Mari Bertasbih Budaya "Lama" !

 

Ruang bertambah gelap. Gerhana bulan 31 Januari 2018 membasuh Indonesia. Riuh Pilkada serentak kian menyengat. Libido pertarungan kekuasaan makin meningkat. Ditambah Mentri Tjahjo Kumolo memunculkan dua nama perwira tinggi polisi aktif jadi Penjabat Gubernur (Jabar dan Sumut) menuai polemik. Coba kita simak juga, berita tentang mahalnya harga beras yang masih menghiasi media massa. Pun, kabar duka dari Provinsi Papua tentang kematian 70 orang suku Asmat akibat penyakit campak dan gizi buruk.

Itulah beberapa fenomena sosial, politik, dan bencana kemanusiaan dalam ruang gelap ketika Indonesia terjerat gerhana yang gelap juga. Diberitakan change.org: “70 orang suku Asmat meninggal; 66 akibat campak dan 4 orang karena gizi buruk.” “Kuwera” seharusnya tak berhenti mengucurkan rezeki. Memanjakan dengan sandang, pangan dan papan yang melimpah sebagaimana keberlimpahan sumber alam mereka yang diwariskan untuk bangsa ini. Tapi, dalam gelap gerhana, ketika cahaya tak menyentuh kalbu, yang ada selalu saja lintasan jerit-tangis hidup mereka.

Andai saja trilliunan rupiah anggaran Pilkada serentak diikhlaskan untuk rakyat (Asmat) Papua. Andai saja anggaran pembangunan infrastrukutur ala Jokowi dilimpahkan untuk pembangunan mental dan jasmani saudara kita di Papua. Andai saja para penggede negeri ini semua peka bahwa ada yang lebih penting daripada buang-buang duit hanya untuk berfoya-foya. Andai Indonesia adalah tanah tongkat dan tanaman menjadi ladang rupiah yang menjanjikan. Dan, andai saja gerhana bulan tak menjerat ruang steril Indonesia. Maka? Ah, rindu Kanjeng Rasulullah S.A.W yang memakmurkan Tanah Yatsrib, Al-Madinah.

Tapi, itulah Indonesia. Selalu saja mengisahkan luka rakyat dengan tinta darah dan air mata. Rakyat yang mati karena kelaparan, gizi buruk, tidak terjaminnya kesehatan--dan entah apa lagi yang disebut dengan kesamsaraan di negeri yang kaya nan raya ini. Apa boleh buat rakyat tak punya kuasa, sedang penguasa sudah mati rasa, tak peduli meski berapa banyak dari mereka yang binasa.

Inilah gerhana Indonesia. Para punggawanya keranjingan memburu harta dan tahta. Dekadensi moral dianggap bukan hal tercela. Maling uang rakyat dipandang sebagai hal wajar. Kesenjangan adalah hal biasa. Banyak perampokkan, pemerkosaan di mana-mana. Kejahatan malang melintang di jalan-jalan. Hingga alam pun ikut terpengaruh dengan sering terjadi gerhana matahari dan bulan, banjir dan longsor, hujan abu dan gempa bumi.

Mari kita buka kembali lorong muram beberapa waktu lalu. Gunung Agung Bali terus memuntahkan laharnya. Gempa bumi melanda Sukabumi, Tasikmalaya, Pangandaran, Cilacap, Yogyakarta yang berpotensi tsunami. Disusul gempa di Banten, Jakarta dan sekitarnya, tak kalah menggegerkan warga. Cukup menambah daftar panjang kejadian alam yang menimpa kita. Akankah ini “kutukan” bumi untuk kita?

Dalam kosmologis Nusantara, alam bergolak pertanda manusianya bergejolak. Disharmonisasi makrokosmos dan mikrokosmos. Tidak manunggalnya jagad ageung dan jagad alit. Sirnanya habluminallah, habluminanas, dan habluminalalam. Mungkin itulah yang dinamakan “karma”, memanen apa yang di tanam.

Dari sinilah, saya jadi teringat Raden Mas Ngabehi Ranggawarsito. Pujangga dari Kasunanan Surakarta ing Tanah Jawa yang hidup dipermulaan abad ke-19. Ia menjadi simbol kebenaran di tengah kekacauan dan merekahnya para penjilat pantat kekusaan saat itu. Dalam posisi yang sulit penuh dengan ketidakpastian, ia tetap berpegang teguh pada keyakinannya, tetep eling lan waspada.

Hasil perjalanan sosialnya kemudian ia dokumenasikan ke dalam syair (sinom macapat) bernama Serat Kalatidha. Kala berarti waktu atau zaman, tidha berarti edan atau gila. Zaman yang ditafsirkan sebagai zaman penuh kecemasan, zaman ketidakpastian, zaman kekacauan. Disebutkannya, pokok utama hidup di masa sulit saat itu, kudu eling dan waspada. Sebab sudah menjadi kehendak Gusti Allah, bahwa sebahagia-bahagianya orang edan tidak akan lebih bahagia lagi daripada orang yang tetap mengingat-Nya (eling) dan waspada, tutur Ranggawarsito dalam--bait ketujuh--syairnya itu.

Itulah gambaran kearifan lokal manusia Nusantara. Manusia sejatining manusia. Manusia yang menyandarkan hidupnya pada nilai-nilai ketuhanan dan kebajikan. Adalah manusia Nusantara seorang spiritualis sejati. Ia tidak hanya bicara kebajikan, tetapi juga sebagai pelaku kebajikan. Syariat dijalani dengan kata dan sikap.

Adakah kearifan lokal itu kini memasuki relung hati penggede negeri ini? Tentu, hanya Gusti Allah Yang Maha Tahu. Hanya saja yang saya tahu, selalu saja ada kisah muram dari negeri bernama Indonesia ini. Itu yang di dapat dari surat kabar dan media televisi. Rupanya penggede negeri ini lebih memilih Indonesia berada di dalam ruang yang tidak dicahayai siluet budaya. Laku penguasa lebih suka mendzikirkan duit di meja statistik yang manipulatif. Koruptor bertebaran di mana-mana. Angkara murka merajalela. Ya, itulah Indonesia yang tercerabut dari akar kultural leluhurnya.

Marilah bertasbih budaya lama, kanjeng penguasa. Janganlah takut di bilang tradisionil, konservatif atau apapun itu namanya yang terkesan memojokkan nilai-nilai luhur leluhur kita. Karena itu bagian grand design kaum hedon-materialis, dalam meluluhlantahkan negeri sugih mukti bernama Indonesia. 

Marilah bertasbih budaya lama, kanjeng penguasa. Sesungguhnya cacian, makian, yang menyebutkan bangsa ini adalah bangsa “primitif”, tiada lain dan tiada bukan, sebagai upaya memutus mata rantai bangsa ini dengan para leluhurnya. Sehingga menjadikan bangsa ini lali ka purwadaksi tur hilap ka wiwitan, lupa akan sejarah dan budaya bangsanya.

Prabu Guru Darmasiksa, sudah mengamanatkan: hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke. Ada dulu ada sekarang, tak akan ada sekarang bila tak ada masa dulu. Juga menyebut, mulyana kulit lasun di jaryan madan radjaputra antukna benang ku sakalaih. Lebih mulia kulit musang yang ada di tempat sampah daripada seorang raja (elit negeri) yang tidak bisa mempertahankan--ketahanan sejarah dan budaya-- tanah airnya. Begitu juga para ulama menishbatkan, hubbul wathon minal iman, cinta pada tanah air adalah sebagian dari iman.

Maka, marilah bertasbih budaya lama, hai para penguasa Indonesia. Itu agar menjadi negeri ini ruang hening yang mencerahkan.  Ini mengejawantah manakala kearifan kultural menjadi adonan kebijakan negara. Kearifan lokal yang dalam budaya Sunda disebut sebagai dasa prasanta (sepuluh sifat penyejuk hati), pangimbuhning twah (prinsip dalam memimpin, kharismatik) dan astaguna (delapan kearifan) adalah sosok pemimpin yang mampu memakmurkan negerinya juga mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian, ia akan menjadi figur yang dicintai, dikagumi dan melegenda di hati rakyatnya, walau ia sudah tiada. 

Kini, 70 arwah suku Asmat sudah masuk ruang abadi alam kubur. Kabar dari CNN Indonesia, kemaren sore didapat, konon masih ada 646 lagi orang Asmat positif terserang campak dan144 mengalami gizi buruk. Di sisa gerhana yang melintas bumi pertiwi ini, saya berdo’a seraya menitipkan harapan kepada Yang Maha Tunggal: Gusti Allah Kang Murbeng Alam, besar harapan semoga mereka dapat tertolong dan terselamatkan.

Saat gerhana selesai, gelap berubah terang. Dalam terang, saya melihat peta (geografi) Indonesia, ternyata negari bukan saja berada di bawah garis khatulistiwa, tetapi juga di bawah garis kemiskinan, yang dimiskinkan oleh para tuyul berdasi.***


Terbit pada 8 Maret 2018, di Harian Umum Pikiran Rakyat.


Komentar

Paling Banyak Dilihat

Gayatri Cerbon itu Bernama Eva Nur Arovah: Sebuah Obituari

ROMAN MOMI KYOOSYUTU SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL INDRAMAYU MASA PENDUDUKAN JEPANG

TNI dan Politik

Tinggalan Arkeologis Situs Astana Gede Kawali - Ciamis