Oleh: Galun Eka Gemini
Kemarin
(22/03/17), saya membaca status bbm milik temanku, Pungkit Wijaya namanya. Ia
tercatat sebagai Mahasasiswa Pascasarjana Program Religeous Studies – Universitas
Islam Sunan Gunung Djati Bandung, sekaligus seorang penyair dan essais muda
yang tulisannya seringkali dimuat dibeberapa media massa tersohor negeri ini seperti
koran Pikiran Rakyat, Sindo, Media Indonesia misalnya.
Dalam
status bbm-nya, ia menuliskan kalimat: “Selamat Hari Air se-Dunia”. Seraya ia menyebutnya
“air dapat merekam tingkah laku manusia, orang rasional pasti tidak akan
percaya dari kekuatan air, terutama air do’a”. Titik.
Sontak
saat itu juga saya langsung bergegas ke bilik kerja (terinspirasi oleh pm BBM
yang ditulisnya) untuk membuka laptop dan membuat tulisan tentang “air”
sehubungan dengan isu aktual Peringatan Hari Air se-Dunia.
Tulisan
ini juga dideduksi dari artikel Sang Begawan Budaya-filsuf, Jakob Sumardjo yang
penulis baca. Berjudul “Budaya Air di Sunda”, dimuat dalam media Kompas, Sabtu,
14 November 2009 silam. Itu artinya tulisan Pak Jakob ini saya jadikan rujukan
dalam artikel ini. Pun, perlu dimaklum bila dalam artikel ini penulis sesekali
mengutif atas tulisan terdahulu, karya Jakob Sumardjo.
Sumber Kehidupan
Bicara
tentang air, saya kira, sedikitnya ada dua hal yang tak dapat disangkal baik
oleh orang rasional ataupun orang irassional. Pertama, dalam dialog sejarah
peradaban dunia, air menjadi salah satu unsur yang memiliki peran sangat
penting bagi hidup dan matinya manusia. Air telah menjadi kebutuhan pokok dalam
keberlangsungan kehidupan manusia. Dengan kata lain, mereka–air dan manusia–telah
menjadi satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan dari muka bumi ini. Dan ini
pula yang menjadi satu-satunya pembeda antara bumi dengan planet lainnya dalam
tata surya yang menyebabkan bumi layak dihuni oleh manusia.
Kedua,
sepanjang perjalanan umat manusia, air ikut menjadi penentu corak peradaban
manusia. Air dapat menentukan perilaku dan karakteristik kepribadian manusia pada
umumnya. Ini fakta! Kiranya siapapun
akan mengamininya secara tulus.
Tersirat
dalam pandangan Jawa Kuno, air disebut tirta amerta. Tirta adalah air. Amerta
adalah bentuk negasi dari merta, mortal, atau mort yang berarti kematian. Jadi,
tirta amerta adalah air anti-kematian atau lazim dikenal sebagai air kehidupan
(c[a]i-kahuripan). Air merupakan berkah
dan setiap berkah itu transenden, bukan dari pengalaman dan pengetahuan
manusia. Oleh karena itu, air bersifat sakral, suci, murni, inti (aci/sari), halus, dan tak tampak dalam
dirinya sendiri (Sumardjo, Jakob. Kompas,
14/11/09).
Air memang hajat yang penting. Tanpa
air, rasanya tak akan ada kehidupan. Tanpa kehidupan, tak akan ada manusia yang
melahirkan kebudayaan. Sepenggal uraian barusan menyiratkan pentingya air
sebagai sumber kehidupan.
Tidaklah
berlebihan bila pencipta Kidung Rahayu menuliskan kalimat “banyu mawat kahuripan, banyu mawat kawaluyaan, banyu mawat kaelingan”
ke dalam sebuah lagu/tembangnya. Bila diterjemahkan berarti air sebagai sumber
kehidupan, air sebagai sumber kebahagiaan/kesejahteraan, sekaligus sumber
kesadaran manusia.
Toponimi
Pentingnya dan ‘penghormatan’ kepada
air, air disimbolkan sebagai identitas suatu komunitas. Sakralitas air diabadikan
ke dalam penamaan beberapa wilayah/daerah/tempat. Dalam konteks di Jawa Barat,
Jakarta, Banten misalnya, terdapat ratusan, bahkan ribuan nama tempat/daerah
yang di awali kata bermakna air—yang dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah ci. Ci
akronim dari kata cai. Misal,
Cianjur, Cimalaka, Cicurug, Cimanuk, Cikuray, Ciparay, Cikasarung dan
sebagainya. Selain
itu masih banyak pula nama daerah yang diawali kata yang bermakna air dalam
kadar, kondisi, dan di tempat tertentu. Misalnya kata: andir, empang, parigi, bendungan,
balong, léngkong, parung, dermaga, ranca, rawa, curug, parakan, talaga, Solokan,
dan lain-lain.
Pengabadian
atau simbolisasi air sebagai nama tempat/daerah rupanya bukan hanya terjadi di ke-3
daerah (provinsi) yang telah disebut di atas saja. Di Tanah Jawa, air juga
dijadikan sebagai identitas nama tempat. Kita sebut saja Banyumas di Jawa
Tengah dan Banyuwangi di Jawa bagian Timur. Belum lagi yang menjadi nama
kecamatan atau desa. Ada Banyubiru, Banyu Urip, Banyudono, dan masih banyak
lainnya.
Begitu
juga di Sumatera--yang secara geografis terpisah dengan pulau Jawa. Banyak
tempat/wilayah yang terdiri dari kata air. Banyuasin, Musi Rawas, Pasir
Pengairan, Air Bangis dan lainnya. Lebih lanjut, di Palembang, air bahkan
menjadi penentu letak pemukiman. Sifat air yang mengalir dari tempat tinggi
(hulu) ke tempat yang lebih rendah (hilir) dijadikan falsafah hidup masyarakat.
mereka mengenal konsep ulu-ulak
(hulu-hilir). Konon, konsep ini digunakan saat akan mendirikan rumah dalam
sebuah perkampungan. Rumah pertama harus dibangun dan terletak di hulu yang
secara subtansial sebagai bentuk pengahargaan kepada yang lebih tua untuk
tinggal dibagian yang lebih tinggi (Purwanti: 2010).
Lantas,
mengapa masyarakat Nusantara cenderung mengatributi tempat tinggal mereka
dengan air ? Barangkali persoalannya bukan semata-mata air, tetapi menunjukkan
sesuatu yang lebih dalam daripada air. Saya memahami air sebagai bagian dari
sistem ekologi. Asumsi saya, penggunaan air sebagai identitas komunitas bisa
jadi menunjukkan sebuah pandangan hidup komunitas yang bersifat ekologis.
Konsepsi
alam yang ekologis tersebut kemudian mengarahkan kepada pandangan alam,
terutama air, sebagai yang “sakral.” Makna air/tanah air sendiri dalam kamus
bahasa Sunda (Danadiberata: 2006) sepadan dengan kata “kabuyutan” yang mempunyai beberapa makna antara lain: hulu air,
hutan, tempat tinggal manusia, dan juga barang-barang kerajaan yang
dikeramatkan. Sakralitas kabuyutan
sebenarnya bukan disebabkan karena daya magisnya, melainkan karena vitalitasnya
bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan kata lain, sakralitas kabuyutan tersebut ditujukan untuk
menjamin semua yang dibutuhkan manusia itu tersedia di alam.
Dalam Naskah (Sunda)
Kuno
Sumber
lain yang menerangkan pandangan hidup orang Sunda hubungannya dengan alam tertuang
dalam Naskah Siksa Kandang Karesian (1518), berbunyi: “Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur,
paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Sangkilang di lamba, trena taru lata
galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landing tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya.”
Artinya: Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan. Seluruh
penopang kehidupan; rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau subur tumbuhnya
segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur
tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak.
Mengingat
pentingnya kedudukan kabuyutan bagi
masyarakat Sunda, Rakeyan Darmasiksa dalam Naskah Amanat Galunggung menegaskan bahwa
orang Sunda menempatkan kabuyutan
sama dengan menjaga sebuah kehormatan. Mulyana
kulit lasun di jaryan, madan radjaputra antukna beunang ku sakaliah.
Demikian kurang lebih kalimatnya. Bila
diterjemahkan berarti, lebih berharga kulit musang yang berada di tempat sampah
daripada seorang raja yang tidak bisa mempertahankan tanah airnya.
Maka
sebagai bentuk penjagaan dan pemeliharaan agar tetap lestari, orang tua dulu
membingkainya dengan kata “leuweung
larangan”. Sejatinya, konsep tersebut merupakan pengejawantahan dari idiom
yang menerangkan: “leweung ruksak, hirup
manus(i)a balangsak. Sebaliknya, “leuweung
subur, hirup manus(i)a bakal makmur”.
Karenanya, bila kita ingin selamat, sejahtera, sugih, mukti loh jinawi, mari jaga alam kita sedari sekarang. Warisi
lah anak cucu kita kelak dengan mata air bukan dengan air mata. Selamat Hari
Air se-Dunia.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar