
Rencananya, ada 171 daerah yang
mengikuti pilkada serentak 2018, meliputi 17 provinsi, 39 kota dan 115 daerah
kabupaten. Provinsi Jawa Barat salah satunya. Demikian juga 6 kota di Jawa
Barat (Bandung, Bekasi, Banjar, Bogor, Cirebon dan Sukabumi); dan 9 kabupaten (Bogor,
Bandung Barat, Purwakarta, Sumedang, Subang, Majalengka, Kuningan, Cirebon dan
Ciamis).
Dalam konteks Pilkada di provinsi (Jabar),
tercatat ada empat petarung. Tersebutlah pasangan Sudrajat-Akhmad Syaikhu
(Asyik), Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (2DM), Ridwan Kamil-Uu Ruhzanul Ulum (Rindu)
dan TB. Hassanudin-Anton Charliyan (Hassanah).
Waktu kampanye memang belum di mulai,
namun peluit sudah dibunyikan. Itu terjadi di minggu-minggu awal Januari kala sang
calon mendeklarasikan kemudian mendaftar ke KPUD Jawa Barat. Masing-masing
calon mulai gencar memburu simpati. Menebar pesona. Ber-amis budi, agar dapat meraih mimpi, memburu kemenangan saat
perhitungan suara tiba. Tim pemenangan telah dibentuk di mana-mana. Masuk ke
segala sektor, dari dunia maya hingga dunia nyata.
Fenomena Pilkada memang banyak menarik
perhatian, mulai cacah hingga menak, dari kaum melarat hingga
konglomerat. Semua riuh dalam pesta lima tahunan ini. Bagaimana tidak? Itu yang
membuat kita seakan dipaksa melibatkan diri karena menyangkut hidup kita di
hari-hari depan.
Politik
Identitas
Sejak Pilkada Jakarta 2017 berlangsung, diakui
atau tidak, politik identitas cukup menggebu-gebu mewarnai kehidupan politik
tanah air. Menimbulkan dampak kurang sehat bagi pertumbuhan demokrasi saat ini.
Tidak jarang, pola gerak simpatisan atau tim pemenangan calon mempertontonkan
sikap kurang mendidik. Tidak terpuji dan jauh dari pekerti: mengotak-atik
kejelekkan lawan dan menjunjung setinggi langit calon yang diidamkan.
Akibatnya, benar-salah menjadi bias.
Tidak jelas lagi tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Benar jadi
salah, salah jadi benar. Mereka menyandarkan pada rasionalisasi Machiavelli.
Ini yang penulis temukan di media sosial facebook
dan instagram. Kalau sudah begitu, adakah kata yang lebih pantas disematkan
selain ketidakjujuran, kemunafikan atau kebrengsekkan?
Politik identitas menjadi salah satu
konsep penting dalam memahami fenomena politik belakangan ini. Heyes memberi
definisi bahwa politik identitas sebagai aktivitas politik dalam arti yang
secara teoritik menemukan pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang dirasakan
kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Oleh karena itu, politik
identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan “kekitaan”
yang menjadi perekat utama kolektivitas kelompok tertentu.
Teringat ucapan Usep S. Ahyar (Direktur
Populi Center) yang saya baca dalam berita internet tempo hari. Menurutnya, sektor
yang paling rentan diangkat menjadi “tema” politik identitas di Jawa Barat
adalah persoalan keagamaan dan kebudayaan. Penduduk Jawa Barat mayoritas
beragama Islam dan bersuku Sunda. Maka Islam dan Sunda adalah identitas. Islam
dan Sunda identitas yang cukup ditonjolkan di Jawa Barat. Dua aspek yang
sama-sama menyangkut persoalan prinsip (hidup). Oleh karena itu, dua aspek
tersebut sangat riskan kiranya bila dipolitisasi. Apalagi, di Jawa Barat,
secara historis, punya potensi politik identitas. Itu cukup mengental.
Dengan demikian, mewaspadai agar politik
identitas tidak terjadi sudah menjadi sebuah keharusan dan menjadi PR kita
bersama, terutama pihak-pihak yang turut langsung dalam prosesi Pilkada ini.
Jangan sampai kejadian di Jakarta terulang di Jawa Barat. Bukan tidak mungkin
hal itu merambah ke Jawa Barat.
Mengingat peta politik Jawa Barat
adalah miniatur perpolitikan nasional dengan total pemilih (32,8 juta orang)
terpadat di Indonesia. Ditambah dalam kurun waktu yang tidak lama lagi
berlanjut pada momentum Pilpres 2019 mendatang. Tentu akan berpengaruh terhadap
eskalasi politik nasional. Tapi sudah lah, saya gak akan melingkar. Besar
harapan semoga itu tidak terjadi di Jawa Barat. Bila ini terjadi makin meneguhkan
citra Jawa Barat sebagai provinsi ter-intoleran di Indonesia.
Mendadak
Nyunda
Di luar politik identitas, fenomena unik
ketika menjelang Pilkada di Jawa Barat adalah para kandidat seringkali mendadak
nyunda. Sedikitnya ada dua contoh
yang saya amati. Pertama, pemakaian
kata “kang” yang mulai popular disematkan pada nama kandidat. Pemandangan itu
banyak kita temukan di baliho, spanduk, atau alat peraga kampanye lainnya yang
bertebaran di lapangan.
Secara bahasa, “kang” akronim dari kata “akang”, padanan kata aa. Dalam bahasa Sunda kata “kang” atau
“akang” biasa diucapkan kepada: (1) laki-laki dewasa; (2) laki-laki lebih tua
dari penyapanya; (3) bentuk penghormatan. Kedua,
kandidat acap menampilkan atribut ke-Sunda-an biar dibilang nyunda? Seperti hal memakai iket dan baju pangsi, pin/gambar kujang
atau simbol-simbol ke-Sunda-an lainnya, misalnya.
Pertanyaan besar yang muncul setali
dengan itu, apakah ini bagian dari agenda pencitraan? seakan mendekatkan jarak,
menghilangkan skat, biar terkesan membumi, menghilangkan stratifikasi.
Suudzonnya, ujung-ujunganya suara!
Bukan nyinyir, bukan pula benci. Hanya agak
kaget saja, sebab itu acap dipraktekkan saat menjelang Pilkada saja. Memang
tidak ada batas norma yang ditabrak. Semua orang boleh menggunakannya. Dan tiap
orang berhak mempopulerkannya. Asal pembumian atribut ke-Sunda-an yang ditunjukkan
para kandidat bukan saja karena untuk pencitraan semata melainkan atas dasar reeus kana budaya tur mikacinta lemah cai. Sekali
lagi, besar harapan semoga itu bukan untuk pencitraan semata.
Tetapi perlu kita diakui juga, Kang Emil
(sapaan akrab Ridwan Kami, Walikota Bandung) adalah kandidat yang cukup
konsisten mencontohkan pemakaian atribut itu. Kang Dedi Mulyadi (Bupati
Purwakarta), apalagi.
Tanda Bahasa
Simbol adalah tanda bahasa untuk
menarasikan makna dan maksud manusia yang memakainya. Melalui simbol, kehendak,
maksud, atau karakter seseorang dapat terwakili. Dengan simbol, hampir segala
bisa diangkat dan dibicarakan, termasuk soal pilkada, sebagaimana disinggung di
atas.
Namun ada satu hal lain yang layak
dicermati dalam kurun lima bulan lagi, hingga hari H (27 Juni) nanti: kita
selaku masyarakat mesti nintingi (nimbang-nimbang)
dalam menakar potensi masing-masing kandidat. Menilai kandiat mana yang cocok menahkodai
Jawa Barat untuk lima tahun ke depan. Di samping mengukur visi-misi sekaligus
rekam jejak kandidat adalah hal yang tak kalah penting untuk jadi perhatian
sebelum hari pencoblosan.
Kini bukan lagi persoalan simbol, bahasa,
atau janji-janji politik yang diharapkan masyarakat. Masyarakat sudah muak
disuguhi berbagai drama politik yang diberikan penguasa saat ini dengan
berbagai muslihatnya.Yang masyarakat perlukan adalah tekad, ucap, dan lampah yang
dimiliki seorang pemimpin harus berasaskan cageur
(sehat), bageur (baik dan shaleh), bener (benar dan amanah), pinter (pintar, cerdik), singer (terampil, tekun).
Adapun hubungannya dengan persoalan
politik identitas, sedianya politik identitas tak lagi dimunculkan. Kita semua
mafhum, sejak kemerdekaan Indonesia 1945, para founding father kita sudah menyebutkan bahwa prinsip dasar negara
Indonesia berasaskan gotong royong. Memuat makna dari semua untuk semua. Bila
itu sudah terpenuhi, Jawa Barat yang mengusung falsafah gemah ripah repeh rapih, sugih mukti loh jinawi tidak hanya ada di
kata, tapi berubah menjadi fakta. Semoga.***
Terbit pada 21 Februari 2018, di Harian Umum Kabar Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar