TNI dan Politik

 

Samuel Huntington (1957), mengelompokkan tentara dalam kerangka relasi sipil-militer menjadi dua: tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara pretorian, diilustrasikan, semacam tentara penakluk (warior), memiliki kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dan menentukan kebijakan-kebijakan politik. Sedangkan tentara profesional adalah tentara yang bekerja atas “panggilan suci”, mengabdi pada negara dengan tujuan memelihara kedaulatan negara (satu tugas pokok).

Dalam konteks di Indonesia, relasi sipil-militer mengalami pasang surut. Juga keterlibatan militer dalam percaturan politik sering kali mengundang pro dan kontra di banyak kalangan. Malah, dalam sejarahnya, hubungan sipil-militer dalam panggung politik kerap di warnai ketegangan, drama dan tragedi. Peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa G 30 S adalah dua contoh peristiwa dramatis yang memperlihatkan bagaimana relasi sipil-militer dalam panggung politik Indonesia diwarnai tragedi.

Ketika memasuki Orde Baru, militer menjadi komponen terpenting dalam pemerintahan. Militer memainkan peran sentralnya bukan saja dalam bidang pertahanan, tetapi juga merangsek pada urusan sosial, politik dan ekonomi. Nyaris tiap-tiap kebijakan pemerintah diputuskan dan direalisasikan melalui tangan militer. Oleh karena itu, militer menjadi kekuatan utama dalam kekuasaan Orde Baru. Sementara kelompok sipil menjadi objek kekuasaan saja.

Baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif , nongol pejabat berlatar militer. Pun untuk jabatan komisaris atau direksi di perusahaan-perusahaan milik negara tak sedikit disandang kelompok militer. Sampai-sampai yang menjadi kepala daerah pun dijabat oleh militer. Peran sentral militer yang demikian dominan itu menyebabkan tersumbatnya saluran demokrasi dan menjadi sumber ancaman kebebasan sipil. Maka, ketika gelombang reformasi 1998 bergulir, penghapusan Dwifungsi ABRI menjadi salah satu agenda penting reformasi.

Pemicu

Kita ke masa lalu lagi dulu. Meneropong bagaimana muasal keterlibatan militer dalam perpolitikan Indonesia. Adalah kenyataan sejarah kalau militer (TNI) merupakan “anak kandung” Revolusi Indonesia. Hal ini mengejawantahkan kalau TNI membidani kemerdekaan Indonesia. Dimana TNI beserta segenap rakyat Indonesia berjuang merebut dan menegakkan kemerdekaan Indonesia dari tangan Sekutu dan NICA yang hendak kembali menguasai Indonesia. Dari itu pula, boleh dikatakan, bahwa kemerdekaan bangsa ini ditempuh melalui proses perjuangan senjata (salah satunya), bukan diperoleh berdasarkan pemberian.

Atas dasar itulah, TNI seakan memiliki tanggung jawab untuk turut andil dalam menentukan nasib Indonesia ke depan melalui kegiatan dan/atau penentuan kebijakan-kebijakan politik. Lebih-lebih bila negara dalam “keadaan genting”, seperti adanya ketidakstabilan politik. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Sundhausen (1986), bahwa keterlibatan militer dalam ranah politik disebabkan oleh adanya “kegagalan sistem politik yang dikelola oleh para pemimpin politik sipil untuk menjamin ditaatinya norma dan proses politik”.

Huntington (1968: 196) jauh lebih tegas mengemukakan, “intervensi militer tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh militer itu sendiri, seperti kepentingan kelas, kepentingan personalistik dan kepentingan golongan”. Menurutnya, golongan militer merebut peran non-militer sebagai akibat “tidak stabilnya sistem politik dan kegagalan pemimpin politik dalam mengelola negara”.

Apabila masyarakat tak memiliki proses yang sudah melembaga untuk mengartikulasikan tujuan dan menyelesaikan konflik, maka setiap kelompok masyarakat yang memiliki keluhan, tuntutan atau gagasan politik akan berupaya mempengaruhi politik. Tentu dengan cara-cara yang berbeda, mencerminkan sifat dan kemampuannya yang khas. Orang kaya, misalnya, akan melakukan tindakan menyuap; mahasiswa dan massa rakyat akan melakukan demonstrasi; buruh melakukan mogok kerja; militer akan melakukan kudeta.

Dengan tidak adanya prosedur yang sudah diterima, segala bentuk aksi akan dijumpai di dalam gelanggang politik. Teknik-teknik intervensi militer relatif lebih efektif sekaligus dramatik daripada yang lainnya. Hal ini jadi mengingatkan pada ucapan Hobbes, “Apabila tidak ada apa-apa lagi, maka pentungan menjadi senjata paling ampuh” (Sundhaussen, 1986: 458).

Menangkal

Memperhatikan apa yang dikemukakan Sundhaussen dan Huntington menjadi cukup riskan kalau saja TNI “turun gunung” kembali berpolitik. Asumsi ini cukup beralasan, terlebih saat ini kita masih dalam rongrongan pandemi Covid-19 yang berdampak luas pada bidang kehidupan: ancaman resesi ekonomi yang tampak di depan mata. Tengah riak nya juga polemik RUU Cipta Kerja yang membakar amarah rakyat di sejumlah daerah sehingga memanaskan suhu sosial-politik bangsa ini sejak beberapa hari lalu. Ditambah rencana pelaksanaan Pilkada serentak pada 20 Desember 2020. Tentu akan memengaruhi konstalasi politik tanah air.

Maka, sudah seharusnya pemerintah mengintesifkan konsolidasi kekuatan politik sipil dan menjalankan fungsi-fungsinya yang bermuara pada terciptanya kestabilan politik dan ekonomi. Karena (kembali lagi) bila merenungi pandangan Sundhaussen dan Huntington, stabilitas politik menjadi “harga mati” untuk menangkal TNI tidak lagi berpolitik.

Memang pandangan itu, bisa jadi, tidak sepenuhnya benar. Juga tulisan ini dibuat sama sekali tidak bermaksud mengompori, memecah belah dan memprovokasi, atau apapun itu istilahnya yang bermaknakan negatif. Tulisan ini hanya saja sebuah opini dan amatan penulis yang bertujuan menjadi renungan para pemangku kebijakan, sehingga traumatis masyarakat di masa lalu (Orde Baru) tidak terulang lagi. Karena sesungguhnya pengalaman pahit Orde Baru cukup membekas dalam sanubari masyarakat kita.

Adapun upaya itu saja kiranya tak cukup. Melepas ketergantungan terhadap kelompok militer sebagai penyangga kekuasaan tak kalah pentingnya untuk dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah. Penulis memandang akhir-akhir ini kebijakan pemerintah belum menunjukkan ke arah itu. Tersebutlah, pemberian 289 jabatan baru di kementerian dan lembaga bagi para perwira TNI (aktif) sesuai Perpres 66 Tahun 2019; terbitnya perpres 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI yang mengindikasikan dilibatkannya militer dalam urusan sipil. Hal itu menggambarkan konsesi pemerintah dalam membereskan kelebihan jumlah perwira.

Jika itu memang benar pemicunya, ke depan harus dilakukan penataan yang tepat dalam proses seleksi calon perwira berdasarkan kebutuhan. Selain itu, agar dalam penyelenggaran kenaikan pangkat perlu memperhatikan unsur senioritas. Jangan sampai unsur senioritas terabaikan atas nama penghargaan atau prestasi.

Celakanya, kalau kenaikan pangkat dilakukan atas dasar like and dislike atau kedekatan emosional (balas budi) semata. Maka, yang ada hanya akan semakin menambah daftar panjang nama-nama perwira tanpa struktur. Yang pada gilirannya akan memperbesar peluang ditempatkannya militer pada ranah sipil. Persis sebagaimana yang terjadi hari ini, banyak ditempatkannya para perwira aktif (TNI-Polri) dilingkungan Kementerian BUMN dan/atau pada lembaga lainnya.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat dijadikan renungan dan refleksi di momentum hari ulang tahun TNI yang ke-75. Semoga TNI semakin profesional, baik secara struktur maupun kultur. Dirgahayu TNI.***


Terbit pada 22 Oktober 2020, di Harian Umum Kabar Cirebon. 


Komentar

Paling Banyak Dilihat

Gayatri Cerbon itu Bernama Eva Nur Arovah: Sebuah Obituari

ROMAN MOMI KYOOSYUTU SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL INDRAMAYU MASA PENDUDUKAN JEPANG

Mari Bertasbih Budaya "Lama" !

Tinggalan Arkeologis Situs Astana Gede Kawali - Ciamis