Sekurang-kurangnya terdapat empat hari
penting dalam sejarah bangsa Indonesia yang
biasa diperingati
tiap tahunnya di bulan Oktober ini. Tersebutlah
Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober; Hari lahir Tentara Nasional Indonesia
(TNI), tertanggal 5 Oktober; Hari Santri Nasional 22 Oktober; dan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober.
Namun dalam tulisan ini tidak akan dibicarakan
keempatnya, melainkan dua momentum saja, yakni setali hari
lahir TNI dan HSN. Itu karena dua momentum tersebut
memiliki relevansi cukup dekat. Keduanya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
panggung sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia.
TNI dan Sejarahnya
Nyaris
tidak ada di dunia ini suatu negara yang tak memiliki tentara sebagai
perangkatnya. Oleh karena itu, tentara akan selalu kita temukan di tiap-tiap
negara manapun, tanpa kecuali. Sebab tentara menjadi komponen terpenting
tegaknya sebuah negara.
Dalam
konteks di Indonesia, organisasi ketentaraan disebut Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Tugas, pokok dan fungsi TNI tertuang
dalam UUD No. 34 tahun 2004. Undang-undang tersebut menjadi landasan yuridis
TNI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sementara untuk melacak bagaimana sejarahnya,
mau tidak mau, harus membuka lorong sejarah Indonesia di awal kemerdekaan.
Dikumandangkannya
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tidak otomatis menjadikan Indonesia betul-betul merdeka. Sekutu selaku
pemenang dalam Perang Dunia II melawan Blok Fasis, merasa bahwa negara-negara
yang sebelumnya dikuasai Blok Fasis harus tunduk pada Sekutu. Begitu pula dengan Indonesia. Indonesia yang sebelumnya
dikuasai Jepang (Blok Fasis) harus tunduk
pada Sekutu.
Menyadari
adanya ancaman itu, timbul
kesadaran dari rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui
perjuangan fisik. Rakyat Indonesia yang terdiri dari para pemuda, opsir Peta,
mantan prajurit KNIL (Koninklijk
Nederlansche Oos Indische Leger), Heiho, Seinendan dan anggota badan-badan perjuangan kemudian menggabungkan diri
dalam wadah bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR dibentuk tanggal 22
Agustus 1945 dan diresmikan tanggal
30 Agustus 1945.
BKR
berubah nama menjadi Tentara Kemanan Rakyat (TKR). Perubahan itu didasarkan
pada Maklumat Presiden Soekarno tanggal 5 Oktober 1945. Sin Po, No. 882., tertanggal
5 Oktober 1948 mengabarkan “perubahan itu karena sebagian pihak menganggap tugas
BKR hanya mencerminkan tugas-tugas kepolisian ketimbang ketentaraan. Maka mulai lah
digunakan istilah tentara yang menandakan pembentukan lembaga ketentaraan
secara resmi dan reguler. Daripada itu dipilih juga Jenderal Soedirman sebagai
panglima yang mengepalai semua anggota ketentaraan, sehingga terciptanya satu
komando ketentaraan yang terperinci secara sistematis dan masif.”
Pada
tahun berikutnya, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kembali mengalami beberapa kali
perubahan nama. Sebut saja, pada 7 Januari 1946 “Tentara Keamanan Rakyat”
berganti menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat” – meski
sama-sama disingkatnya TKR. Pada tanggal 24 Januari 1946 berubah menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI). Kali ini, perubahan
itu dikarenakan adanya protes dari kelompok Islam. Mereka menilai tercantumnya
kata “keselamatan” dalam TKR adalah berbau “Kristen”. Dihubungkan dengan
istilah Leger Des Heils (Bala
Keselamatan).
Tanggal 23 Februari 1946, diselenggarakan
re-organisasi tentara yang bertujuan menentukan kebijakan pertahanan, organisasi
tentara dan kedudukan badan-badan perjuangan. Hasil akhir diputuskan untuk
dilakukannya peleburan badan-badan perjuangan dengan TRI. Ini dimaksudkan untuk
menghilangkan dualisme kepemimpinan, karena sering kali
badan-badan perjuangan itu bertindak sendiri-sendiri.
Maka
pada 3 Juni 1947disepakatinya peleburan Badan-Badan Perjuangan dengan TRI.
Sejak itu pula kemudian organisasi ketentaraan itu dinamai Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Pun TNI menjadi satu-satunya badan perjuangan atau tentara resmi/reguler pemerintah Indonesia.
Walau demikian, secara nama, TNI kembali mengalami
perubahan nama. Hal ini menyesuaikan berdasarkan konteksnya. Misal, ketika pemerintahan Indonesia
berbentuk Serikat, TNI berganti menjadi
Angkatan Perang Repulik Indonesia Serikat (APRIS). Setelah RIS bubar pada 17
Agustus 1950, APRIS berubah jadi APRI (Angkatan Perang Repulik Indonesia).
Pada
tahun 1962 s.d 1998, APRI berubah menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Repulik
Indonesia). Seiring bergulirnya reformasi 1998, nama
ABRI pun kembali berubah menjadi TNI.
Poin pentingnya
adalah, saya sepakat dengan Salim Said bahwa
keberadaan TNI itu sama tua nya dengan perjalanan bangsa
Indonesia. Konstelasi politik yang sangat kompleks dalam suasana revolusioner
saat itu telah melahirkan sosok institusi TNI. Tidaklah
berlebihan bila ada ungkapan TNI “anak
kandung” revolusi Indonesia. Sebab ia tidak
dilahirkan melalui rahim sistem politik yang saat itu didominasi oleh para
politisi, melainkan oleh kompleksitas suasana revolusioner tersebut.
Resolusi
Jihad
Resolusi
jihad pun menjadi bagian penting dalam panggung sejarah revolusi kemerdekaan
Indonesia. Istilah resolusi jihad dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Resolusi
Jihad memberi
gambaran bahwa umat Islam dengan penuh keyakinan siap tempur membela dan
menegakkan kemerdekaan Indonesia. Dari
itu pula, resolusi jihad adalah sebuah fatwa yang menempatkan perjuangan
membela Islam dan Indonesia sebagai jihad
fi sabilillah.
Konstalasi
politik Indonesia usai tercetusnya resolusi jihad diwarnai dengan
ketegangan dan baku-tembak antara para pejuang dengan pihak Belanda-Sekutu.
Ekses lanjutan peristiwa ini sampai pada peristiwa 10 November, pertempuran di
Surabaya. Suatu pertempuran terbesar di permulaan revolusi kemerdekaan, hingga
pasukan Sekutu menyebut para pejuang Indonesia di Surabaya sebagai “Pasukan
Neraka”.
Surabaya
menjadi melting pot para
pejuang dari berbagai daerah dan elemen masyarakat, khususnya
ulama-santri sebagai motor penggerak. Bersama
TNI, mereka
melebur menjadi satu atas nama Indonesia.
Oleh
karena itu, TNI, resolusi jihad, ulama, santri dan revolusi adalah lima konsep
yang saling berkelindan dan menjadi variabel utama dalam revolusi kemerdekaan
Indonesia. Maka wajar bila pemerintah Indonesia
sejak 2015 menetapkan momentum resolusi jihad sebagai landasan historis
ditetapkannya Hari Santri Nasional. Hal itu sebagai wujud apresiasi pemerintah
terhadap peran sentral ulama-santri dalam mengisi lembaran sejarah Indonesia.
Tugas kita sekarang ini meneladani nilai
juang itu sebagai spirit dalam membangun politik kebangsaan sebagai wujud
tanggung jawab memperkokoh Indonesia. Nilai-nilai
yang sudah dibangun para ulama-santri sejak zaman pra-kemerdekaan sangat layak
dikembangkan menjadi bekal untuk mewujudkan baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur dalam bingkai NKRI. Selamat
HUT TNI dan Hari Santri Nasional.***
Terbit pada 14 Oktober 2019, di Harian Umum Kabar Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar