalan hidupnya untuk menjadi seorang petapa dan pembelajar. Kehidupan duniawi tidak ditempatkannya sebagai sesuatu yang utama.
Gayatri dan Eva betul memang dua tokoh berbeda dalam lintas sejarah, namun memiliki kemiripan dalam kepribadian. Keduanya adalah manusia yang tidak haus kekuasaan. Keduanya tidak sekadar gemar bicara kebaikan, tapi juga sebagai pelaku kebajikan. Syariat dijalaninya dengan kata dan sikap.
Untuk itu, keteraturan, keseimbangan atau harmonisasi menjadi sesuatu yang diperjuangkannya. Sebaliknya, apa-apa yang kemudian menyebabkan disharmonisasi akan menjadi sesuatu yang ditentangnya. Sebagaimana yang selalu Mbak Eva ingatkan kepada tiap orang tentang bahayanya sikap berlebihan atau fanatisme sempit. Baginya fanatisme sempit itu bisa ‘membunuh’. Membunuh persaudaraan, kekerabatan dan kebenaran itu sendiri.
Dalam filosofi manusia Jawa, fanatisme sempit itu terlukiskan dalam Abjad Hanacaraka. Abjad Jawa ini tidak sekadar huruf, tetapi narasi sebuah kisah. Penuh filosofi hidup. Malah tidak sedikit orang meyakini sebagai sebuah mantra. Garis besarnya adalah ada seorang utusan, membawa surat, tidak percaya, berkelahi, dan sama-sama mati.
Kronologisnya, Ajisaka punya dua orang kepercayaan: Sembada dan Dora. Sembada ditinggalkan di Pulau Majethi, ia diberi tugas menjaga pusaka. Satu lagi bernama Dora. Dora ikut Ajisaka mengembara ke berbagai negeri. Bertahun-tahun kemudian, Ajisaka menjadi raja di Medhangkamulan. Ia menyuruh Dora mengambil keris pusaka yang dijaga Sembada. Surat yang di bawa ditunjukkan, tetapi Sembada tetap kukuh tidak percaya dan panceg menjaga pusaka itu sesuai amanah tuannya, sang Ajisaka. Alhasil, keduanya pun berkelahi sampai dua-duanya mati. Esensi dari kisah itu adalah bahwa fanatisme sempit itu betul-betul membahayakan.
Kini Mbak Eva sudah kembali pulang, mulih ka jati mulang ka asal, setelah menjalani tindakan operasi Usus Buntu di RS Mitra Plumbon (16/08) dan beberapa penyakit penyertanya. Mbak Eva meninggal di usia 48 Tahun, meninggalkan satu orang anak bernama Moch. Kresnajati. Hasil pernikahan dengan suami pertamanya, Alm. Ahmad Syubbanudin Alwy (Penyair Cerbon).
Mbak Eva dikebumikan bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-78. Seolah Gusti Allah memberikan bukti konkrit betapa sejarawannya sosok Eva Nur Arovah dikebumikan di tanggal kemerdekaan. Ia berpamit menuju bentangan sunyi yang merdeka. Merdeka dari penyakit dan merdeka husnul khotimah bertemu Kang Murbeng Alam, Allah Swt.
Tanah Balerante - Cirebon kini memeluk Mbak Eva dengan damai. Tempat kelahiran sekaligus menjadi tempat persemayamannya yang terakhir. Terimakasih atas warisan-warisan positif yang telah Mbak tebarkan. Bahagialah dalam pelukan Tuhan. Kebaikan dan karya-karyamu abadi. Hanya ini yang bisa saya sampaikan kepada para pembaca tentang dirimu, Mbak. Allahumagfirlaha warhamha wa afiha wafu’anha.

Komentar
Posting Komentar