TNI dan Politik
.jpg)
Dalam konteks di Indonesia, relasi sipil-militer mengalami
pasang surut. Juga keterlibatan militer dalam percaturan politik sering kali mengundang
pro dan kontra di banyak kalangan. Malah, dalam sejarahnya, hubungan sipil-militer
dalam panggung politik kerap di warnai ketegangan, drama dan tragedi. Peristiwa
17 Oktober 1952 dan peristiwa G 30 S adalah dua contoh peristiwa dramatis yang memperlihatkan
bagaimana relasi sipil-militer dalam panggung politik Indonesia diwarnai
tragedi.
Ketika memasuki Orde Baru, militer menjadi komponen terpenting
dalam pemerintahan. Militer memainkan peran sentralnya bukan saja dalam bidang
pertahanan, tetapi juga merangsek pada urusan sosial, politik dan ekonomi.
Nyaris tiap-tiap kebijakan pemerintah diputuskan dan direalisasikan melalui
tangan militer. Oleh karena itu, militer menjadi kekuatan utama dalam kekuasaan
Orde Baru. Sementara kelompok sipil menjadi objek kekuasaan saja.
Baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif ,
nongol pejabat berlatar militer. Pun untuk jabatan komisaris atau direksi di
perusahaan-perusahaan milik negara tak sedikit disandang kelompok militer.
Sampai-sampai yang menjadi kepala daerah pun dijabat oleh militer. Peran
sentral militer yang demikian dominan itu menyebabkan tersumbatnya saluran demokrasi
dan menjadi sumber ancaman kebebasan sipil. Maka, ketika gelombang reformasi
1998 bergulir, penghapusan Dwifungsi ABRI menjadi salah satu agenda penting reformasi.
Pemicu
Kita ke masa lalu lagi dulu. Meneropong bagaimana muasal keterlibatan
militer dalam perpolitikan Indonesia. Adalah kenyataan sejarah kalau militer
(TNI) merupakan “anak kandung” Revolusi Indonesia. Hal ini mengejawantahkan kalau
TNI membidani kemerdekaan Indonesia. Dimana TNI beserta segenap rakyat
Indonesia berjuang merebut dan menegakkan kemerdekaan Indonesia dari tangan
Sekutu dan NICA yang hendak kembali menguasai Indonesia. Dari itu pula, boleh
dikatakan, bahwa kemerdekaan bangsa ini ditempuh melalui proses perjuangan
senjata (salah satunya), bukan diperoleh berdasarkan pemberian.
Atas dasar itulah, TNI seakan memiliki tanggung jawab
untuk turut andil dalam menentukan nasib Indonesia ke depan melalui kegiatan
dan/atau penentuan kebijakan-kebijakan politik. Lebih-lebih bila negara dalam “keadaan
genting”, seperti adanya ketidakstabilan politik. Hal ini selaras dengan apa yang
dikatakan Sundhausen (1986), bahwa keterlibatan militer dalam ranah politik
disebabkan oleh adanya “kegagalan sistem politik yang dikelola oleh para pemimpin
politik sipil untuk menjamin ditaatinya norma dan proses politik”.
Huntington (1968: 196) jauh lebih tegas mengemukakan, “intervensi
militer tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh
militer itu sendiri, seperti kepentingan kelas, kepentingan personalistik dan
kepentingan golongan”. Menurutnya, golongan militer merebut peran non-militer
sebagai akibat “tidak stabilnya sistem politik dan kegagalan pemimpin politik
dalam mengelola negara”.
Apabila masyarakat tak memiliki proses yang sudah
melembaga untuk mengartikulasikan tujuan dan menyelesaikan konflik, maka setiap
kelompok masyarakat yang memiliki keluhan, tuntutan atau gagasan politik akan
berupaya mempengaruhi politik. Tentu dengan cara-cara yang berbeda,
mencerminkan sifat dan kemampuannya yang khas. Orang kaya, misalnya, akan
melakukan tindakan menyuap; mahasiswa dan massa rakyat akan melakukan
demonstrasi; buruh melakukan mogok kerja; militer akan melakukan kudeta.
Dengan tidak adanya prosedur yang sudah diterima, segala
bentuk aksi akan dijumpai di dalam gelanggang politik. Teknik-teknik intervensi
militer relatif lebih efektif sekaligus dramatik daripada yang lainnya. Hal ini
jadi mengingatkan pada ucapan Hobbes, “Apabila tidak ada apa-apa lagi, maka
pentungan menjadi senjata paling ampuh” (Sundhaussen, 1986: 458).
Menangkal
Memperhatikan apa yang dikemukakan Sundhaussen dan
Huntington menjadi cukup riskan kalau saja TNI “turun gunung” kembali
berpolitik. Asumsi ini cukup beralasan, terlebih saat ini kita masih dalam rongrongan
pandemi Covid-19 yang berdampak luas pada bidang kehidupan: ancaman resesi
ekonomi yang tampak di depan mata. Tengah riak nya juga polemik RUU Cipta Kerja
yang membakar amarah rakyat di sejumlah daerah sehingga memanaskan suhu
sosial-politik bangsa ini sejak beberapa hari lalu. Ditambah rencana pelaksanaan
Pilkada serentak pada 20 Desember 2020. Tentu akan memengaruhi konstalasi
politik tanah air.
Maka, sudah seharusnya pemerintah mengintesifkan konsolidasi
kekuatan politik sipil dan menjalankan fungsi-fungsinya yang bermuara pada
terciptanya kestabilan politik dan ekonomi. Karena (kembali lagi) bila
merenungi pandangan Sundhaussen dan Huntington, stabilitas politik menjadi
“harga mati” untuk menangkal TNI tidak lagi berpolitik.
Memang pandangan itu, bisa jadi, tidak sepenuhnya benar. Juga
tulisan ini dibuat sama sekali tidak bermaksud mengompori, memecah belah dan
memprovokasi, atau apapun itu istilahnya yang bermaknakan negatif. Tulisan ini
hanya saja sebuah opini dan amatan penulis yang bertujuan menjadi renungan para
pemangku kebijakan, sehingga traumatis masyarakat di masa lalu (Orde Baru) tidak
terulang lagi. Karena sesungguhnya pengalaman pahit Orde Baru cukup membekas
dalam sanubari masyarakat kita.
Adapun upaya itu saja kiranya tak cukup. Melepas
ketergantungan terhadap kelompok militer sebagai penyangga kekuasaan tak kalah
pentingnya untuk dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah. Penulis memandang
akhir-akhir ini kebijakan pemerintah belum menunjukkan ke arah itu. Tersebutlah,
pemberian 289 jabatan baru di kementerian dan lembaga bagi para perwira TNI (aktif)
sesuai Perpres 66 Tahun 2019; terbitnya perpres 37 Tahun 2019 tentang Jabatan
Fungsional TNI yang mengindikasikan dilibatkannya militer dalam urusan sipil. Hal
itu menggambarkan konsesi pemerintah dalam membereskan kelebihan jumlah
perwira.
Jika itu memang benar pemicunya, ke depan harus dilakukan
penataan yang tepat dalam proses seleksi calon perwira berdasarkan kebutuhan. Selain
itu, agar dalam penyelenggaran kenaikan pangkat perlu memperhatikan unsur senioritas.
Jangan sampai unsur senioritas terabaikan atas nama penghargaan atau prestasi.
Celakanya, kalau kenaikan pangkat dilakukan atas dasar like and dislike atau kedekatan
emosional (balas budi) semata. Maka, yang ada hanya akan semakin menambah
daftar panjang nama-nama perwira tanpa struktur. Yang pada gilirannya akan
memperbesar peluang ditempatkannya militer pada ranah sipil. Persis sebagaimana
yang terjadi hari ini, banyak ditempatkannya para perwira aktif (TNI-Polri)
dilingkungan Kementerian BUMN dan/atau pada lembaga lainnya.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat dijadikan renungan dan refleksi di momentum hari ulang tahun TNI yang ke-75. Semoga TNI semakin profesional, baik secara struktur maupun kultur. Dirgahayu TNI.***
Terbit pada 22 Oktober 2020, di Harian Umum Kabar Cirebon.
Komentar
Posting Komentar