Rabu, 16 Oktober 2019

TNI dan Resolusi Jihad



Sekurang-kurangnya terdapat empat hari penting dalam sejarah bangsa Indonesia yang biasa diperingati tiap tahunnya di bulan Oktober ini. Tersebutlah Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober; Hari lahir Tentara Nasional Indonesia (TNI), tertanggal 5 Oktober; Hari Santri Nasional 22 Oktober; dan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober.
Namun dalam tulisan ini tidak akan dibicarakan keempatnya, melainkan dua momentum  saja, yakni setali hari lahir TNI dan HSN. Itu karena dua momentum tersebut memiliki relevansi cukup dekat. Keduanya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari panggung sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia.
TNI dan Sejarahnya
Nyaris tidak ada di dunia ini suatu negara yang tak memiliki tentara sebagai perangkatnya. Oleh karena itu, tentara akan selalu kita temukan di tiap-tiap negara manapun, tanpa kecuali. Sebab tentara menjadi komponen terpenting tegaknya sebuah negara.
Dalam konteks di Indonesia, organisasi ketentaraan disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tugas, pokok dan fungsi TNI tertuang dalam UUD No. 34 tahun 2004. Undang-undang tersebut menjadi landasan yuridis TNI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sementara untuk melacak bagaimana sejarahnya, mau tidak mau, harus membuka lorong sejarah Indonesia di awal kemerdekaan.
Dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak otomatis menjadikan Indonesia betul-betul merdeka. Sekutu selaku pemenang dalam Perang Dunia II melawan Blok Fasis, merasa bahwa negara-negara yang sebelumnya dikuasai Blok Fasis harus tunduk pada Sekutu. Begitu pula dengan Indonesia. Indonesia yang sebelumnya dikuasai Jepang (Blok Fasis) harus tunduk pada Sekutu.
Menyadari adanya ancaman itu, timbul kesadaran dari rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan fisik. Rakyat Indonesia yang terdiri dari para pemuda, opsir Peta, mantan prajurit KNIL (Koninklijk Nederlansche Oos Indische Leger), Heiho, Seinendan dan anggota badan-badan perjuangan kemudian menggabungkan diri dalam wadah bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR dibentuk tanggal 22 Agustus 1945 dan diresmikan tanggal 30 Agustus 1945.
BKR berubah nama menjadi Tentara Kemanan Rakyat (TKR). Perubahan itu didasarkan pada Maklumat Presiden Soekarno tanggal 5 Oktober 1945. Sin Po, No. 882., tertanggal 5 Oktober 1948 mengabarkan perubahan itu karena sebagian pihak menganggap tugas BKR hanya mencerminkan tugas-tugas kepolisian ketimbang ketentaraan. Maka mulai lah digunakan istilah tentara yang menandakan pembentukan lembaga ketentaraan secara resmi dan reguler. Daripada itu dipilih juga Jenderal Soedirman sebagai panglima yang mengepalai semua anggota ketentaraan, sehingga terciptanya satu komando ketentaraan yang terperinci secara sistematis dan masif.
Pada tahun berikutnya, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kembali mengalami beberapa kali perubahan nama. Sebut saja, pada 7 Januari 1946 “Tentara Keamanan Rakyat” berganti menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat” – meski sama-sama disingkatnya TKR. Pada tanggal 24 Januari 1946 berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Kali ini, perubahan itu dikarenakan adanya protes dari kelompok Islam. Mereka menilai tercantumnya kata “keselamatan” dalam TKR adalah berbau “Kristen”. Dihubungkan dengan istilah Leger Des Heils (Bala Keselamatan).
Tanggal 23 Februari 1946, diselenggarakan re-organisasi tentara yang bertujuan menentukan kebijakan pertahanan, organisasi tentara dan kedudukan badan-badan perjuangan. Hasil akhir diputuskan untuk dilakukannya peleburan badan-badan perjuangan dengan TRI. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan, karena sering kali badan-badan perjuangan itu bertindak sendiri-sendiri.
Maka pada 3 Juni 1947disepakatinya peleburan Badan-Badan Perjuangan dengan TRI. Sejak itu pula kemudian organisasi ketentaraan itu dinamai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pun TNI menjadi satu-satunya badan perjuangan atau tentara resmi/reguler pemerintah Indonesia.
Walau demikian, secara nama, TNI kembali mengalami perubahan nama. Hal ini menyesuaikan berdasarkan konteksnya. Misal, ketika pemerintahan Indonesia berbentuk Serikat, TNI berganti menjadi Angkatan Perang Repulik Indonesia Serikat (APRIS). Setelah RIS bubar pada 17 Agustus 1950, APRIS berubah jadi APRI (Angkatan Perang Repulik Indonesia).
Pada tahun 1962 s.d 1998, APRI berubah menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Repulik Indonesia). Seiring bergulirnya reformasi 1998, nama ABRI pun kembali berubah menjadi TNI.   
Poin pentingnya adalah, saya sepakat dengan Salim Said bahwa keberadaan TNI itu sama tua nya dengan perjalanan bangsa Indonesia. Konstelasi politik yang sangat kompleks dalam suasana revolusioner saat itu telah melahirkan sosok institusi TNI. Tidaklah berlebihan bila ada ungkapan TNI anak kandung revolusi Indonesia. Sebab ia tidak dilahirkan melalui rahim sistem politik yang saat itu didominasi oleh para politisi, melainkan oleh kompleksitas suasana revolusioner tersebut.
Resolusi Jihad
Resolusi jihad pun menjadi bagian penting dalam panggung sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia. Istilah resolusi jihad dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad memberi gambaran bahwa umat Islam dengan penuh keyakinan siap tempur membela dan menegakkan kemerdekaan Indonesia.  Dari itu pula, resolusi jihad adalah sebuah fatwa yang menempatkan perjuangan membela Islam dan Indonesia sebagai jihad fi sabilillah.
Konstalasi politik Indonesia usai tercetusnya resolusi jihad diwarnai dengan ketegangan dan baku-tembak antara para pejuang dengan pihak Belanda-Sekutu. Ekses lanjutan peristiwa ini sampai pada peristiwa 10 November, pertempuran di Surabaya. Suatu pertempuran terbesar di permulaan revolusi kemerdekaan, hingga pasukan Sekutu menyebut para pejuang Indonesia di Surabaya sebagai “Pasukan Neraka”.
Surabaya menjadi melting pot para pejuang dari berbagai daerah dan elemen masyarakat, khususnya ulama-santri sebagai motor penggerak. Bersama TNI, mereka melebur menjadi satu atas nama Indonesia.
Oleh karena itu, TNI, resolusi jihad, ulama, santri dan revolusi adalah lima konsep yang saling berkelindan dan menjadi variabel utama dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Maka wajar bila pemerintah Indonesia sejak 2015 menetapkan momentum resolusi jihad sebagai landasan historis ditetapkannya Hari Santri Nasional. Hal itu sebagai wujud apresiasi pemerintah terhadap peran sentral ulama-santri dalam mengisi lembaran sejarah Indonesia.
Tugas kita sekarang ini meneladani nilai juang itu sebagai spirit dalam membangun politik kebangsaan sebagai wujud tanggung jawab memperkokoh Indonesia. Nilai-nilai yang sudah dibangun para ulama-santri sejak zaman pra-kemerdekaan sangat layak dikembangkan menjadi bekal untuk mewujudkan baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur dalam bingkai NKRI. Selamat HUT TNI dan Hari Santri Nasional.***


Terbit pada 14 Oktober 2019, di Harian Umum Kabar Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *