Jumat, 24 Mei 2013

Tinggalan Arkeologis Situs Astana Gede Kawali - Ciamis

Oleh : Galun Eka Gemini

Situs Astana Gede Terletak di Desa Kawali, Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis, tepatnya ± 21 km dari kota Ciamis ke arah Utara. Di dalam situs ini terdapat banyak peninggalan arkeologis dan yang lebih menariknya lagi, tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini terdapat tiga budaya yang berbeda yaitu antara budaya lokal, budaya Hindu dan Islam. Beberapa tinggalan arkeologis tersebut di dalamnya mencangkup enam buah batu prasasti, tiga buah batu menhir, sebelas buah makam. Luas situs Astana Gede adalah sekitar 5 ha, keberadaannya dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun dan tinggi sehingga memberikan hawa yang sejuk dan dingin namun terkesan sarat akan nuansa religius-nya.
 Kegiatan yang dilakukan oleh kami ketika dilapangan (Astana Gede) bukan hanya tertuju pada penelitian mengenai benda-benda tinggalan yang ada di dalamnya. Disana diadakan simulasi eskavasi arkeologis. Kendati hanya sebuah simulasi dan waktu yang relatif singkat, namun setidaknya bagi kami dengan adanya simulasi atau latihan tersebut dapat memberikan gambaran dan penjelasan mengenai langkah-langkah yang dilakukan  untuk melakukan penggalian. Pada hakikatnya langkah semua ini telah memberikan pengalaman baru.
Kembali kepada situs Astana Gede, Menurut Prof. Nina H. Lubis (Makalahnya yang berjudul, Tinggalan Arkeologis di Astana Gede Kawali), dikatakan situs Astana Gede karena di situs tersebut terdapat sebuah makam yang ukurannya besar, panjang sekali dan berbeda dengan makam-makam lain pada umumnya. Oleh karena itu dinamakan situs Astana Gede, dalam bahasa Sunda gede artinya besar. Namun ada juga versi yang menyebutkan bahwa di situs Astana Gede adalah karena tempat dimakamkannya orang-orang besar, dalam bahasa Sunda disebut gegeden. Terlepas dari itu, Makam tersebut diduga adalah Pangeran Usman, salah satu raja yang sudah memeluk agama Islam, beliau merupakan keturunan dari Kesultanan Cirebon.
Selain batu-batu prasasti terdapat pula peninggalan lainnya seperti dibawah ini:
1.     Seperangkat batu disolit, yakni  batu tempat pelantikan raja yang disebut Palangka.
2.     Batu telapak kaki dan tangan dengan garis retak retak menggambarkan kekuasaan dan penanggalan (kalender).
3.     Tedapat 3 (tiga) buah batu menhir: Batu Penyandaraan, Penyandungan, dan Batu Pamuruyan (alat untuk bercermin).
Berdasarkan uraian diatas, maka situs Astana Gede mempunyai arti yang sangat penting bagi sejarah Kerajaan di Indonesia, khsusnya di Tatar Sunda. Artefak atau tinggalan-tinggalan purbakala itu seakan-akan telah memberikan informasi bahwa di daerah tersebut pernah tumbuh Pusat Kerajaan Sunda – Kawali. Jika mengacu pada sasakala nama Kawali itu sendiri, bahkan disana terdapat satu kolam yang berbentuk ”kuali” yang airnya tak pernah kering. Istilah kolam berbentuk kuali ini, menjadi cikal bakal nama Kecamatan Kawali sekarang.
Prasasti Astana Gede atau Prasasti Kawali merujuk pada beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan tersebut, terutama pada prasasti "utama" yang bertuliskan paling banyak (Prasasti Kawali I). Adapun secara keseluruhan, terdapat enam buah prasasti yang masing-masing prasasti ditulis dengan menggunakan bahasa dan aksara Sunda (Kaganga). Meskipun tidak berisi candrasangkala, prasasti ini diperkirakan berasal dari abad ke-14, dilihat berdasarkan nama raja.
Dari segi fungsi, Situs Astana Gede Kawali di samping sebagai taman Cagar Budaya dan sebagai obyek wisata budaya, juga merupakan obyek ilmu pengetahuan. Banyak tinggalan budaya masa lampau yang sudah dizamah oleh para ilmuwan seperti ahli arkeologi, ahli filologi, sejarawan, geolog, dsb. Tentunya mereka datang untuk melakukan penelitian mulai dari jenis batu-batuan, tulisan dan bahasanya, atau temuan-temuan lain yang berhasil digali terutama oleh para ahli arkeologi. Penelitian di Astana Gede mulai dilakukan pada zaman Belanda, tetapi lebih menitik beratkan pada prasasti. Tahun 1914 Oudhekumdige Diens mengadakan inventarisasi data arkeologi di Astana Gede Kawali ini.  
Prasasti ini pertamakali agaknya ditemukan pada masa Thomas Stamford Raffles (1811-1816), terbukti disebut-sebut dalam bukunya History of Java. Namun, prasasti itu baru dibaca secara serius oleh Friederich pada tahun 1855. Selanjutnya prasasti dibaca ulang oleh K.F. Holle, pada tahun 1867 dan terakhir J Noorduijn pada tahun 1988. Dua orang filolog Indonesia yang juga membaca ulang prasasti ini adalah Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990). Prasasti ke-enam ditemukan tahun 1995 oleh Juru Pelihara Astana Gede bernama Sopar.
Prasasti Kawali I:
Prasasti Kawali I yang ditemukan pada tahun 1867 oleh KF Holle

Sumber: Dokumen Pribadi

 

Prsasti-prasasti ini diperkirakan dibuat atas perintah raja yang berkuasa pada saat itu, nama raja yang sering disebutkan pada prasasrti itu ialah Prabu Niskala Wastukancana. Rahyang Prabu Niskala Wastukancana merupakan anak dari Prabu Linggabuana (gugur pada perang Bubat) atau Kakek dari salah satu raja Sunda yang berkarismatik bagi kalangan masyarakat Tatar Sunda yaitu Sribaduga Maharaja/Prabu Siliwangi. Keadaan keenam prasasti-prasasti itu di tutupidan dipagar yang bertujuan agar tidak terkena hujan dan tangan-tangan jahil perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab sehingga tidak cepat rusak.
Terjemahan dari Prasasti Kawali 1 berbunyi, sebagai berikut:
“Demikian tapak pertama bekas yang mulia ialah Prabu Wastu yang bertahta di Kota Kawali, yang memperindah Istana Surawisesa, yang membuat parit keliling (ibukota), yang menyuburkan seluruh pedesaan. Semoga para penerus dapat menerapkan kerja yang baik agar dapat unggul di dunia” (Lubis,  dalam Makalahnya yang berjudul, Tinggalan Arkeologis di Astana Gede Kawali).
Prasasti Kawali II

Sumber: Dokumen Pribadi

 

Prasasti ini memberikan informasi bahwa Prabu Wastu, berusaha untuk menyejahterakan kehidupan rakyatnya dan menghimbau kepada para penerusnya agar mau bekerja dengan baik sebagai syarat untuk hidup bahagia dan berhasil. Dari keempat sisi batu itu juga ditulisi. Noorduyn membaca dan mengartkan dari keempat tulisan batu bagian sisi batu itu yang bila diterjemahkan mengandung isi “jangan dirintangi, jangan diperlakukan tidak baik, yang memotong ia tetap, yang menginjak ia roboh”. Jika dihubungkan dengan bunyi prasasti induknya, mungkin sekali tulisan itu dimaksudkan sebagai himbauan agar ia (Prabu Wastu) tidak dirintangi dalam upayanya itu karena ia akan tetap tegar, bahkan mereka yang menghalangi akan roboh.
Prasasti Kawali III

Sumber: Dokumen Pribadi

 

Prasasti ketiga, dari prasasti Kawali beruapa batu andesit, berbentuk segi lima tidak beraturan.  Pada bagian atas prasasti terdapat tulisan dan bagian bawah terdapat dua sepasang telapak kaki serta satu telapak tangan (kiri). Selain itu, terdapat garis-garis yang melintang sebanyak Sembilan buah dan garis membuju lima buah berpotongan membentuk 45 buah segi empat yang berbeda-beda ukurannya. Di bagian kiri kotak-kotak ini terdapat tulisan singkat berbunyi angana atau mungkin seharusnya ajnana. Ada berbagai penafsiran tentang prasasti ini. Ada yang mengartikan kata "ajnana" itu "sendiri, ada juga yang mengartikan "datang" atau "menghampiri". Mungkin maksudnya mengharapkan kedatangan yang dipuja (raja yang berkuasa). Ada yang menafsirkan kotak-kota ini sebagai kolenjer (kalender  tradisional) untuk menghitung hari baik dan hari buruk.
Prasasti Kawali IV
Sumber : Dokumen Pribadi

 

Prasasti Kawali keempat, berupa sebatang tonggak batu andesit yang berdiri tegak seperti menhir, berbunyi sanghiyang lingga bingba. Dalam tradisi lokal, batu panyandaan ini adalah tempat bersandar bagi kaum ibu yang telah melahirkan selama 40 hari agar cepat pulih.

 

Prasasti Kawali V

Sumber : Dokumen Pribadi

 

Prasasti Kawali 5 yang juga dipahatkan pada tonggak batu berbunyi sanghiyang lingga hiyang. Menurut pendapat seorang arkeolog, prasasti ini mungkin merupakan lingga perwujudan arwah nenek-moyang. Dalam tradisi rakyat disebut batu panyandungan .
Prasasti Kawali VI

Sumber: Dokumen Pribadi

 

Kawali 6 yang ditemukan terakhir, berbentuk batu segi empat tidak beraturan, berisi enam baris tulisan yang isinya berupa pernyataan dari penguasa yang berada di dayeuh `ibu kota' dan himbauan agar jangan suka berjudi atau bertaruh karena hanya akan membuat sengsara saja.
Batu Pelinggih (Pamuruyan).
Batu pelinggih berupa batu datar setinggi 94 cm, sisi kiri panjangnya 88 cm, lebar sisi bawah 40 cm, dan lebar sisi atas 57 cm. Penduduk setempat menyebutnya batu kursi karena bentuknya seperti kursi. Disebut juga batu pamuruyan, tempat menyimpan sesaji. Ada juga pendapat bahwa ini merupakan tempat pelantikan raja.
Menhir
Menhir yang pertama tingginya 70 cm, lebar 24 cm, tebal 16 cm, terbuat dari batu andesit. Menhir Kedua tingginya 130 cm, lebar 15 cm , tebal 10 cm. Menempel ke menhir ini, batu semacam lumpang berpenampang segi tiga. Batu lumpang ini mampu menyerap air dari dalam tanah sehingga airnya tidak pernah surut. Penduduk sekitar menyebutnya batu pangeunteungan (cermin).
Mata air Cikawali
Mata air Cikawali berupa kolam kecil seluas ± 10 m2 ini berisi mata air yang tidak pernah kering sekalipun pada musim kemarau. Letak kolam sekitar 300 m dari situs Astana Gede Kawali.


Makam
Sumber : Dokumen Pribadi

 

Ada 11 buah makam di, situs Astana Gede. Yang pertama adalah Makam Pangeran Usman. Siapakah tokoh ini? Pangeran Usman, menurut salah satu sumber adalah keturunan Sultan Cirebon, yang menjadi menantu Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah, yang memerintah Kawali tahun 1592-1643). Pangeran Usman menjadi penyebar Islam di daerah Kawali. Makam lainnya adalah Makam Adipati Singacala, yang terletak di bagian atas punden berundak. Makam ini panjangnya 2,93 m. Adipati Singacala adalah cicit Pangeran Bangsit


 (ayah Maharaja Kawali). Ia menjadi menantu Pangeran Usman (keturunan Sultan Cirebon) karena menikahi putri Pangeran Usman yang bernama Nyi Anjungsari. Adipati Singacala, sebagai Bupati Kawali, menurut salah satu sumber yang belum bisa dipastikan kebenarannya, meminta agar situs pemujaan Hindu (yang kelak disebut Astana Gede) dibongkar dan dijadikan pemakaman Islam dengan harapan orang yang datang ke sana bukan untuk memuja berhala namun berziarah. Ia juga minta dimakamkan dibekas punden berundak. Sesuai permintaannya itu, Adipati Singacala dimakamkan di puncak punden berundak. Namun, hal ini terjadi bisa saja bukan karena permintaan Adipati Singacala karena sudah menjadi tradisi di tatar Sunda bahwa situs-situs bersifat berkelanjutan, artinya, situs dari masa prasejarah, menjadi situs Hindu ketika Hindu sudah menjadi budaya/agama masyarakat, dan situs Hindu menjadi situs Islam ketika Islam menggantikan tradisi Hindu.
Selain itu, di Astana Gede itu pula dimakamkan mertuanya (Pangeran Usman), isterinya (Nyi Anjungsari), anaknya: (Baya Nagasari dan Dalem Satya Merta/Darma Wulan), guru ngaji (Cakra Kusumah), penjaga keamanan (Eyang Sancang). Di samping itu, ada 3 makam Kuncen Astana Gede (Angga Direja, Yuda Praja, Sacapraja), dan makam Surya Wiradikusumah.
 Jelas bahwa yang dimakamkan di Astana Gede , selain karena ada yang ukurannya yang panjang lebih dari makam pada umumnya, memang juga makam para gegeden (makam kaum menak), jadi tidak mengherankan kalau situs ini disebut Astana Gede.
 


5 komentar:

  1. Kang izin mengkopi foto-foto prasasti yang ada di situs kawali ini, ini berguna untuk tugas saya selama KKL kemarin, saya kena musibah, hp yang menyimpan dokumentasi kegiatan itu hilang kemarin, mohon izinnya, terimakasih :)

    BalasHapus
  2. Situs Astana Gede ini di Kawali tho? Bisa jadi tujuan nanti kalo mudik lebaran.

    BalasHapus
  3. Artikel yang bagus, dan berguna khususnya bagi orang kawali dan sekitarnya untuk mengingat yang selanjutnya diharapkan dapat lebih menghargai dan menghormati para leluhur kita. (http://devisofiah23.blogspot.com/)

    BalasHapus
  4. Terima kasih atas informasinya. Sangat lengkap. Sebagian saya gunakan untuk artikel di blog saya. Trims

    BalasHapus

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *