ROMAN MOMI KYOOSYUTU SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL INDRAMAYU MASA PENDUDUKAN JEPANG

ABSTRAK

Pembelajaran sejarah lokal memiliki peran sangat penting kaitannya dengan pendidikan karakter peserta didik. Melalui muatan materi sejarah lokal, para peserta didik dapat mengenal diri dan lingkungannya lebih dekat lagi, sehingga membuat pembelajaran sejarah lebih menyenangkan. Hal lain adalah banyak sekali nilai-nilai positif yang terkandung dari tiap-tiap peristiwa lokal sejarah untuk kemudian diinternlisasikan oleh para peserta didik. Permasalahan pokok yang dibahas adalah “Bagaimana pemanfaatan Roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar sejarah lokal Indramayu pada masa pendudukan Jepang?” Permasalahan itu kemudian dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan: (1) bagaimana pemanfaatan roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar sejarah?; (2); apa strategi yang digunakan dalam pembelajarannya?; (3) apa kendala-kendala yang dihadapi dalam penggunaan roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar sejarah?. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif berupa deskriptif-analitis. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian yang biasa mengkaji atau menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan Roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar sejarah lokal dapat diterapkan dalam proses pembelajaran dengan menerapkan pendekatan deep learning dan model cooperative learning: group investigation. Melalui pendekatan dan model pembelajaran tersebut, merangsang peserta didik untuk lebih aktif dan kreatif serta mandiri dalam pembelajarannya. Itu berarti bahwa proses pembelajaran tidak berjalan satu arah yang berpusat pada pengajar (teacher centered).

Kata Kunci: Momi Kyoosyutu, Sumber Belajar, Sejarah Lokal, Indramayu

 

PENDAHULUAN

Belajar merupakan keniscayaan manusia dalam hidupnya. Itu karena belajar pada hakekatnya proses “memanusiakan” manusia, agar menjadi manusia seutuhnya. Ada tiga pokok penting yang diharapkan kaitannya dengan belajar, yakni persoalan apektif, psikomotor dan kognitif. Secara normatif-aksiomatik, apektif disimplikasikan upaya membangunan moral agar menjadi pribadi yang berkarakter. Aspek psikomotor bermaksud menjadikan peserta didik lebih terampil, cakap dan kreatif. Maksudnya adalah dengan keterampilan diharapkan manusia dapat hidup mandiri. Sementara itu, aspek kognitif bertujuan menanamkan pengetahuan dan wawasan peserta didik.

Proses belajar bisa terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup. Itu sebagaimana dijelaskan Sadiman (1986: 2), belajar sebagai proses kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung sepanjang hayat, terus-menerus dan berkelanjutan (continuing education), sejak masih bayi hingga meninggal dunia. Oleh karenanya, sudah menjadi keharusan bagi tiap-tiap manusia untuk senantiasa belajar tanpa menjadikan usia sebagai alasan untuk berhenti melakukannya. Sebab belajar merupakan aktivitas manusia dalam kehidupannya dan menyangkut cita-cita hidup manusia yang dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi, dalam konteks sekarang ini, pengertian itu seakan sudah mengalami pergeseran makna. Pendidikan dalam pengertian sempit berarti proses belajar yang dilakukan pada sebuah lembaga formal: sekolah atau perguruan tinggi.

Sekolah atau perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal memiliki andil besar guna mewujudkan cita-cita bangsa. Sebagaimana tertuang dalam undang-undang sistem pendidikan nasional No. 20 Tahun 2003 yang dinyatakan secara tegas bahwa,”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab”. 

Tujuan pendidikan yang sudah dijabarkan di atas, kemudian diejawantahkan ke dalam pendidikan karakter yang berbasiskan kearifan lokal. Banyak nilai-nilai luhur dalam sejarah-budaya yang terkandung dalam scoup lokalitas tertentu. Pendidikan berbasiskan kearifan lokal berupaya menanamkan karakter dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dan berkembang dalam lingkup kearifan lokalitasnya. Melalui kearifan lokal inilah peserta didik diarahkan untuk mengenal lingkungan sekitarnya. Yang lebih penting lagi, peserta didik mampu menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dalam kehidupan kesehariannya. Itulah sebabnya, pendidikan karakter tengah menjadi isu seksi dan banyak digemakan dalam mimbar akademik akhir-akhir ini.

Corak pendidikan model seperti ini dikembangkan untuk menjawab fenomena globalisasi yang begitu kencang menimpa kehidupan kita dewasa ini dalam berbangsa maupun bermasyarakat. Artinya, pendidikan berbasiskan kearifan lokal ini diharapkan sebagai benteng agar kita tidak terperosok pada arus globalisasi yang dapat dan nyaris meruntuhkan identitas kita. Dengan kata lain sebagai menumbuhkan identitas dan nasionalisme--sebagaimana juga yang menjadi tujuan utama adanya mata pelajaran sejarah di sekolah atau program studi sejarah pada lingkup perguruan tinggi.

Ramainya isu pendidikan berbasiskan kearifan lokal ini dalam sejarah disertai pula oleh intesifitas terhadap kajian-kajian kelokalan yang bermuara pada kajian sejarah dan budaya lokal. Penulisan sejarah lokal berarti penulisan sejarah berorientasikan lokalitas tertentu. Sejarah lokal di sini bukan sejarah lokal tradisi, semisal babad, hikayat, lontar, tambo, ataupun lainnya. Melainkan sejarah yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah di regionalitas tertentu. Misalkan melalui batasan-batasan geografis atau keberadaan suku yang mendiami tempat tertentu-- yang menurut Moh. Ali (2005:155) disebut sebagai sejarah daerah.

Diakui sudah banyak para peneliti dan sejarawan yang memfokuskan kajiannya terhadap sejarah lokal. Itu tersebar di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Juga dari berbagai sudut pandang dan dalam temporal tertentu, misal dalam batas waktu zaman pra sejarah, klasik Hindu-Budha, Islam, era kolonial Belanda di Indonesia. Memasuki abad ke-20, ada juga yang disebut dengan era pergerakan Nasional, era pendudukan Jepang hingga era kemerdekaan: dari orde Lama sampai orde Reformasi.

Wahyu Iryana adalah salah satu sejarawan yang pernah mengkaji tentang peristiwa sejarah di era pendudukan Jepang (1942-1945) dalam setting spasial Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Hasil kajiannya itu kemudian ia dokumentasikan ke dalam roman berjudul Momi Kyoosyutu. Bercerita tentang perlawan yang dilakukan para petani terhadap pemerintahan militer Jepang di Kabupaten Indramayu. Atas dasar pemikiran di atas, kemudian mendorong penulis melakukan kajian dengan judul ”Roman Momi Kyoosyutu sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal Indramayu pada Masa Pendudukan Jepang.

Mengingat karena tema tulisan ini menyoroti perihal sumber belajar, maka akan disinggung pula ihwal sumber belajar. Sumber belajar (learning resources) secara konseptual merujuk pada bahan yang biasa digunakan untuk menunjang proses pembelajaran bagi peserta didik. Tentu memuat suatu data atau informasi. Data itu bisa berupa orang atau wujud tertentu, semisal buku, majalah, film, lingkungan sosial atau lainnya. Penggunaan sumber belajar itu dapat memudahkan proses pembelajaran sehingga proses pembelajaran akan jadi bermakna. Dengan demikian, tidak salah bila roman Momi Kyoosyutu dijadikan sebagai salah satu sumber belajar dalam memahami sejarah lokal di Indramayu pada masa pendudukan Jepang.

Adapun permasalahan pokok yang akan di bahas adalah “pentingnya pemanfaatan roman Momi Kyoosyutu menjadi sumber belajar sejarah lokal Indramayu pada masa pendudukan Jepang?” Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, maka diajukan beberapa pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah dalam penelitian, antara lain: (1); bagaimana pemanfaatan roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar sejarah?; (2); apa strategi yang digunakan dalam pembelajarannya?; (3) apa kendala-kendala yang dihadapi dalam penggunaan roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar sejarah?

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa deskriptif-analitis. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian yang biasa mengkaji atau menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2004: 3) mengemukakan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsitf berupa kata-kata atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan kualitatif lebih bersifat natural, tanpa perekayasaan sebagaimana dalam pendekatan kuantitatif yang disusun secara terstruktur dan sistematis. Maka wajar bila metode ini tampak tidak terpola.

Lebih lanjut, diungkapkan Sukmadinata (2006), bahwa dalam penelitian deskripstif fenomena yang diamati itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Penelitian deskriptif  bersifat luwes, artinya, tidak terbatas pada masalah penyusunan data saja melainkan juga meliputi analisis dan penafsiran atas data yang berhasil dihimpun.

Maka metode ini sangat tepat digunakan dalam kajian ini dengan mengadakan klasifikasi, penilaian, menetapkan standard dan hubungan satu unsur dengan unsur yang lain. Penggunaan metode deskriptif ini dipandang mampu dan sesuai untuk menjelaskan hubungan pemanfaatan roman Momi Kyoosyutu dengan kebermanfaatannya sebagai sumber belajar sejarah lokal di Indramayu.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Gambaran Umum Roman Momi Kyoosyutu

Roman Momi Kyoosyutu ditulis oleh Wahyu Iryana, mengisahkan perlawanan petani di Indramayu pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Kehadiran roman Momi Kyoosyutu sebagai bagian dari upaya melawan lupa. Perlu diingat bahwa Jepang pertama kali melakukan pendaratannya di Pantai Eretan Wetan, Indramayu. Pendaratan Jepang di Pantai Eretan menandakan babak baru penjajahan di mulai kembali. Masuknya Jepang telah mengganti peran kolonial Belanda menjajah Indonesia yang sudah lama menguasai Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah roman Momi Kyoosyutu  ini telah memperkaya khazanah tentang tulisan sejarah Indramayu dalam periode pendudukan Jepang. Ini sekaligus mengisi kelangkaan penulisan sejarah lokal Indramayu yang akhir-akhir ini tengah digalakkan guna menopang catatan-catatan sejarah nasional. Atau, paling tidak, roman ini dapat menjadi tambahan informasi dari yang sudah ada sebelumnya.

Buku setebal 208 halaman ini diterbitkan pertama kalinya (cetakan I) pada tahun 2016 oleh PT. Kakilangit Kencana. Memiliki No. ISBN: 978-979-1486-08-8. Berukuran 14.5 cm x 20.5 cm. Secara isi bahasan, terbagi ke dalam 11 bab. Masing-masing bab memiliki cerita berbeda. Tetapi dari bab satu ke bab lainnya tersusun secara sistematis, sehingga penyajiannya mengalir dan terarah.

Disajikan dalam bahasa ringan guna memudahkan pembaca mencerna cerita sejarah di dalamnya. Suatu upaya penjelasan materi yang paling dekat dengan kondisi psikologis keseharian masyarakat pada umumnya. Namun tidak menanggalkan sisi keilmiahan buku tersebut. Itu terlihat dari aspek penggunaan sumber-sumber tulisan yang menjadi rujukannya—merupakan hasil interpretasi berdasarkan sumber primer (primary sources) dan sumber sekunder (secondary sources). Sumber primer yang dijadikan rujukan, di antaranya:

1)      Kumpulan Arsip Djawa Baroe, tahun 1942-1945;

2)      Kan Po No. 49 tanggal 10 Agustus 1944, Hlm. 34;

3)      Kan Po No. 27 tahun 1942, Hlm. 10-11;

4)      Kan Po No. 5 tahun 1942, Hlm. 9;

5)      Surat Kabar Tjahaya, Edisi: Rebo, 12 Itigatu 2604, No. 11, Tahoen ke-III;

6)      Journal The Field Artillery, September 1944, Vol. 34, No. 9;

7)      Arsip The War in Indonesia 1945; dan

8)      Arsip Merdeka 3 September 1946.

Sementara untuk sumber-sumber sekunder yang digunakan terdiri atas tiga kategori:

1)      Sumber yang secara subtantif mengkaji lingkup spasial Indramayu, seperti: Buku Sedjarah Kabupaten Indramajoe, penulis Dasuki dkk, Pemda Indramayu, 1977; Buku karya Aiko Kurasawa, Pendudukan Jepang dan Perubahan Sosial: Penyerahan Padi secara Paksa dan Pemberontakan Petani di Indramayu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988; Buku Budaya Tradisional Masyrakat Indramayu, diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Bandung. Disunting oleh Sindu Galba.

2)      Sumber-sumber komparatif, buku yang secara spasial tidak membahas tentang Indramayu, tetapi memiliki tema dan issue mirip dengan tema buku (Momi Kyoosyutu) ini. Kategori yang kedua ini, misal karya Ahmad Mansyur Suryanegara, 1996, Pemberontakan PETA di Cileunca, Pangalengan, Bandung Selatan. Jakarta: Yayasan Wira Patria Mandiri; Abdul Jamil, 2001, Perlawanan Kiai Desa K.H. Ahmad Rifai Kalisalak, Yogyakarta: LKiS; Adeng Sumpena dkk, 1995, Peranan Desa dalam Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: Depdikbud; dan lain-lain.

3)      Sumber referensi umum, buku yang mendiskusikan masa pendudukan Jepang (1942-1945), di antaranya, Buku Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial Pedesaan Jawa 1942-1945, terjemahan Hermawan Sulistyo. Jakarta: Gramedia, 1993; Buku karya Harry J. Benda Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Terj.) Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.

Oleh karena itu, merujuk pada bahasa penyajian dan rujukan sumber tulisan, buku ini cukup tepat bila dijadikan sebagai referensi atau sumber belajar sejarah lokal, karena sudah menjadi titik-temu antara dua sikap yang ambivalen bagi para peserta didik. Di satu sisi, sebagai karya “sastra”, buku ini dapat menjadi alternatif atau pemicu terhadap minat belajar dan minat baca peserta didik menjadi meningkat di tengah rendahnya budaya literasi kita. Pada sisi lain, aspek kesejarahan yang berisikan rangkaian fakta-fakta cerita dalam buku ini sangat mewarnai, sehingga dapat diterima dalam lingkup akademis.

 

B.       Pemanfaatan Roman Momi Kyoosyutu sebagai Sumber Belajar Sejarah

Sebetulnya terdapat aneka jenis sumber belajar guna mendukung kegiatan belajar-mengajar. Sumber-sumber tersebut tidak melulu bertumpu pada teks, seperti buku, surat kabar, majalah, modul; tetapi bisa juga yang lainnya, media visual, lingkungan sekitar, misalnya. Lingkungan sekitar yang dimaksud bisa situs sejarah, museum, kebun binatang, sawah, terminal dan lain-lain. Dalam praktiknya, penggunaan sumber belajar itu perlu disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sehingga proses pembelajaran berjalan efektif. Pendek kata, sumber belajar berguna sebagai rujukan dan mempermudah peserta didik untuk mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang telah dirancang oleh pengajar.

Pemanfaatan roman Momi Kyoosyutu merupakan salah satu upaya mencapai pembelajaran yang ideal. Walau terkesan usang, tapi harus diakui bahwa pemanfaatan buku sebagai sumber belajar masih terbilang banyak digandrungi. Ini tidak terlepas karena nilai praktisnya. Alasan lain dengan memanfaatan buku sebagai sumber belajar dianggap mampu memenuhi tuntutan kurikulum, informasi yang diberikan buku kepada para peserta didik cenderung eksplisit dan memiliki jangkauan informasi yang sangat luas.

Relevansinya roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar berhubungan langsung dengan muatan materi sejarah lokal. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar sejarah lokal perlu dirancang langkah-langkah yang efektif dan sejalan dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Tujuan atau hasil belajar yang hendak dicapai melalui pemanfaatan roman Momi Kyoosyutu adalah mahasiswa memiliki atau meningkatkan kesadaran sejarah lokal di lingkungan tempat peserta didik tinggal (Indramayu). Sebab dalam sejarah lokal yang menjadi pusat perhatiannya adalah lingkungan sekitar. Pun, sudah selayaknya peserta didik memiliki kesadaran dan memahami sejarah lokal yang terjadi di Indramayu.

Sejarah lokal diperlukan dalam pembelajaran sejarah untuk menghindari ketidaktahuan peserta didik akan nilai-nilai sejarah yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Dengan mempelajari sejarah lokal, peserta didik diharapkan selalu mengingat bahwa daerahnya juga memiliki berbagai peristiwa yang begitu penting baik bagi lingkungannya maupun bagi negaranya.

Menurut Widja (1989: 113) bahwa pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pembangunan kemampuan mahasiswa untuk berfikir aktif, kreatif, dan struktural konseptual serta dapat mengembangkan kesadaran sejarah mahasiswa. Hampir semua prinsip dalam rangka pembelajaran mahasiswa aktif sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran yang bermuatan sejarah lokal.

Pembelajaran sejarah lokal dalam konteks tulisan ini merupakan bagian dari proses belajar di lingkungan pendidikan formal, sasaran utamanya tentunya adalah keberhasilan proses itu sendiri dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam pembelajaran sejarah lokal; pertama penyajian materi, kedua teknik pembelajaran, dan ketiga penilaian yang digunakan. Untuk itu maka perlu dibahas bagaimana penyajian materi, teknik pembelajaran dan penilaian yang digunakan dari pembelajaran sejarah lokal bersumber roman Momi Kyoosyutu.

 

C.      Strategi Pembelajaran

Bicara proses pembelajaran, maka tidak dapat lepas dari penerapan suatu metode dan strategi pembelajaran dalam tahap pelaksanaannya. Itu karena proses pembelajaran, pada prinsipnya, merupakan upaya menambah informasi, atau bisa juga mengolah skill/ kemampuan. Ketika berfikir informasi dan kompetensi apa yang disampaikan kepada peserta didik, maka pada saat itu juga harus memikirkan strategi ataupun langkah yang tepat untuk diterapkan agar tujuan yang diinginkan tercapai secara efektif dan efesien. Hal tersebut sangatlah penting untuk dipahami oleh setiap pengajar (guru atau dosen), sebab tujuan yang harus dicapai akan menentukan cara untuk mencapainya.

Banyak penedekatan dan model yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah. Akan tetapi, hubungannya dengan bahasan ini, pendekatan dan model pembelajaran yang paling tepat digunakan adalah pendekatan pembelajaran deep learning dan model cooperative learning: Group Investagation. Suatu pendekatan dan model pembelajaran yang merangsang peserta didik untuk lebih aktif dan kreatif serta mandiri dalam pembelajarannya. Hal ini dimaksudkan bahwa proses pembelajaran tidak terjadi satu arah dan menjadikan pengajar sebagai satu-satunya “pemilik” pengetahuan dan materi (teacher centered).

Pendekatan deep learning yang dimaksud dalam hal ini yakni bagaimana peserta didik memahami apa yang mereka baca pada buku teks sebagai sumber belajar. Melalui membaca peserta didik memperoleh sebuah informasi baik masa lampau maupun masa sekarang. Bahkan dapat mensintesis dan menganalisi dari isi bacaannya. Bukan hanya sekedar berusaha mengingat suatu konsep, kata kunci maupun fakta secara konseptual yang ada disetiap sub topik melainkan berusaha untuk mencari topik dasar serta kaitannya dengan subtopik dalam teks tersebut.

Adapun praktiknya dalam kegiatan pembelajaran Supardan (2015: 31) menyampaikan, pendekatan deep learning dalam memahami sutau teks dapat dimulai : 1) guru harus siap menjadi model bagi peserta didik untuk mengola informasi secara mendalam bukan hanya memberikan informasi dipermukaan saja. 2) guru memberikan motivasi kepada peserta didik bahwa terdapat informasi yang lebih penting dari sebuah buku teks tidak hanya sekedar mengingatnya saja. Di sini guru harus mampu memotivasi peserta didik untuk menghubungkan apa yang mereka sedang pelajari  dengan apa yang mereka pelajari di masa lampau. 3) Ajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka, jangan mengajukan pertanyaan tertutup  yang hanya menghasilkan jawaban ya atau tidak. Dengan pertanyaan terbuka akan menghasilkan jawaban peserta didik yang beragam. Dengan demikian, peserta didik akan mulai terbiasa membaca memahami suatu teks secara mendalam. Setelah itu, dalam proses pembelajaran selanjutnya, mendikusikan hasil membaca dengan pendekatan deep learning,  implementasinya menggunakan model pembelajaran kooperatif :group investigation.

Isjoni (2013) menjelaskan, pembelajaran kooperatif dapat memberikan kemajuan besar kepada peserta didik. Kemajuan yang dimaksud adalah pengembangan sikap, nilai dan tingkah laku yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang sesuai dengan tujuan pendidikan sejarah. Hal ini dapat tercapai karena keunggulan pembelajaran kooperatif adalah untuk memperoleh pengetahuan diri peserta didik, menggunakan bahasa peserta didik itu sendiri, sehingga dapat lebih mudah dimengerti oleh peserta didik lainnya.

Selain itu dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik belajar bagaimana menghargai pendapat dari peserta didik (teman) lainnya, memberikan kesempatan kepada temannya untuk mengemukakan pendapat, saling mengoreksi kesalahan dan saling membetulkan satu sama lainnya. Oleh karena itu, melalui model ini terciptanya suatu pembelajaran yang interaktif-dialogis. Manakala terdapat kesalahan atau kekeliruan terhadap satu materi yang menjadi bahasannya, peserta didik secara bersama-sama mencari jawaban yang lebih tepat melalui pencarian sumber-sumber informasi dari mana saja yang menjadi sumber acuan dasar.

Menyimak pada apa yang sudah dijabarkan barusan, maka kedudukan pengajar dalam model Cooperatif Learning: Group Investigation tidak lain hanya sebagai fasilitator. Tapi, meski sebagai fasilitator, tetap ia memiliki peran strategis dan berpengaruh di dalam proses pembelajaran selama pengajar tersebut menerapkan langkah-langkah sebagaimana di ungkap Hidayat (dalam Diah Ayu Kartikasari, 2013: 129) sebagai berikut:

1)      Saling Ketergantungan Positif

2)      Tanggung Jawab Perseorangan

3)      Tatap Muka

4)      Komunikasi Antar Anggota

5)      Evaluasi

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi dan merefleksi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka. Pada tahap ini juga, pengajar menentukan standar-standar penilaian, misal seperti: cara komunikasi, keaktifan, teknik dalam diskusi hingga standar penilaian atas penulisan laporan atau tugas yang sudah diberikan kepada masing-masing peserta didik/kelompok.

 

D.      Kendala-kendala yang Dihadapi

Adapun beberapa kendala yang muncul baik di dalam penggunaan Roman Momi Kyoosyutu sebagai sumber belajar maupun penggunaan pendekatan pembelajarannya berupa deep learning dan model cooperative learning: Group Investagation, antara lain: (1) Kurangnya publikasi mengenai sejarah lokal membuat guru tidak mengembangkan materi sejarah lokal sebagai sumber belajar; (2) Melalui pendekatan deep learning, guru dituntut untuk mempunyai wawasan yang luas karena guru harus siap menjadi model bagi peserta didik untuk mengola informasi secara mendalam bukan hanya memberikan informasi dipermukaan saj; (3) Alokasi jam pelajaran sejarah kurang membuat pengembangan sejarah lokal menjadi sulit untuk terealisasikan secara menyeluruh. Itu sebabnya sangat diperlukan tambahan waktu untuk dapat menjelaskan kepada peserta didik dikarenakan materi tersebut tidak ada dalam buku teks; (4) Pendekaran deep learning dan model cooperative learning: group investagation  mengharuskan guru untuk menyusunan  rubrik asesesmen pembelajaran secara variatif dan dari beberap aspek tidak hanya asessmen sumatif berupa tes saja, melainkan asessmen formatif berupa penilaian keterampilan; kognitif maupun sikap.


PENUTUP

Pembelajaran sejarah lokal memiliki manfaat strategis dalam membangun karakter peserta didik. Dalam hal ini posisi sejarah lokal adalah posisi yang sangat penting karena berkenaan langsung dengan lingkungan terdekat dan budaya peserta didik. Selain itu, melalui sejarah lokal, diyakini dapat menjadikan peserta didik memiliki rasa bangga terhadap daerahnya sendiri yang merupakan bagian dari sejarah. Namun harus diakui juga bahwa keberhasilan pembelajaran sejarah lokal bergantung pada strategi yang diterapkan pada tiap-tiap pembelajarannya. Agar pembelajaran sejarah lokal ini tersalurkan dengan baik kepada peserta didik, guru harus mengemas pembelajaran dengan menarik dan menggunakan pendekatan yang tepat dalam pembelajarannya. Untuk itu pendekatan pembelajaran deep learning dalam memahami sebuah teks dan model cooperative learning: Group Investagation dapat dijadikan salah satu solusinya. Selain mengenalkan dan mengetahui sejarah lokal daerahnya, peserta didik dapat meningkatkan kemampuan membaca secara mendalam dan bermakna serta kemampuan mengkomunikasi dan bekerjasama dalam kegiatan diskusi.

 

DAFTAR SUMBER

Ali, Mohammad. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Iryana, Wahyu. 2014. Momi Kyoosyutu: Perlawanan Petani Indramayu pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Kaki Langit Kencana.

Isjoni. 2013. Pembelajaran Kooperatif: Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Bandung: Alfabeta.

Kartikasari, Diah Ayu. 2013. Model Group Investigation sebagai Strategi dalam Pembelajaran Sejarah [Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013. Yogyakarta: Tim Penerbit Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Moleong, Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Sadiman, Arief. 1986. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Peamanfaatannya. Depok: Rajawali.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Supardan, Dadang. 2012. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran Jilid II: Dari Teori Gestalt Sampai Teori Belajar Sosial. Bandung: Yayasan Rahardja.

Widja, I Gede. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengembangan Sejarah. Bandung: Penerbit Angkasa.


Makalah ini diseminarkan pada Seminar Nasional Masyarakat Sejarawan Indonesia, 14 Desember 2024, di Universitas Pendidikan Indonesia.

Komentar

Paling Banyak Dilihat

Gayatri Cerbon itu Bernama Eva Nur Arovah: Sebuah Obituari

TNI dan Politik

Mari Bertasbih Budaya "Lama" !

Tinggalan Arkeologis Situs Astana Gede Kawali - Ciamis