Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru tergolong buku tebal, dengan jumlah 790 halaman, sehingga untuk membacanya memerlukan waktu yang relatif tidak singkat. Belum lagi dengan banyaknya pemakaian kata dan/atau istilah ‘asing’, membuat pembaca harus lebih khusyuk lagi dalam mencerna kalimat per-kalimatnya.
CSIS
Salah satu ‘kelompok’ yang dibicarakan dalam buku tersebut adalah CSIS – kependekan dari Centre Strategic for Internationale Studies. Didirikan pada 1 September 1971 oleh kelompok intelektual sipil dan militer. Dari kalangan sipil, tersebutlah, Harry Tjan Silalahi, Jusuf dan Sofjan Wanandi, Daoed Joesoef. Sementara dari kalangan militer, ada Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Organisasi itu tugasnya melakukan kajian-kajian yang kemudian dijadikan bahan masukan terhadap pemerintah yang bersifat strategis dalam bentuk studi akademi. Kedudukannya dalam pemerintahan bersifat independen, berada di luar struktur pemerintah. Meski demikian, hubungannya dengan pemerintah terjalin amat begitu erat. Nyaris tiap-tiap kebijakan pemerintah Orde Baru saat itu merupakan buah pikiran CSIS sebagai perumusnnya. Paling tidak CSIS turut andil di dalamnya. Karena itu, CSIS sering disebut-sebut sebagai “dapur”-nya Orde Baru. Keintiman tersebut dapat terbaca karena posisi Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani sebagai orang CSIS, pada satu sisi. Pada sisi lain, Ali dan Soedjono menduduki jabatan Aspri Presiden Soeharto dalam pemerintahan.
Relasi orang-orang CSIS dengan Soeharto (simbol Orde Baru) sebetulnya sudah cukup lama terjalin. Relasi itu bukan saja menempatkan Ali Moertopo dan Soedjono Homardani yang sama-sama aktif di militer bersama Soeharto sejak perang kemerdekaan. Akan tetapi, dalam konteks ini, hubungan persahabatan Harry Tjan atau Jusuf-Sofjan Wanandi sebagai kelompok intelektual sipil dengan Soeharto.
Adalah tragedi kelam G 30 S yang menjadi jembatan perkenalan Harry Tjan dkk, di CSIS dengan Soeharto, Ali Moertopo, atau elit militer Orba lainnya. Harry Tjan dan Wanandi bersaudara (Jusuf dan Sofjan) merupakan aktivis sekaligus intelektual muda Katolik. Garis perjuangan kelompok Katolik sama dengan kebanyakan rakyat Indonesia kala itu, yakni kontra-Komunis (PKI).
Bersama TNI AD (khususnya) yang dimotori Soeharto, mereka turut menyingkirkan PKI beserta “onderbouw”-nya. Kelompok Katolik itu tergabung dalam front Pancasila dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) bersama aktivis lainnya yang berbeda latar organisasi, namun satu tujuan untuk melawan PKI.
Keterlibatan Harry Tjan dan Wanandi bersaudara dalam menyingkirkan PKI salah satunya melalui aksi yang dikenal dengan Tritura. Aksi massa besar-besaran yang kemudian menyebabkan berakhirnya Presiden Soekarno. Keterangan barusan disampaikan panjang lebar oleh Jusuf Wanandi dalam memoarnya (2014), Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik 1965-1998.
Zaman berganti, kekuasaan pun beralih pada Soeharto. Singkat cerita, perjuangan Harry Tjan dan kelompok muda Katolik lainnya untuk Indonesia berlanjut di era pemerintahan Soeharto melalui CSIS. Jusuf Wanandi (2014) mengungkap alasan dirinya dan teman-temannya membentuk CSIS dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran pada pemerintah, namun dalam wadah yang lebih profesional dan independen.
Jusuf melanjutkan, CSIS mengambil posisi berada di luar pemerintah, supaya menjadi lembaga kredibel di mata masyarakat internasional. Kehadirannya diterima pemerintah dan dunia internasional, tapi tanpa menyensor kegiatan-kegiatan yang kami kerjakan.
Banyak peran yang dilakukan CSIS dalam panggung politik Orde Baru, misal saja, dalam upaya memulihkan hubungan Indonesia-Malaysia yang selama kepemimpinan Soekarno terlibat dalam satu konfrontasi, hingga tercetusnya organisasi ASEAN di Thailand pada 1967. Daripada itu, CSIS berperan juga dalam upaya pembebasan Irian Barat dan aneksasi timor-timor 1974-1975, misalnya.
Dari beberapa peran yang melibatkan CSIS dalam penentuan kebijakan Orde Baru, namun tak sedikit pula yang memandang CSIS terlibat dalam upaya mendeislamisasi peran politik umat Islam seperti yang dituduhkan George Aditjondro (Sembodo, 2009). Ia menyebut, “CSIS adalah jaringan yang dibuat Pater Beek, agen CIA yang ditugasi semula untuk menghancurkan Komunisme di Indonesia. Setelah Komunis tersingkir, mereka juga bercita-cita melenyapkan kekuatan kelompok Islam, karena baginya ancaman terbesar politik mereka setelah PKI lenyap adalah kelompok Islam”.
Itu yang kemudian sebagian orang atau pihak menghubungkan mereka “anti-Islam”, terlebih ketika terjadinya kerusuhan Tanjung Priok 1984 seperti di ungkap Sembodo. Sembodo (2009) menyebut, bahwa otak kerusuhan di Tanjung Priok adalah CSIS dan L.B. Moerdani. Kerusuhan itu disetting bagian dari upaya mendelegitimasi kekuatan umat Islam, sebagaimana yang sudah jauh-jauh hari dilakukan Ali Moertopo bersama Opsus dalam membatasi peran politik umat Islam.
Memang upaya itu menjadi salah satu agenda pemerintah Orde Baru di awal kekuasaannya. Mereka memandang setelah Komunisme lenyap, kekhawatiran sekaligus ancaman untuk bangsa ini adalah kekuatan kelompok Islam. Alasan itu mendasarkan pada faktor histori; pernah meletusnya pemberontakan DI/TII 1949-1962, juga sebagai upaya menegakkan Pancasila sebagai asas tunggal.
Merangkul Islam
Akan tetapi, sikap politik Soeharto yang mengabaikan peran politik umat Islam berputar sedemikian rupa, semula “menggebuk” Islam jadi merangkul Islam. Berubahnya sikap politik Soeharto itu, setidaknya saya melihatnya dipengaruhi oleh dua faktor.
Faktor
eksternal, mendekatnya Soeharto pada kelompok Islam dipengaruhi karena pecahnya
Revolusi Iran 1979. Suatu revolusi terbesar ketiga dalam catatan sejarah dunia
pada periode kontemporer (setelah Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika). Ini
menjadikan Soeharto khawatir memberikan efek domino pada negara-negara lain,
termasuk menimpa Indonesia.
Terlebih, secara internal, umat Islam di Indonesia diperlakuan “kurang menyenangkan” sebelumnya. Mungkin saja Soeharto berpandangan, kelompok Islam bisa jadi bom waktu, yang dapat meletus sewaktu-waktu. Ditambah setelah kondisi di dalam negeri mengalami gejolak buntut dari Kerusuhan di Tanjung Priok 1984 dan Kerusuhan Talangsari pada 1989.
Maka dalam upayanya merangkul kelompok Islam, Soeharto memutuskan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada umat Islam, seperti diperbolehkannya penggunaan jilbab bagi pelajar dan pegawai-pegawai kantoran. Kemudian, didirikannya Bank Muamalat. Dalam bidang organisasi keagamaan, Soeharto merestui pendirian ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) pada 7 Desember 1990. Bahkan ICMI menjadi lembaga “think-thank” Soeharto berikutnya, menggeser kelompok CSIS yang dipersona non-gratakan pada 1988 – seiring pudarnya pengaruh L.B. Moerdani.
Tak kalah penting lagi, di dalam tubuh militer (ABRI) pun terjadi restrukturisasi kepemimpinan. Pasca dimutasinya L.B. Moerdani beserta orang-orang dekatnya dalam pucuk pimpinan ABRI, Soeharto menempatkan jenderal-jenderal yang kental keislaman untuk menjadi pimpinan ABRI, sebagaimana Feisal Tanjung menjabat Panglima ABRI dan Rd. Dharsono sebagai KSAD.
Berubahnya sikap politik Soeharto seperti yang telah disebut di atas, konon, ini yang membuat “barisan sakit hati” terlibat dalam kerusuhan Mei 1998 hingga pada momentum Soeharto lengser keprabon. Benarkah demikian? Wallahu’alam Bishawab.
Tentu dibutuhkan proses pengkajian yang tidak sembarangan dan penuh kehati-hatian. Yang jelas, dalam konteks ini, memberikan keterangan bahwa posisi cendikiawan (sipil) telah memberikan daya tarik Soeharto, untuk turut berkontribusi dalam peroses kebijakan pemerintahannya. Keberadaan intelektual sipil mewarnai khasanah pembangunan di masa Orde Baru yang identik dengan militer. Dalam konteks ini juga, bahwa keberadaan mereka tidak berada pada posisi objek, melainkan subjek kebijakan.
Semoga
sepenggal kisah mengenai Orde Baru yang ditulis pada momentum 22 tahun
reformasi ini bermanfaat adanya dan kita dapat mengambil pelajaran dari
tiap-tiap kejadian untuk kemudian kita jadikan cerminan di hari ini dan masa
mendatang. Karena itulah esensi belajar dari sejarah.
Terbit pada 20 Mei 2020, di Harian Umum Kabar Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar