Rabu, 09 Oktober 2019

Melawan Stigma Negatif "Genjer-genjer"

Tulisan ini berawal dari keprihatinan saya melihat kekeliruan yang terjadi setali tentang Gerakan 30 September (Gestapu). Tragedi berdarah yang menelan nyawa enam Jenderal dan satu Pamen (perwira menengah) Angkatan Darat. Sekaligus menjadi peristiwa pertama di dunia yang merangkum matinya banyak jenderal dalam hitungan jam. Tidak ada dalam cerita Perang Bratayudha, Perang Dunia I dan II atau cerita perang lainnya.

Ada dua hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu di sini. Pertama, tulisan ini tidak membahas tentang pencarian siapa dalang peristiwa Gestapu. Itu karena sudah banyak para ahli yang menelaah dan menuliskan peristiwa ini secara empiris dan komprehensif, meski hasilnya masih dalam perdebatan (debatable).

Kedua, pendapat yang dikemukakan tidak bermaksud mendeskreditkan atau menyiggung salah satu pihak/golongan. Tetapi semata-matamerenungkan pesan seorang Pramoedya Ananta Toer bahwa “seorang terpelajar itu harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Oleh karena itu, saya mencoba menjabarkannya secara objektif. Dari dua sudut pandang; sisi kelam dan aspek historisnya.

Tafsir terhadap lagu Genjer-Genjer masih tetap berada pada ruang gelap sejarah Indonesia. Genjer-Genjercenderungdiartikanlagunya PKI. Manakala ada yang menyetel lagu itu, tidak sulit untuknya dicap sebagai PKI. Kejadian  yang menimpa Rudolf Dethu dan Adib Hidayat tahun 2009 lalu, misalnya.

Berikut penggalan cerita Wibisono (Tirto.id, 19/0917): Kala itu Dethu tercatat sebagai salah satu pengasuh program The Block Rocking’ Beats, salah satu acara di radio online. Pada suatu kesempatan, Dethu mendatangkan Adib Hidayat selaku narasumber acara. Adib Hidayat merupakan managing editor majalah Rolling Stone Indonesia.

Dalam sesi bincang-bincang, Adib menyebut dalam daftar 33 tiga lagu yang dijadikannya favorit, salah satunya adalah lagu Genjer-Genjer. Gerwani, PKI, Cakrabirawa, Orde Baru! Lagu yang tidak ada hubungannya dengan PKI. Agitasi murahan dari rezim Orde Baru, sebut Adib. Selepas memutar lagu itu, tidak lama kemudian mereka (Dutha dan Adib) didatangi aparat. Mereka kena persekusi. Intinya mereka dianggap subversif, hingga mendapat perlakuan kurang menyenangkan.  

Lain cerita yang didapat Thufail Al-Ghifari.Ia di guyur hujan caci-maki dari netizen lantaran memasukkan lirik Genjer-Genjer sebagai ‘pewarna’ dalam lagu nya berjudul “Kalam Sinkrenitas Stigma” tahun 2019. Padahal ia sudah menjelaskan terlebih dahulu tentang muasal lagu Genjer-Genjer.

Kenyataan itu menyiratkan betapa melakatnya stigma negatif pada lagu yang dipopulerkan Lilis Suryani dan Bing Slamet itu. Mungkin saja mereka (netizen/masyarakat) tidak dengan gampang melontarkan “kutukan” tanpa ada dalilnya. Dan saya kira propaganda Orde Baru yang sudah berpuluh-puluh tahun mengerangkeng alam pikiran kita melatari membuminya kebencian di atas.

Akar Sejarah
Sejarah sebagai sarana edukasi memberikan pelajaran penting bagi kita untuk kemudian nilai-nilainya diinternalisasikan dalam kehidupan; hari ini (present) maupunyang akan datang (future).Juga sejarah sebagai sumber belajar sudah selayaknya bertumpukan pada fakta. Ini yang kemudian hilang dalam sejarah lagu Genjer-Genjer.

Lagu Genjer-Genjer dilihatnya dari satu sisi saja--sebagaimana yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G 30S/PKI versi Orde Baru. Bagaimana rima itu dilantunkanpara Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sambilmengarak, menyiksa, menyayat-nyayat tubuhpara jenderal di Lubang Buaya. Sementara sisi lain tentang (lagu) Genjer-Genjer jarang disebutnya.Maka yang muncul adalah kebencian, dendam, amarah, sumpah serapah, atau macam kata ganti lainnya.

Padahal,dilihat darisejarahnya, lagu Genjer-Genjer sudah ada sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Sebagian ada yang bilang tahun 1942, sebagian lagi tahun 1943. Diciptakan oleh Muhammad Arief, seniman Osing Banyuwangi. Genjer-Genjer adalah ekspresi, kritik sosial, masyarakat Banyuwangi terhadap Pemerintah Militer Jepang.
 
Judul lagu ini diambil dari kata genjer, jenis sayuran yang sekarang menjadi makanan orang Indonesia. Sayuran ini biasa diurab, ditumis, atau lalap. Memiliki nama latin Limnocharis Flava.
Lagu genjer-genjer menjadi begitu popular dikalangan masyarakat kita. Kepopulerannya hingga menyentuh di hati rakyat yang paling papa, sehingga lagu itu dimanfaatkan dan dinyanyikan orang-orang PKI terutama saat kampanye.

Ini bisa dimaknai sebagai upaya PKI memikat hati rakyat. PKI yang menyasar dan berbasiskan masyarakat akar rumput linier dengan lagu Genjer-Genjer yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa. PKI memakai pendekatan emosional dalam memikat simpatisannya. Barangkali itu yang melatari mengapa Genjer-Genjer sangat intim dengan PKI. Selain karena penciptanya (Muhammad Arifin)tercatat pernah bergabung di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sayap organisasi di bawah underbouw PKI. Tak kalah pentingnya lagi adalah Genjer-Genjer seringkali diplesetkan menjadi “Ganyang Jenderal” yang makin memperkuat keintiman tersebut.

Ibarat pepatah mengatakan, karena nilai setitik, rusak susu sebelanga. Lagu yang awal kelahirannya berfungsi sebagaispirit“perjuangan”, kritik sosial terhadap tirani Jepang, dipahami sebagai lagu makar gara-gara sering dinyanyikan PKI. Sudah barang tentu sebagai warga yang tengah meneguk udara reformasi kita memiliki hak untuk mengabaikan tafsir tunggal Orde Baru dan negara harus melindunginya.

Tentu pemerintah pun memiliki andil dalam menghapus stigma negatif itu. Banyak cara dapat dilakukannya.Akan tetapi, pada prinsipnya, dengan tidak menghakimi, mempersekusi,apalagi sampai menjerat dengan hukuman kepada orang yang mengajarkan, menyanyikan, menyetel lagu itu adalah wujud bahwa negaratidak larut pada dendam sejarah.

Pemerintah yang dilengkapi alat dan perangkat yang strategis dan mapan saya yakin sudah jauh lebih dewasa dan cerdas dalam menimbang upaya potensi makar serupa. Berhenti mengkhawatirkan munculnya Neo-PKI apalagi hanya karena sebuahlagu sebagai indikatornya.

Itu adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Fobia dan aksi berlebihan bisa jadi sebaliknya:malah berpotensi melahirkan efek domino simpati gaya baru.***

Terbit pada 2 Oktober 2019, di Harian Umum Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *