Sabtu, 26 Agustus 2017

Air dalam Budaya Nusantara

Oleh: Galun Eka Gemini



Kemarin (22/03/17), saya membaca status bbm milik temanku, Pungkit Wijaya namanya. Ia tercatat sebagai Mahasasiswa Pascasarjana Program Religeous Studies – Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung, sekaligus seorang penyair dan essais muda yang tulisannya seringkali dimuat dibeberapa media massa tersohor negeri ini seperti koran Pikiran Rakyat, Sindo, Media Indonesia misalnya.
Dalam status bbm-nya, ia menuliskan kalimat: “Selamat Hari Air se-Dunia”. Seraya ia menyebutnya “air dapat merekam tingkah laku manusia, orang rasional pasti tidak akan percaya dari kekuatan air, terutama air do’a”. Titik.
Sontak saat itu juga saya langsung bergegas ke bilik kerja (terinspirasi oleh pm BBM yang ditulisnya) untuk membuka laptop dan membuat tulisan tentang “air” sehubungan dengan isu aktual Peringatan Hari Air se-Dunia.   
Tulisan ini juga dideduksi dari artikel Sang Begawan Budaya-filsuf, Jakob Sumardjo yang penulis baca. Berjudul “Budaya Air di Sunda”, dimuat dalam media Kompas, Sabtu, 14 November 2009 silam. Itu artinya tulisan Pak Jakob ini saya jadikan rujukan dalam artikel ini. Pun, perlu dimaklum bila dalam artikel ini penulis sesekali mengutif atas tulisan terdahulu, karya Jakob Sumardjo.

Sumber Kehidupan
Bicara tentang air, saya kira, sedikitnya ada dua hal yang tak dapat disangkal baik oleh orang rasional ataupun orang irassional. Pertama, dalam dialog sejarah peradaban dunia, air menjadi salah satu unsur yang memiliki peran sangat penting bagi hidup dan matinya manusia. Air telah menjadi kebutuhan pokok dalam keberlangsungan kehidupan manusia.  Dengan kata lain, mereka–air dan manusia–telah menjadi satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan dari muka bumi ini. Dan ini pula yang menjadi satu-satunya pembeda antara bumi dengan planet lainnya dalam tata surya yang menyebabkan bumi layak dihuni oleh manusia.
Kedua, sepanjang perjalanan umat manusia, air ikut menjadi penentu corak peradaban manusia. Air dapat menentukan perilaku dan karakteristik kepribadian manusia pada umumnya.  Ini fakta! Kiranya siapapun akan mengamininya secara tulus. 
Tersirat dalam pandangan Jawa Kuno, air disebut tirta amerta. Tirta adalah air. Amerta adalah bentuk negasi dari merta, mortal, atau mort yang berarti kematian. Jadi, tirta amerta adalah air anti-kematian atau lazim dikenal sebagai air kehidupan (c[a]i-kahuripan). Air merupakan berkah dan setiap berkah itu transenden, bukan dari pengalaman dan pengetahuan manusia. Oleh karena itu, air bersifat sakral, suci, murni, inti (aci/sari), halus, dan tak tampak dalam dirinya sendiri (Sumardjo, Jakob. Kompas, 14/11/09).  
Air memang hajat yang penting. Tanpa air, rasanya tak akan ada kehidupan. Tanpa kehidupan, tak akan ada manusia yang melahirkan kebudayaan. Sepenggal uraian barusan menyiratkan pentingya air sebagai sumber kehidupan.
Tidaklah berlebihan bila pencipta Kidung Rahayu menuliskan kalimat “banyu mawat kahuripan, banyu mawat kawaluyaan, banyu mawat kaelingan” ke dalam sebuah lagu/tembangnya. Bila diterjemahkan berarti air sebagai sumber kehidupan, air sebagai sumber kebahagiaan/kesejahteraan, sekaligus sumber kesadaran manusia.

Toponimi
Pentingnya dan ‘penghormatan’ kepada air, air disimbolkan sebagai identitas suatu komunitas. Sakralitas air diabadikan ke dalam penamaan beberapa wilayah/daerah/tempat. Dalam konteks di Jawa Barat, Jakarta, Banten misalnya, terdapat ratusan, bahkan ribuan nama tempat/daerah yang di awali kata bermakna air—yang dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah ci. Ci akronim dari kata cai. Misal, Cianjur, Cimalaka, Cicurug, Cimanuk, Cikuray, Ciparay, Cikasarung dan sebagainya. Selain itu masih banyak pula nama daerah yang diawali kata yang bermakna air dalam kadar, kondisi, dan di tempat tertentu. Misalnya kata: andir, empang, parigi, bendungan, balong, léngkong, parung, dermaga, ranca, rawa, curug, parakan, talaga, Solokan, dan lain-lain.
Pengabadian atau simbolisasi air sebagai nama tempat/daerah rupanya bukan hanya terjadi di ke-3 daerah (provinsi) yang telah disebut di atas saja. Di Tanah Jawa, air juga dijadikan sebagai identitas nama tempat. Kita sebut saja Banyumas di Jawa Tengah dan Banyuwangi di Jawa bagian Timur. Belum lagi yang menjadi nama kecamatan atau desa. Ada Banyubiru, Banyu Urip, Banyudono, dan masih banyak lainnya.
Begitu juga di Sumatera--yang secara geografis terpisah dengan pulau Jawa. Banyak tempat/wilayah yang terdiri dari kata air. Banyuasin, Musi Rawas, Pasir Pengairan, Air Bangis dan lainnya. Lebih lanjut, di Palembang, air bahkan menjadi penentu letak pemukiman. Sifat air yang mengalir dari tempat tinggi (hulu) ke tempat yang lebih rendah (hilir) dijadikan falsafah hidup masyarakat. mereka mengenal konsep ulu-ulak (hulu-hilir). Konon, konsep ini digunakan saat akan mendirikan rumah dalam sebuah perkampungan. Rumah pertama harus dibangun dan terletak di hulu yang secara subtansial sebagai bentuk pengahargaan kepada yang lebih tua untuk tinggal dibagian yang lebih tinggi (Purwanti: 2010).  
Lantas, mengapa masyarakat Nusantara cenderung mengatributi tempat tinggal mereka dengan air ? Barangkali persoalannya bukan semata-mata air, tetapi menunjukkan sesuatu yang lebih dalam daripada air. Saya memahami air sebagai bagian dari sistem ekologi. Asumsi saya, penggunaan air sebagai identitas komunitas bisa jadi menunjukkan sebuah pandangan hidup komunitas yang bersifat ekologis.
Konsepsi alam yang ekologis tersebut kemudian mengarahkan kepada pandangan alam, terutama air, sebagai yang “sakral.” Makna air/tanah air sendiri dalam kamus bahasa Sunda (Danadiberata: 2006) sepadan dengan kata “kabuyutan” yang mempunyai beberapa makna antara lain: hulu air, hutan, tempat tinggal manusia, dan juga barang-barang kerajaan yang dikeramatkan. Sakralitas kabuyutan sebenarnya bukan disebabkan karena daya magisnya, melainkan karena vitalitasnya bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan kata lain, sakralitas kabuyutan tersebut ditujukan untuk menjamin semua yang dibutuhkan manusia itu tersedia di alam.
Dalam Naskah (Sunda) Kuno
Sumber lain yang menerangkan pandangan hidup orang Sunda hubungannya dengan alam tertuang dalam Naskah Siksa Kandang Karesian (1518), berbunyi: “Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landing  tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya.” Artinya: Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan. Seluruh penopang kehidupan; rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau subur tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak.
Mengingat pentingnya kedudukan kabuyutan bagi masyarakat Sunda, Rakeyan Darmasiksa dalam Naskah Amanat Galunggung menegaskan bahwa orang Sunda menempatkan kabuyutan sama dengan menjaga sebuah kehormatan. Mulyana kulit lasun di jaryan, madan radjaputra antukna beunang ku sakaliah. Demikian kurang lebih kalimatnya.  Bila diterjemahkan berarti, lebih berharga kulit musang yang berada di tempat sampah daripada seorang raja yang tidak bisa mempertahankan tanah airnya.  
Maka sebagai bentuk penjagaan dan pemeliharaan agar tetap lestari, orang tua dulu membingkainya dengan kata “leuweung larangan”. Sejatinya, konsep tersebut merupakan pengejawantahan dari idiom yang menerangkan: “leweung ruksak, hirup manus(i)a balangsak. Sebaliknya, “leuweung subur, hirup manus(i)a bakal makmur. Karenanya, bila kita ingin selamat, sejahtera, sugih, mukti loh jinawi, mari jaga alam kita sedari sekarang. Warisi lah anak cucu kita kelak dengan mata air bukan dengan air mata. Selamat Hari Air se-Dunia.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *