Rabu, 09 Oktober 2019

Mencermati Pilkada Jabar

Seperti diberitakan, 2018 disebut-sebut tahun politik di republik ini. Itu dikarenakan ratusan daerah--kabupaten/kota dan provinsi--akan menggelar pesta demokrasi secara bersamaan. Sebuah perhelatan akbar yang diklaim menjadi panggung kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin beserta wakilnya untuk lima tahun ke depan. Hari pencoblosannya sudah ditetapkan KPU RI pada 27 Juni 2018 mendatang. Konon, Pilkada serentak ke-3 ini memakan biaya hingga 11,3 triliun. Ukuran angka yang sangat fantastis. Bisa diwariskan hingga 7 turunan bagi orang seperti saya ini.

Rencananya, ada 171 daerah yang mengikuti pilkada serentak 2018, meliputi 17 provinsi, 39 kota dan 115 daerah kabupaten. Provinsi Jawa Barat salah satunya. Demikian juga 6 kota di Jawa Barat (Bandung, Bekasi, Banjar, Bogor, Cirebon dan Sukabumi); dan 9 kabupaten (Bogor, Bandung Barat, Purwakarta, Sumedang, Subang, Majalengka, Kuningan, Cirebon dan Ciamis).

Dalam konteks Pilkada di provinsi (Jabar), tercatat ada empat petarung. Tersebutlah pasangan Sudrajat-Akhmad Syaikhu (Asyik), Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (2DM), Ridwan Kamil-Uu Ruhzanul Ulum (Rindu) dan TB. Hassanudin-Anton Charliyan (Hassanah).

Waktu kampanye memang belum di mulai, namun peluit sudah dibunyikan. Itu terjadi di minggu-minggu awal Januari kala sang calon mendeklarasikan kemudian mendaftar ke KPUD Jawa Barat. Masing-masing calon mulai gencar memburu simpati. Menebar pesona. Ber-amis budi, agar dapat meraih mimpi, memburu kemenangan saat perhitungan suara tiba. Tim pemenangan telah dibentuk di mana-mana. Masuk ke segala sektor, dari dunia maya hingga dunia nyata.

Fenomena Pilkada memang banyak menarik perhatian, mulai cacah hingga menak, dari kaum melarat hingga konglomerat. Semua riuh dalam pesta lima tahunan ini. Bagaimana tidak? Itu yang membuat kita seakan dipaksa melibatkan diri karena menyangkut hidup kita di hari-hari depan.


Politik Identitas
Sejak Pilkada Jakarta 2017 berlangsung, diakui atau tidak, politik identitas cukup menggebu-gebu mewarnai kehidupan politik tanah air. Menimbulkan dampak kurang sehat bagi pertumbuhan demokrasi saat ini. Tidak jarang, pola gerak simpatisan atau tim pemenangan calon mempertontonkan sikap kurang mendidik. Tidak terpuji dan jauh dari pekerti: mengotak-atik kejelekkan lawan dan menjunjung setinggi langit calon yang diidamkan.

Akibatnya, benar-salah menjadi bias. Tidak jelas lagi tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Benar jadi salah, salah jadi benar. Mereka menyandarkan pada rasionalisasi Machiavelli. Ini yang penulis temukan di media sosial facebook dan instagram. Kalau sudah begitu, adakah kata yang lebih pantas disematkan selain ketidakjujuran, kemunafikan atau kebrengsekkan?

Politik identitas menjadi salah satu konsep penting dalam memahami fenomena politik belakangan ini. Heyes memberi definisi bahwa politik identitas sebagai aktivitas politik dalam arti yang secara teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Oleh karena itu, politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan “kekitaan” yang menjadi perekat utama kolektivitas kelompok tertentu.

Teringat ucapan Usep S. Ahyar (Direktur Populi Center) yang saya baca dalam berita internet tempo hari. Menurutnya, sektor yang paling rentan diangkat menjadi “tema” politik identitas di Jawa Barat adalah persoalan keagamaan dan kebudayaan. Penduduk Jawa Barat mayoritas beragama Islam dan bersuku Sunda. Maka Islam dan Sunda adalah identitas. Islam dan Sunda identitas yang cukup ditonjolkan di Jawa Barat. Dua aspek yang sama-sama menyangkut persoalan prinsip (hidup). Oleh karena itu, dua aspek tersebut sangat riskan kiranya bila dipolitisasi. Apalagi, di Jawa Barat, secara historis, punya potensi politik identitas. Itu cukup mengental.

Dengan demikian, mewaspadai agar politik identitas tidak terjadi sudah menjadi sebuah keharusan dan menjadi PR kita bersama, terutama pihak-pihak yang turut langsung dalam prosesi Pilkada ini. Jangan sampai kejadian di Jakarta terulang di Jawa Barat. Bukan tidak mungkin hal itu merambah ke Jawa Barat.  Mengingat  peta politik Jawa Barat adalah miniatur perpolitikan nasional dengan total pemilih (32,8 juta orang) terpadat di Indonesia. Ditambah dalam kurun waktu yang tidak lama lagi berlanjut pada momentum Pilpres 2019 mendatang. Tentu akan berpengaruh terhadap eskalasi politik nasional. Tapi sudah lah, saya gak akan melingkar. Besar harapan semoga itu tidak terjadi di Jawa Barat. Bila ini terjadi makin meneguhkan citra Jawa Barat sebagai provinsi ter-intoleran di Indonesia.

Mendadak Nyunda
Di luar politik identitas, fenomena unik ketika menjelang Pilkada di Jawa Barat adalah para kandidat seringkali mendadak nyunda. Sedikitnya ada dua contoh yang saya amati. Pertama, pemakaian kata “kang” yang mulai popular disematkan pada nama kandidat. Pemandangan itu banyak kita temukan di baliho, spanduk, atau alat peraga kampanye lainnya yang bertebaran di lapangan.

Secara bahasa, “kang akronim dari kata “akang”, padanan kata aa. Dalam bahasa Sunda kata “kang” atau “akang” biasa diucapkan kepada: (1) laki-laki dewasa; (2) laki-laki lebih tua dari penyapanya; (3) bentuk penghormatan. Kedua, kandidat acap menampilkan atribut ke-Sunda-an biar dibilang nyunda? Seperti hal memakai iket dan baju pangsi, pin/gambar kujang atau simbol-simbol ke-Sunda-an lainnya, misalnya.

Pertanyaan besar yang muncul setali dengan itu, apakah ini bagian dari agenda pencitraan? seakan mendekatkan jarak, menghilangkan skat, biar terkesan membumi, menghilangkan stratifikasi. Suudzonnya, ujung-ujunganya suara!

Bukan nyinyir, bukan pula benci. Hanya agak kaget saja, sebab itu acap dipraktekkan saat menjelang Pilkada saja. Memang tidak ada batas norma yang ditabrak. Semua orang boleh menggunakannya. Dan tiap orang berhak mempopulerkannya. Asal pembumian atribut ke-Sunda-an yang ditunjukkan para kandidat bukan saja karena untuk pencitraan semata melainkan atas dasar reeus kana budaya tur mikacinta lemah cai. Sekali lagi, besar harapan semoga itu bukan untuk pencitraan semata.

Tetapi perlu kita diakui juga, Kang Emil (sapaan akrab Ridwan Kami, Walikota Bandung) adalah kandidat yang cukup konsisten mencontohkan pemakaian atribut itu. Kang Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta), apalagi.   

Tanda Bahasa
Simbol adalah tanda bahasa untuk menarasikan makna dan maksud manusia yang memakainya. Melalui simbol, kehendak, maksud, atau karakter seseorang dapat terwakili. Dengan simbol, hampir segala bisa diangkat dan dibicarakan, termasuk soal pilkada, sebagaimana disinggung di atas.

Namun ada satu hal lain yang layak dicermati dalam kurun lima bulan lagi, hingga hari H (27 Juni) nanti: kita selaku masyarakat mesti nintingi (nimbang-nimbang) dalam menakar potensi masing-masing kandidat. Menilai kandiat mana yang cocok menahkodai Jawa Barat untuk lima tahun ke depan. Di samping mengukur visi-misi sekaligus rekam jejak kandidat adalah hal yang tak kalah penting untuk jadi perhatian sebelum hari pencoblosan.

Kini bukan lagi persoalan simbol, bahasa, atau janji-janji politik yang diharapkan masyarakat. Masyarakat sudah muak disuguhi berbagai drama politik yang diberikan penguasa saat ini dengan berbagai muslihatnya.Yang masyarakat perlukan adalah tekad, ucap, dan lampah yang dimiliki seorang pemimpin harus berasaskan cageur (sehat), bageur (baik dan shaleh), bener (benar dan amanah), pinter (pintar, cerdik), singer (terampil, tekun).

Adapun hubungannya dengan persoalan politik identitas, sedianya politik identitas tak lagi dimunculkan. Kita semua mafhum, sejak kemerdekaan Indonesia 1945, para founding father kita sudah menyebutkan bahwa prinsip dasar negara Indonesia berasaskan gotong royong. Memuat makna dari semua untuk semua. Bila itu sudah terpenuhi, Jawa Barat yang mengusung falsafah gemah ripah repeh rapih, sugih mukti loh jinawi tidak hanya ada di kata, tapi berubah menjadi fakta. Semoga.***

Terbit pada 21 Februari 2018, di Harian Umum Kabar Cirebon



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *