Akan
tetapi, pentingnya memperingati hari lahir Pancasila sesungguhnya tidak semata-mata
cukup dengan mengingatnya saja. Lebih dari itu, sudah seharusnya kita dapat mengaktualisasikan
spirit Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di masa seperti
sekarang ini, ketika kita dihadapkan pada gempuran globalisasi, perang “urat
saraf” sesama anak bangsa akibat perbedaan identitas atau pilihan politik, menguatnya
etnosentrisme dan xenosentrisme daripada nasionalisme, menguatnya kapitalisme dan
pasar bebas, juga beberapa sikap lain yang seolah-olah bangsa ini tidak
memiliki nilai-nilai luhur yang selama ini dianut.
Namun,
di luar itu, ada hal lain yang tak kalah pentingnya sehubungan dengan Pancasila
ini, yaitu melacak bagaimana dinamika dan perjuangan para founding father kita ini dalam merumuskan dan melahirkan Pancasila.
Yang pada gilirannya, meminjam istilah Agus Mulyana (PR, 31/05/17), Pancasila
menjadi ideologi yang teruji sejarah. Karena pada perjalanannya mengalami
beberapa ujian.
Dinamika dan
Sejarahnya
Kelahiran
Pancasila adalah produk sejarah yang tak terpisahkan dari perjalanan panjang sejarah
bangsa Indonesia. Kelahiran Pancasila merupakan hasil pergulatan pemikiran para
pendiri bangsa dengan berbagai dinamikanya. Pergulatan itu sudah muncul sejak
masa pra-kemerdekaan, terutama pada masa pendudukan Jepang.
Janji
Jepang untuk memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia diwujudkan ke dalam
pembentukan BPUPKI. Suatu badan yang mempersiapkan usaha-usaha kemerdekaan
Indonesia. Dalam upaya persiapan itu, founding
fathers yang tergabung dalam keanggotaan BPUPKI terlebih dahulu merumuskan
dasar negara. Pada kondisi inilah perdebatan menyoal konsepsi dasar negara
dimulai. Mereka dihadapkan pada pilihan: konsepsi apa yang cocok untuk negara
ini? Apakah negara ini mau dijadikan sekuler atau Islam?
Perbedaan
latar pendidikan dan aliran politik founding
fathers kerap kali menjadi latar pergulatan dan perdebatan itu terjadi. Corak
pemikiran para founding fathers
Indonesia sejak masa pergerakan kebangsaan itu terdiri dari kelompok nasionalis
sekuler dan nasionalis agama (Islam).
Nasionalis
sekuler dimaksudkan kepada golongan yang mendapatkan pendidikan barat atau
pendidikan dari pemerintah Hindia Belanda. Maka dalam menyoal perumusan dasar
negara, golongan itu tidak menghendaki dasar negara ini berasaskan pada agama
tertentu. Sementara itu, golongan nasionalis agama menjadi kebalikannya. Mereka
mengehendaki Indonesia menjadi negara agama (Darul Islam). Biasanya atau kecenderungannya, golongan nasionalis
agama ini terlahir dari tradisi keislaman yang kental dan berasal dari kalangan
pesantren (meski tidak semuanya).
Berbagai
perdebatan dan pertentangan terjadi dalam perumusan dasar negara itu hingga
melahirkan suatu konsepsi yang dikenal dengan “Piagam Jakarta” 22 Juni 1945.
Hanya saja, sila pertama pada “Piagam Jakarta” ini mendapatkan protes dari
golongan minoritas (non muslim dan masyarakat Indonesia timur). Mereka
berpandangan sila pertama pada Piagam Jakarta itu tidak mengakomodir suara dan
kepentingan mereka. Oleh karena itu, perubahan pada sila pertama dilakukan,
dari “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tentu
perubahan itu teramat penting dilakukan guna mengakomodir semua golongan dan
kelompok masyarakat Indonesia. Dengan demikian, Pancasila dianggapnya sebagai
“jalan tengah”, kalimatun sawa, antara
golongan nasionalis sekuler dan nasionalis agama. Pun menjadi titik temu atas
keragaman budaya, agama, ras, suku dan aliran politik yang tersebar di seantero
Indonesia.
Ini
membuktikan bahwa Pancasila – yang ditetapkan sebagai dasar negara pada Sidang
PPKI 18 Agustus 1945 – itu bukan hanya milik satu golongan saja, tetapi menjadi
ideologi yang merangkul semua golongan. Sehingga Pancasila menjadi ideologi
yang “inklusif”. Yang mencerminkan karakteristik dan jati diri bangsa
Indonesia. Dapat dibayangkan, andai saja perubahan sila pertama itu tidak
dilakukan, disintegrasi akan mengiringi negara yang baru merdeka ini.
Keberadaan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara terus mengalami berbagai ujian. Pada
awal kemerdekaan atau masa revolusi, selain dihadapkan pada perang fisik
melawan Sekutu dan Belanda yang merongrong kedaulatan negara, bangsa ini dihadapkan
pula pada konflik-konflik internal dalam negeri. Sebut saja pemberontakan PKI
di Madiun 1948 dan DI/TII yang meletus di berbagai daerah di Indonesia (1949-1962).
PKI dengan ideologi komunis-nya dan DI/TII dengan faham Islam-nya mencoba meruntuhkan
ideologi Pancasila.
Ujian
selanjutnya adalah ketika Bung Karno mengusulkan tiga konsepsi besar dalam
sejarah konstitusi Indonesia, yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom). Terbentuknya
tiga ideologi itu sebagai hasil pemilu 1955 dan hasil sidang konstituante 1957.
Pertentangan kembali mengemuka. Founding
fathers terbelah antara yang PKI dan anti-PKI. Konflik-konflik kepentingan
dan ideologi pun tak terhindarkan sampai pada titik di mana terjadi krisis
politik pada 1965; ditandai dengan terjadinya peristiwa G 30 S (Gestapu).
Peristiwa berdarah yang memekatkan langit Indonesia saat itu dan melahirkan
pula krisis ekonomi. Akibat dari peristiwa itu, secara politik, kekuasaan Orde
Lama Presiden Soekarno lenyap dan berganti kepada Presiden Soeharto yang
dikenal dengan pemerintahan Orde Baru. Beralihnya kekuasaan pada pemerintahan
Orde Baru saat itu dianggap sebagai kemenangan Pancasila. Sebab kekuatan PKI
dengan ideologi komunismenya yang semula cukup kuat telah binasa di bawah kuasa
Orde Baru.
Alih-alih
dalam rangka memurnikan Pancasila, maka di awal-awal pemerintahannya, Orde Baru
menetapkan kebijakan asas tunggal Pancasila. Pancasila harus menjadi
satu-satunya asas dalam berorganisasi maupun politik. Presiden Soeharto
menerapkan asas tunggal Pancasila sebagai konsekuensi atas pengalaman sejarah
yang terjadi selama pemerintahan Prseiden Soekarno (Orde Lama). Dasar historis
itulah yang memicu asas tunggal
Pancasila diterapkannya. Dengan maksud agar stabilitas politik relatif terkendali.
Hanya
saja, pada sisi lain dan praktiknya, penerapan asas tunggal Pancasila itu justru
menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dikemudian hari. Yang pada
prinsipnya justru mengerangkeng kehidupan sosial-politik masyarakat Indonesia.
Atas nama Pancasila, pemerintah Orde Baru menghabisi lawan-lawan politiknya.
Pancasila menjadi begitu “dimistifikasi” dan “disakralisasikan”. Akhirnya malah
menciderai Pancasila itu sendiri.
Namun terlepas dari itu pelajaran penting yang dapat kita tangkap atas beberapa kejadian dan peristiwa yang menguji “kesaktian” Pancasila itu adalah bahwa Pancasila sejak awal dirumuskan dan ditetapkannya hingga saat ini, tetap menjadi keyakinan bangsa dan masyarakat Indonesia. Untuk itu keberadaannya sampai sekarang tidak tergoyahkan meskipun sapuan badai begitu dahsyat. Semoga keperkasaan Pancasila terjaga bukan hanya hingga saat ini saja, melainkan abadi hingga “seribu” atau “jutaan” tahun kemudian. Selamat memperingati hari lahir Pancasila. ***
Terbit pada 2 Juni 2020, di Harian Umum Kabar Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar