Tulisan ini berawal
dari keprihatinan saya melihat kekeliruan yang terjadi setali
tentang Gerakan
30 September (Gestapu). Tragedi berdarah yang menelan nyawa enam Jenderal dan
satu Pamen (perwira menengah) Angkatan Darat. Sekaligus menjadi peristiwa pertama
di dunia yang merangkum matinya banyak jenderal dalam hitungan jam. Tidak ada
dalam cerita Perang Bratayudha, Perang Dunia I dan II atau cerita perang
lainnya.
Ada dua hal yang
perlu dikemukakan terlebih dahulu di sini.
Pertama, tulisan ini tidak membahas tentang pencarian siapa dalang
peristiwa Gestapu. Itu karena sudah banyak para ahli yang menelaah dan
menuliskan peristiwa ini secara empiris dan komprehensif, meski hasilnya masih dalam
perdebatan (debatable).
Kedua, pendapat yang dikemukakan
tidak bermaksud mendeskreditkan atau menyiggung salah satu pihak/golongan.
Tetapi semata-matamerenungkan pesan seorang Pramoedya Ananta Toer bahwa
“seorang terpelajar itu harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi
perbuatan.” Oleh karena itu, saya mencoba menjabarkannya secara objektif. Dari dua
sudut pandang; sisi kelam dan aspek historisnya.
Tafsir terhadap
lagu Genjer-Genjer masih tetap berada pada ruang gelap sejarah Indonesia. Genjer-Genjercenderungdiartikanlagunya
PKI. Manakala ada yang menyetel lagu itu, tidak sulit untuknya dicap sebagai
PKI. Kejadian yang menimpa Rudolf Dethu
dan Adib Hidayat tahun 2009 lalu, misalnya.
Berikut
penggalan cerita Wibisono (Tirto.id, 19/0917): Kala itu Dethu tercatat sebagai
salah satu pengasuh program “The
Block Rocking’ Beats”,
salah satu acara di
radio online. Pada suatu kesempatan, Dethu mendatangkan Adib Hidayat selaku
narasumber acara. Adib Hidayat merupakan managing
editor majalah Rolling Stone
Indonesia.
Dalam sesi
bincang-bincang, Adib menyebut dalam daftar 33 tiga lagu yang dijadikannya
favorit, salah satunya adalah lagu Genjer-Genjer. Gerwani, PKI, Cakrabirawa,
Orde Baru! Lagu yang tidak ada hubungannya dengan PKI. Agitasi murahan dari
rezim Orde Baru, sebut Adib. Selepas memutar lagu itu, tidak lama kemudian
mereka (Dutha dan Adib) didatangi aparat. Mereka kena persekusi. Intinya mereka
dianggap subversif, hingga mendapat perlakuan kurang menyenangkan.
Lain cerita yang
didapat Thufail Al-Ghifari.Ia di guyur hujan caci-maki dari netizen lantaran
memasukkan lirik Genjer-Genjer
sebagai ‘pewarna’ dalam lagu nya berjudul “Kalam
Sinkrenitas Stigma” tahun 2019. Padahal ia sudah menjelaskan terlebih
dahulu tentang muasal lagu Genjer-Genjer.
Kenyataan itu menyiratkan betapa melakatnya
stigma negatif pada lagu yang dipopulerkan Lilis Suryani dan Bing Slamet itu. Mungkin
saja mereka (netizen/masyarakat) tidak dengan gampang melontarkan “kutukan”
tanpa ada dalilnya. Dan saya kira propaganda Orde Baru yang sudah
berpuluh-puluh tahun mengerangkeng alam pikiran kita melatari membuminya kebencian
di atas.
Akar
Sejarah
Sejarah sebagai
sarana edukasi memberikan pelajaran penting bagi kita untuk kemudian nilai-nilainya
diinternalisasikan dalam kehidupan; hari ini (present) maupunyang akan datang (future).Juga sejarah sebagai sumber belajar sudah selayaknya
bertumpukan pada fakta. Ini yang kemudian hilang dalam sejarah lagu
Genjer-Genjer.
Lagu
Genjer-Genjer dilihatnya dari satu sisi saja--sebagaimana yang digambarkan
dalam film Pengkhianatan G 30S/PKI versi Orde Baru. Bagaimana rima itu dilantunkanpara
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sambilmengarak, menyiksa, menyayat-nyayat tubuhpara
jenderal di Lubang Buaya. Sementara sisi lain tentang (lagu) Genjer-Genjer jarang
disebutnya.Maka yang muncul adalah kebencian, dendam, amarah, sumpah serapah,
atau macam kata ganti lainnya.
Padahal,dilihat
darisejarahnya, lagu Genjer-Genjer sudah ada sejak zaman pendudukan Jepang di
Indonesia. Sebagian ada yang bilang
tahun
1942, sebagian lagi tahun 1943. Diciptakan oleh
Muhammad Arief, seniman
Osing Banyuwangi. Genjer-Genjer
adalah ekspresi, kritik sosial, masyarakat Banyuwangi terhadap Pemerintah
Militer Jepang.
Judul
lagu ini diambil dari kata genjer, jenis sayuran yang sekarang menjadi
makanan orang Indonesia. Sayuran ini biasa
diurab, ditumis, atau lalap. Memiliki nama latin Limnocharis Flava.
Lagu
genjer-genjer menjadi begitu popular dikalangan masyarakat kita. Kepopulerannya
hingga menyentuh di hati rakyat yang paling papa, sehingga lagu itu dimanfaatkan dan
dinyanyikan orang-orang PKI terutama saat kampanye.
Ini bisa dimaknai
sebagai upaya PKI memikat hati rakyat. PKI yang menyasar dan berbasiskan
masyarakat akar rumput linier dengan lagu Genjer-Genjer yang menggambarkan
penderitaan masyarakat desa. PKI memakai pendekatan emosional dalam memikat
simpatisannya. Barangkali
itu yang melatari mengapa Genjer-Genjer sangat
intim dengan PKI. Selain karena penciptanya (Muhammad Arifin)tercatat pernah
bergabung di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sayap organisasi di bawah underbouw PKI. Tak kalah pentingnya lagi
adalah Genjer-Genjer seringkali diplesetkan menjadi “Ganyang Jenderal” yang
makin memperkuat keintiman tersebut.
Ibarat
pepatah mengatakan, karena nilai setitik, rusak susu
sebelanga. Lagu yang awal kelahirannya berfungsi sebagaispirit“perjuangan”,
kritik sosial terhadap tirani Jepang, dipahami sebagai lagu makar gara-gara sering
dinyanyikan PKI. Sudah barang tentu sebagai warga yang tengah meneguk udara
reformasi kita memiliki hak
untuk
mengabaikan tafsir tunggal Orde Baru
dan negara harus melindunginya.
Tentu pemerintah
pun memiliki
andil dalam menghapus stigma negatif itu. Banyak cara dapat dilakukannya.Akan tetapi, pada prinsipnya,
dengan tidak menghakimi, mempersekusi,apalagi sampai menjerat dengan hukuman kepada
orang yang mengajarkan, menyanyikan, menyetel lagu itu adalah wujud bahwa negaratidak
larut pada dendam sejarah.
Pemerintah yang
dilengkapi alat dan perangkat yang strategis dan mapan saya yakin sudah jauh
lebih dewasa dan cerdas dalam menimbang upaya potensi makar serupa. Berhenti
mengkhawatirkan munculnya Neo-PKI apalagi hanya karena sebuahlagu sebagai
indikatornya.
Itu
adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan pemerintah.
Fobia dan aksi
berlebihan bisa jadi sebaliknya:malah berpotensi melahirkan efek domino simpati
gaya baru.***
Terbit pada 2 Oktober 2019, di Harian Umum Pikiran Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar