Rabu, 04 Januari 2017

Tinjauan Historis Konflik TNI-Polri



Oleh: Galun Eka Gemini
Diterbitkan pada Jurnal Sinau, Vol. 2 No. 1. April 2016

 
ABSTRAK

Konflik TNI-Polri sudah menjadi sebuah konflik yang kompleks dan bersifat sistemik. Konflik ini tidak hanya berdampak bagi penurunan tingkat profesionalitas kerja anggota TNI-Polri, tetapi juga sudah menunjukkan adanya dekadensi moral para aktor-aktor kemanan dan pertahanan negara yang seharusnya menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan negara. Tulisan ini mencoba meneropong akar masalah konflik TNI-Polri dari sudut pandang sejarah. Oleh karena itu, untuk merekonstruksi permasalahan ini digunakan metode sejarah yang terdiri atas empat tahap: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Selain itu, dilakukan juga proses koroborasi yakni pendukungan data yang ada dalam sumber tersebut dengan sumber lainnya yang bersifat independen. Interpretasi diperkuat melalui penerapan konsep peranan (role) dan telaah teori konflik sebagai alat analisisnya. Kajian ini meliputi tiga hal: sejarah singkat lahirnya TNI-Polri; TNI-Polri dalam dua orde: menjadi ABRI, dan TNI-Polri dalam Kultur Reformasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik TNI-Polri dipicu oleh adanya rasa post power syndrome TNI terhadap Polri, mengingat sejak reformasi meletup, Polri berada sejajar dengan TNI. Padahal selama di akhir Orde Lama hingga Orde Baru (di bawah komando ABRI), Polri terkesan inferior dibanding TNI.

Kata Kunci: TNI-Polri, konflik, faktor sejarah.

A.        PENGANTAR


Polisi dan tentara merupakan perangkat pemerintahan yang akan kita temukan di setiap negara, tanpa terkecuali, termasuk juga di Indonesia. Di Indonesia, organisasi kepolisian biasa disebut Polri. Sedang organisasi ketentaranya disebut TNI. Demikianlah Undang-undang menyebutnya. Titik.
Tugas pokok dan fungsi Polri sebagai alat keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) atau menjaga keamanan dalam negeri (Kamdagri) diatur dalam UUD No. 2 Tahun 2002 dan UUD No. 34 Tahun 2004 landasan yuridis untuk TNI sebagai benteng pertahanan (kedaulatan) negara dan bangsa, penjaga keutuhan wilayah negara, dan penjaga keselamatan dan martabat bangsa dari pihak asing. Untuk itu, dalam upaya menciptakan keamanan di dalam serta di luar, Polri dan TNI memiliki peran yang strategis. Mereka dituntut untuk besifat koordinatif, sinergis, dan saling mendukung dalam menciptakan keamanan dan pertahanan yang terbaik bagi masyarakat.
Akan tetapi, fakta dilapangan, hubungan TNI-Polri sepanjang sejarahnya mengalami pasang surut terhitung sejak Orde Reformasi digemakan. Dengan kata lain, keduanya acapkali dihadapkan pada ego sektoral kesatuan yang mengakibatkan terjadinya konflik. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Siregar (2011: 273-274), sedikitnya telah terjadi ± 17 kasus bentrokan antara anggota TNI-Polri yang diberitakan di sejumlah media sejak tahun 1999 sampai 2011. Itu belum dihitung dengan kejadian yang terjadi di Ogan Komelu Hilir (Sumsel), Semarang, Batam, Polewari Mandar (Sulbar), atau daerah lainnya yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Konflik yang terjadi antara anggota TNI maupun anggota Polri yang terekspos di media memang seringkali berawal dari hal-hal sepele dan tidak terkait pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Misal, karena saling ejek setelah pulang dari acara hiburan, persoalan pacar, ketersinggungan karena saling pandang. Bahkan tidak jarang keributan terjadi dikarenakan rebutan wilayah pendapatan (ekonomi), dengan menjadi ‘beking’ tempat-tempat hiburan malam contohnya. Cara-cara penyelesaian bentrokan dilakukan dengan melibatkan kekuatan satuannya masing-masing dan juga menggunakan senjata milik kedinasan (Al-Rasyid, 2011; Siregar, 2011: 267). Berangkat dari latar belakang pemikiran di atas, kemudian mendorong penulis mengkaji mengenai “Akar Masalah Konflik TNI-Polri”. Terdapat suatu pokok permasalahan yang akan dibahas, Apa yang melatari terjadinya konflik TNI-Polri?
Tulisan ini perlu diangkat guna mendeteksi serta mencari pangkal konflik yang terjadi di antara anggota TNI-Polri sehingga dapat ditelusuri juga jalan penyelesaiannya agar konflik yang kerap terjadi antar anggota TNI-Polri diharapkan tidak meletup kembali dikemudian hari, setidaknya dapat diminimalisir.


B.        METODE PENELITIAN


Tinjauan dalam penelitian ini yaitu berupa kajian historis. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan prosedur yang lazimnya digunakan dalam penelitian sejarah. Tujuannya adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif  (Herlina, 2011:1). Tujuan ini dicapai dengan menggunakan metode sejarah.“Metode sejarah yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan agar peristiwa yang terjadi di masa lampau dapat direkontruksi secara imajinatif” (Gottschalk, 1985:32).
Adapun langkah-langkah dalam metode sejarah ini dibagi ke dalam empat tahap: pertama adalah heuristik. Heuristik adalah proses mencari, menemukan dan menghimpun sumber sejarah yang relevan dengan pokok masalah yang sedang dikaji. Setelah sumber sejarah terhimpun, proses selanjutnya dilakukan kritik terhadap sumber. Kritik sumber dibagi menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan untuk menentukan otentisitas sumber, sedangkan kritik internal ditempuh untuk menentukan kredibilitas data/informasi. Selain itu dilakukan juga proses koroborasi yakni pendukungan data yang ada dalam sumber tersebut dengan sumber lainnya yang bersifat independen. Dengan proses seperti itu akhirnya diperoleh sumber yang kredibel atau dapat dipercaya.
Data yang telah lolos dari tahapan kritik kemudian dilakuan interpretasi. Interprestasi merupakan tahapan menafsirkan informasi dan pemberian makna, sehingga fakta-fakta tersebut menjelaskan objek studi secara jelas dan lengkap. Selanjutnya dilakukan tahapan terakhir, yaitu historiografi atau penulisan sejarah. Hasil interpretasi atas sumber-sumber yang terdeteksi sedemikian rupa ditulis menjadi sebuah tulisan sejarah yang objektif, terarah dan sistematis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kebenarannya.
Adapun untuk memperoleh kajian yang lebih baik dalam upaya mewujudkan hasil penelitian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, penelitian ini menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, berupa penerapan konsep peran (role) dan penerapan teori konflik.

  
C.    HASIL DAN PEMBAHASAN
1.     Sejarah Singkat Lahirnya Polri dan TNI
a.    Lahirnya Polri


Sejarah lahirnya Polri menarik untuk dibicarakan. Selama ini umumnya masyarakat hanya mengetahui bahwa eksistensi Polri dimulai pada 1 Juli 1946. Itu dikarenakan bahwa tanggal tersebut ditetapkannya Hari Jadi Polri. Mengapa 1 Juli 1946 dijadikan sebagai Hari Jadi Polri? Betulkah tanggal tersebut adalah landasan historis? Jawabannya harus mengacu pada perjalanan sejarah dan dinamika Polri kaitannya dalam sistem negara Indonesia. Dan kalau mau bicara dinamika Polri dalam sistem negara Indonesia, tidak bisa tidak, kita harus membuka lorong sejarah Indonesia di awal kemerdekaan. Bahkan lebih jauh lagi, yakni saat pendudukan Jepang.
Tetapi, sudahlah, kita tidak usah memperpanjang lagi penjelajahan untuk mencari titik pangkal eksistensi kepolisian di Indonesia. Kita bisa mulai meneropongnya pada hasil rapat ke-2 PPKI,  19 Agustus 1945 atau dua hari sesudah dikumandangkannya Proklamasi. Mengacu pada hasil rapat Sidang PPKI ke-2, pemerintah Indonesia melakukan ‘nasionalisasi’ badan kepolisian yang dibentuk oleh Jepang saat pendudukannya di Indonesia. Usaha menasionalisasi aparat kepolisian ini merupakan bentuk pengamalan atas amanat Undang-undang bahwa semua pegawai negeri Indonesia tidak lagi menaati pejabat-pejabat Jepang, melainkan hanya menaati pemerintah Republik Indonesia (Bachtiar, 1994: 45).  Kemudian PPKI memasukan Polri ke dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri seperti pada masa pendudukan sebelum Jepang (Mabes Polri, 1999: 45).
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II, kekuasaan Jepang di Indonesia mengalami Vacum of Power. Kondisi ini dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk memerdekakan diri, 17 Agustus 1945. Pada tanggal 20 Agustus 1945, para anggota-anggota polisi di Surabaya mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh Inspektur polisi kelas I Mohammad Jassin dan pembantu Inspektur polisi kelas I Soetardjo, yang menghasilkan suatu Proklamasi polisi.  Proklamasi tersebut dibacakan oleh Inspektur polisi kelas I Mohammad Jassin pada tanggal 21 Agustus 1945. Adapun bunyi Proklamasi polisi (Djamin, 2000: 37), sebagai berikut:

Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoengan mempertahankan Proklamasi
17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan polisi sebagai polisi Repoeblik Indonesia”.

Soerabaja, 21 Agoestoes 1945
Atas Nama Seloeroeh Warga Poelisi

Mohammad Jassin
        Inspektur Poelisi Kelas I


Proklamasi ini bertujuan sebagai berikut: pertama, bentuk komitmen Polri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia; kedua, untuk menghindari adanya tindakan represif dari pemerintahan Jepang seperti yang dilakukannya saat membubarkan Heiho dan Peta; ketiga, dimaksudkan untuk meyakinkan kepada rakyat Indonesia bahwa polisi sebagai aparat negara bersumpah untuk setia kepada pemerintahan Republik Indonesia dan bersama rakyat turut berjuang melawan penjajah. Sikap ini dilakukan karena polisi pada saat itu mendapatkan ketidakpercayaan dari rakyat. Citra polisi dipandang hanya sebagai alat kepentingan penjajah, pemerintah Belanda maupun Jepang (Wulan, 2009: 24-27).
Selain berfungsi sebagai aktor Kamtibmas atau Kamdagri, secara fungsi, Polri adalah sebagai benteng kedaulatan negara bersama-sama Angkatan Perang lainnya yang lebih lanjut diatur berdasarkan Undang-Undang. Usaha kepolisian tersebut, terimplementasikan dengan dibentuknya Mobile Brigade (Mobrig) pada 14 November 1946. Pembentukan Mobile Brigade adalah sebagai pasukan yang terlatih dan menjadi front terdepan dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat di belakang garis pertempuran. Selanjutnya istilah Mobile Brigade  berubah nama menjadi Brigade Mobile (Brimob) disesuaikan dengan tata bahasa Indonesia (Kunarto, 1999: 135).
Berdasarkan Maklumat Pemerintah yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri, tanggal 29 September 1945 Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dilantik menjadi Kepala Kepolisian Indonesia.
Pengangkatan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Indonesia merupakan titik awal adanya polisi sebagai polisi nasional. Perannya sebagai Kepala Kepolisian Indonesia yang pertama adalah mengadakan perubahan struktur polisi, watak polisi, falsafah hidup polisi dari struktur lama (Belanda dan Jepang) menjadi polisi nasional yang sentralistik sehingga R.S. Soekanto dijuluki sebagai Bapak Kepolisian Indonesia (Djamin, 2000: 41). Di sisi lain, permasalahan yang muncul dalam membangun polisi yang sentralistik adalah hubungan yang sulit antara pemerintah pusat dan daerah serta ancaman penyadapan berita yang dilakukan oleh pihak Belanda (NICA). Permasalahan lain yang dihadapi Kepala Kepolisian Negara dalam membangun polisi nasional yaitu tidak adanya kerjasama yang baik antara polisi daerah dengan polisi pusat karena terikat oleh aturan-aturan yang diterapkan oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga sulit bagi Kepala kepolisian Negara untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat nasional karena kepolisian di daerah menjalankan tugas dan wewenangnya berada di bawah kepala daerahnya masing-masing.

Menurut pemikiran R.S. Soekanto (Wulan, 2009 :54), kedudukan kepolisian di bawah Departemen Dalam Negeri memiliki kerentanan untuk dijadikan sebagai kekuatan sosial-politik, sedangkan kepolisian pada saat itu membutuhkan perlindungan politik yang kuat dalam mewujudkan pembangunan struktur kepolisian. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka R.S. Soekanto selaku Kepala Kepolisian Indonesia mengusulkan agar diadakannya pemisahan kepolisian dari struktur Kementerian Dalam Negeri, kemudian usulan pemisahan itu disetujui oleh Perdana Menteri Syahrir. Pada tanggal 1 Juli 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/SD tahun 1946 kedudukan Kepolisian Indonesia berubah status yang tadinya berkedudukan di bawah Departemen Dalam Negeri menjadi Jawatan tersendiri berada langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan status kepolisian ini yang pada akhirnya dijadikan sebagai hari lahir kepolisian Indonesia atau Hari Bhayangkara.

b.    Lahirnya TNI


Sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesungguhnya tidak terlepas dari kelahiran negara Indonesia itu sendiri sebagai sebuah negara merdeka. Konstelasi politik yang sangat kompleks dalam suasana revolusioner saat itu – pada awal proklamasi kemerdekaan – telah melahirkan sosok institusi TNI. Oleh karena itu, tidak salah bila terdapat ungkapan bahwa TNI menganggap dirinya tidak dilahirkan melalui “rahim” sistem politik dan pemerintahan yang saat itu didominasi oleh para politisi, melainkan oleh kompleksitas suasana revolusioner tersebut (Sundhaussen, 1988; Sarimaya, t.t: 3-4).
Penjelasan Sundhaussen mengingatkan kita pada pernyataan Salim Said (Sarimaya, t.t: 1) yang menyatakan keberadaan TNI sama tuanya dengan perjalanan sejarah republik ini. penjelasan Salim Said di atas dapat diamini, sebab jarak antara kelahiran negara Indonesia dengan tanggal dibentuknya TNI  sebagai sebuah lembaga yang ter-legitimasi tidak berjauhan.
Dalam UUD No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan, yang dimaksud tentara adalah setiap warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Nama organisasi ketentaraan negara kita adalah Tentara Nasional Indonesia – disingkat TNI.
Keberadaan TNI sama tuanya dengan sejarah perjalanan republik ini. Oleh karena itu, untuk membicarkan kelahiran TNI maka tidak bisa dilepas juga dari sejarah perlawanan bangsa Indonesia melawan kaum kolonial Belanda (dan juga Jepang). Kendati, sebetulnya Jepang lah yang telah ikut membentuk dan menciptakan adanya tentara di negara kita secara tidak langsung melalui pendirian organisasi Peta atau organisasi-organisasi semi-miiter lainnya.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang menerapkan sistem pemerintahan militer dengan membagi tiga wilayah pemeritahan militer, di antaranya: Jakarta sebagai pusat untuk wilayah Jawa; Bukittinggi untuk wilayah Sumatera; dan Makasar untuk Indonesia Timur. Sementara itu, secara politis, Jepang sedang dihadapkan pada situasi perang melawan Sekutu pada Perang Dunia II. Kenyataan seperti itu membuat Jepang melatih dan mengorganisir para pemuda Indonesia untuk dijadikan tentara. Tujuannya tiada lain dalam rangka memenuhi kebutuhan perang melawan Sekutu. Hal ini ter-iplementasi-kan melalui wadah bernama Peta yang dibentuk pada 3 Oktober 1943 atas gagasan Letnan Jenderal (Chujo) Inada Masazumi dan para anggota intelijen di Beppan dari pihak Jepang dan Gatot Mangkupraja dari pihak Indonesia  (Osamu Seirei No. 44; Lubis et.al, 2005 : 86). Selain Peta, Jepang pun membentuk Keibodan, Seinedan, Heiho, melatih badan kelasykaran: Hizbullah (Lasykar Santri). Dan kelak mereka menjadi unsur cikal bakal TNI.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu maka hampir semua organisasi bentukan Jepang dibubarkan, termasuk Peta. Hanya saja badan kepolisian yang tetap dipertahankan. Alasannya, lantaran badan kepolisian dimanfaatkan untuk mengurusi dan memulihkan kembali keamanan di dalam negeri sehingga kepentingan Belanda-Sekutu di Indonesia dapat tercapai. Dengan kata lain, badan kepolisian tetap dipertahankan untuk dijadikan kepanjangan politik Belanda-Sekutu guna mengambil-alih kembali Indonesia dari tangan Jepang.

Menyadari adanya ancaman yang digaungkan pihak Belanda-Sekutu untuk menguasai kembali Indonesia, pada 22 Agustus 1945 maka dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan diresmikan oleh pemerintah tanggal 30 Agustus 1945. Pemuda-pemuda dengan berbagi latar belakang dipersilahkan untuk masuk BKR. Mereka yang mejadi anggota BKR terdiri dari mantan-mantan anggota Peta, Heiho, Seinedan, dan para anggota badan-badan kelasykaran. Bahkan di antaranya ada juga mantan prajurit KNIL (Koinlijk Nederlansch Indisch Leger) yang merupakan prajurit untuk kepentingan Belanda. Akan tetapi yang banyak menjadi anggota BKR adalah mantan prajurit Peta, sehingga banyak pihak menilai bahwa Peta adalah cikal bakal TNI. Pimpinan BKR dipimpin oleh opsir-opsir Peta, sebab dianggap memiliki tingkat kedisiplinan dan komitmen yang lebih baik dibanding anggota dari badan-badan yang lainnya. Sedangkan mantan prajurit KNIL–kendati sebetulnya lebih terlatih dari Peta–mereka kurang memiliki ruang karena citra sebagai kepanjangan tangan kolonial Belanda masih melekat dalam dirinya.
Nama BKR lalu dirubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tertanggal 5 Oktober 1945 berdasarkan Maklumat yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Berikut isi dari Maklumat tersebut (Siregar, 2011: 42) adalah:
“Maklumat Pemerintah:
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.

Djakarta, 5 Oktober 1945
Presiden Republik Indonesia
Soekarno


Perubahan nama itu karena oleh sebagian besar pihak dianggap sudah tidak cocok dengan tugasnya yang lebih mencerminkan menangani tugas-tugas kepolisian. Maka mulailah digunakan istilah tentara yang bertugas sebagai garda terdepan dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, meski tugasnya masih terbatas juga, hanya menjaga keamanan rakyat bila terjadi serangan-serangan dari luar. Setelah TKR berdiri, dipilihlah Panglima Besar Soedirman yang mengepalai semua anggota ketentaraan. Pemilihan panglima tersebut dirasakan sudah tepat supaya adanya satu komando ketentaraan, terperinci secara sistematif, dan massif. (Sin Po, No. 882. 5 Oktober 1948).
Pada 1 Januari 1946 Tentara Keamanan Rakyat dirubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Walaupun sama-sama disingkat TKR, tetapi terdapat perubahan nama dan makna dalam huruf “K” tersebut. Namun perubahan nama itu pun masih dianggap belum memuaskan, dan mendapatkan protes dari golongan kelompok Islam. Mereka menganggap perubahan kata “keamanan” menjadi “keselamatandianggap berbau “Kristen”. Dihubungkan dengan Leger Des Heils misalnya. Dan kebetulan Menteri Pertahanan-nya saat itu dijabat oleh Amir Syarifuddin, seorang sosialis-komunis yang beragama Kristen. Oleh karenanya, pada 24 Januari 1946 TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) diganti dengan nama Tentara Republik Indonesia, disingkat TRI (Sin Po, No. 882. 5 Oktober 1948).
Sepanjang tahun 1946, struktur komando masih belum teratur karena kesatuan masing-masing daerah seringkali bertindak sendiri-sendiri. Pengaturan sistem komando masih dalam taraf sosialisasi. Menyikapi keadaan seperti itu, lalu upaya peningkatan profesionalisme dan reorganisasi tentara semakin ditingkatkan lagi oleh pemerintah guna menghasilkan tentara yang professional dan efesien. Sebuah langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai hal itu yaitu dengan membentuk Panitia Besar untuk mereorganisasi ketentaraan dengan Letjen Oerip Soemohardjo duduk sebagai ketuanya (Sundhaussen, 1986: 17). Tujuannya untuk penataan kembali struktur komando dan pengaturan kesatuan-kesatuan tentara yang telah ada. Di samping itu memuat tujuan agar kesatuan tentara bersikap netral, tidak memihak atas kepentingan suatu golongan tertentu atau diintervensi oleh kepentingan sipil  sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Panglima Besar Soedirman.

Pada 23 Februari 1946 diselenggarakan reorganisasi tentara oleh pemerintah Indonesia yang bertugas menentukan kebijakan-kebijakan persoalan pertahanan, organisasi tentara, dan kedudukan lasykar-lasykar perjuangan. Berdasarkan kedudukan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan dinyatakan bahwa badan-badan perjuangan diharuskan melebur menjadi satu ke dalam organisasi ketentaraan resmi, yaitu TRI. Satu hal yang paling sulit adalah menghilangkan kesatuan-kesatuan “liar” yang menamakan dirinya “jenderal” atau “kolonel” yang memimpin kesatuan-kesatuan tersebut dengan sendirinya menolak untuk bergabung dengan tentara reguler (Sundhaussen, 1986: 18).

   Hal senada disampaikan oleh Salim (Sarjono, 2012: 30), bahwa peleburan badan-badan kelasykaran lainnya yang terfusikan ke dalam TNI awalnya mengalami kesulitan, sebab terdapat kelasykaran yang secara langsung telah dipengaruhi oleh aliran satu kelompok atau golongan tertentu. Tetapi berkat kesadaran akan pentingnya persatuan dalam perjuangan, akhirnya usaha penggabungan itu umumnya dapat tercapai. Mereka menyadari bahwa perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan negara tidak bisa hanya dilakukan oleh tentara regular saja,  melainkan harus diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia yang tergabung ke dalam berbagai bentuk organisasi badan perjuangan. Selanjutnya sebagai hasil realisasi peleburan antara organisasi tentara regular dengan badan-badan perjuangan lainnya disepakati nama TNI sebagai nama lembaganya. Dengan begitu, nama TRI diganti menjadi TNI (Sin Po, No. 882. 5 Oktober 1948).
Pada 3 Juni 1945 secara resmi TRI dan badan-badan perjuangan bergabung ke dalam satu wadah tentara regular bernama TNI. Panglima Soedirman duduk sebagai Panglima Besar TNI (Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, 1993: 147).  Keputusan itu diperkuat dalam penetapan Berita Negara No. 24 tahun 1947, yang berbunyi:

1.    Mulai tanggal 3 Juni 1945 secara resmi disahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI);
2.    Segenap anggota angkatan perang dan segenap lascar-laskar bersenjata mulai saat ini dimasukan ke dalam TNI; dan
3.    Pucuk pimpinan TNI berada di bawah komando Panglima Besar TNI (Bizawie, 2014: 290-291).

2.    TNI - Polri dalam Dua Orde: Menjadi ABRI


Selama Orde Lama dan Orde Baru, eksistensi TNI-Polri (dihitung semenjak awal terbentuknya), telah banyak mengalami perubahan baik secara organisasi maupun teknis. Perubahan pada lembaga TNI-Polri ini didasarkan dengan kondisi negara dan jiwa zaman  yang semakin berkembang serta sebagai langkah penyesuaian dengan ketatanegaraan Indonesia. Peranan TNI-Polri semasa Orde Lama dan Orde Baru diwarnai oleh berbagai peristiwa penting yang dapat dituliskan menjadi fakta sejarah. Hal ini dilatari oleh masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang relatif panjang hingga digantikan oleh Orde Reformasi. Terutama ketika Orde Lama berkuasa, di mana masa tersebut merupakan masa transisi bangsa Indonesia yang dilumuti oleh berbagai pergolakan politik. Akan tetapi, penulis membatasi garis temporal – Orde Lama – dalam pembahasan ini dengan memulai dari kurun waktu tahun 1961. Tahun 1961 dijadikan titik awal dalam pembahasan ini ditandai dengan keluarnya Inpres No.13/1961tentang ketentuan-ketentuan pokok kepolisian. Pasal 3 dalam Inpres itu berbunyi, kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Mabes Polri, 2009: 591).  Itu artinya, telah menunjukan bahwa secara struktur, Polri merupakan bagian dari ABRI dan sejajar dengan tiga matra lainnya, yakni TNI AD, AL, dan AU – dengan menjadikan Panglima ABRI sebagai pemegang komando tertingginya.
Sebelumnya, isu ini juga pernah dibahas pada pertengahan tahun 1950-an. Namun, usaha tersebut tidak mendapatkan respon yang positif dari instansi kepolisian itu sendiri. Berbagai kalangan menilai termasuk R.S. Soekanto yang pada masa itu masih menjabat sebagai Kepala Kepolisian Nasional menyatakan keberatannya atas isu penyatuan Polri ke dalam ABRI.
R.S. Soekanto beranggapan bahwa penyatuan Polri ke dalam ABRI dipandang sebagai sebuah politisasi terhadap tubuh Polri yang akan merusak hirarki, disiplin, dan mereduksi teknis POLRI (Kunarto, 1999: 1).  Sikap keberatannya itu terbuktikan dengan pengunduran dirinya sebagai Kepala Kepolisian Negara pada 1959 (Djamin, 2000:41).
Pada periode tahun 1966-1967 kekuasaan Orde Lama tumbang, lalu lahir zaman baru bernama Ode Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Banyak pihak menilai, lahirnya kekuasaan Orde Baru sebagai jawaban atas kegagalan Orde Lama yang telah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan konstitusi serta ekses lanjutan dari peristiwa G 30 S yang – dalam versi pemerintah (Orba) didalangi oleh PKI – telah mematikan para perwira TNI Angkatan Darat. Di masa pemerintahan Orde Baru, segala kegiatan dan aktifitas harus berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila sehingga tidak sedikit sebagian masyarakat ataupun kelompok yang dianggap menentang dan mengganggu jalannya pemerintahan dianggap subversif dan harus di adili secara hukum.


Sebagai seorang Presiden yang mempunyai latar belakang militer, Soeharto memperkokoh kembali kekuatan ABRI yang terdiri dari TNI-Polri dan tetap menempatkan Polri di bawah struktur ABRI. Langkah tersebut dipandang sebagai upaya menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa dan negara, belajar dari pengalaman pahit pada peristiwa G 30 S, di mana kekuatan ABRI saat itu mengalami perpecahan yang mengancam terhadap kehidupan bangsa dan negara. Pemikiran itu sangat dimaklumi mengingat kedudukan ABRI sebagai pilar tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Apabila ABRI pecah maka negara pun akan mengalami keruntuhan (Gemini, 2012: 93).
Namun, implikasi dari UU No 13/1961 yang menyatakan masuknya Polri ke dalam tubuh ABRI bukan tanpa mengandung konsekuensi dalam segi kedudukan, terutama hal-hal yang berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi menjadi kurang maksimal dan kabur. Tidak maksimal dan professionalnya Polri disebabkan oleh perannya yang bersifat ganda. Pun demikian, Polri berada di bawah ABRI acapkali dipandang sebagai “anak bungsubila dilihat secara hirarki kelembagaan – yang pada akhirnya melemahnya (sub-ordinat) kekuatan Polri dalam ABRI. Lemahnya kekuatan Polri yang selalu diatur dan diawasi oleh ABRI sebagai institusi induknya sehingga tidak sedikit berbagai kasus keamanan yang berhubungan dengan persoalan sosial - politik yang seharusnya menjadi tugas kepolisian, pada akhirnya diselesaikan oleh TNI. Kuatnya peran TNI pada saat itu, membuat keadaan instansi kepolisian yang berada dalam satu wadah dengan TNI tidak profesional. Tindakan-tindakan kekerasan militer yang berkedok atas nama negara dan menghalalkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI terhadap masyarakat sipil, tidak tersentuh sama sekali oleh hukum. Kekerasan yang merupakan bagian dari kriminal merupakan perbuatan pelanggaran hukum yang seharusnya menjadi tugas polisi untuk menanganinya.
Mengenai betapa terkungkungnya Polri di bawah struktur ABRI bukan hanya menjadikan peran polisi menjadi tidak jelas dan citra polisi menjadi jelek di mata masyarakat. Fakta lain kerugian Polri sebagai bagian integral ABRI telah mengakibatkan Polri tidak dapat mandiri dan professional yang disebabkan tertutupnya anggaran-anggaran dari pemerintah yang sering dikalahkan oleh TNI ataupun berbagai bantuan, kerjasama dari atau dengan negara lain. Awaloedin Djamin (Natsir, 2004: 45) mengisahkan:

“Pada tahun 1981 proyek pengadaan dua kapal patrol kepolisian yang berukuran 400 ton yang telah disetujui oleh Presiden, ternyata setelah selesai bukannya Menristek pada waktu itu menyerahkannya kepada instansi kepolisian melainkan menyerahkannya kepada Angkatan Laut karena anggarannya terpusat dan ditetapkan oleh Mabes ABRI.”

Awaloedin (Natsir, 2004: 45-46) menambahkan, penderitaan Polri bukan saja karena posisinya yang junior, ketidakjelasan kelembagaan sipil atau militer juga menjadi sumber kemalangan lain. Ketidakjelasan posisi Polri dalam ABRI berakibat pada pengembangan internal Polri kian terhambat. Selama kurang lebih 38 tahun, Polri mendapatkan kesulitan dalam mengusahakan kerjasama teknik dengan negara-negara lain.
Pada saat Polri mulai dikembangkan pada tahun 1950-an, Polri mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat mulai dari bantuan berupa mesin ketik, mobil jeep, alat untuk memeriksa uang palsu, radio dan peralatan-peralatan canggih lainnya seperti lie detector, pelatihan Ranger Brimob di Okinawa, Filipina serta bantuan di bidang pendidikan seperti belajar pengendalian lalu lintas, kriminalistik oleh FBI juga belajar manajemen sampai meraih gelar Magister/Master (Kunarto, 1995: 276). Pada saat pemerintahan Orde Baru, saat itulah integrasi ABRI semakin ditingkatkan dan sejak itu pula Polri mendapatkan kesulitan dalam menjalin kerjasama dengan negara-negara lain baik di bidang teknis maupun operasional. Sebab kepolisian tidak termasuk ke dalam paket militer/TNI. Di sisi lain kedudukan sebagai sipil pun Polri tidak bisa memanfaatkan kerjasamanya, karena kedudukannya yang berada di dalam komando ABRI.


3.    TNI-Polri dalam Kultur Reformasi
a.    Proses Pemisahan TNI-Polri


PR dari cita-cita reformasi yang bergulir tahun 1998 telah menuntut dilakukannya perbaikan di setiap lini. Salah satunya menyentuh bidang Hankamnas. Tuntutannya yaitu dilakukannya Reformasi ABRI, melalui: (1) pencabutan dwi fungsi ABRI; (2) dan diadakannya reformasi Polri. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa konsep Dwifungsi ABRI merupakan senjata pemerintah Orde Baru yang memperbolehkan ABRI (TNI-Polri) untuk terlibat dalam ranah politik praktis dan bisnis. Sedangkan reformasi Polri ditujukan untuk diadakannya pemisahan struktur antara Polri dan TNI.
Secara umum tuntutan gerakan masyarakat dalam reformasi di sektor keamanan, berupa transformasi kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang dinilai otoriter menuju sistem baru demi terwujudnya proses demokratisasi, sehingga aktor-aktor keamanan menjadi institusi professional, menjadi subjek dari supermasi pemerintahan sipil, serta menghormati HAM. Sektor keamanan yang dimaksud didefinisikan kepada Polri.
Bentuk realisasi mengenai reformasi Polri, pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden B.J. Habibie mencanangkan program kemandirian Polri. Sementara itu, pada awal Maret 1999, dengan kesan mendadak atas perintah dari Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto dilangsungkan rapat yang terdiri dari unsur Dephankam, Mabes ABRI, dan Mabes Polri untuk membahas pemisahan Polri dari ABRI. Tindakan Wiranto ini diamini oleh Soenanto (2009: 4) yang meyebutkan Jenderal (TNI) Wiranto selaku Menhankam/Pangab menyetujui agar dilakukannya pemisahan Polri dari ABRI. Tindakan tersebut dilakukan Wiranto karena ada ancaman dari pihak IMF ( International Monetary Found), ancaman itu berupa dana bantuan dari IMF untuk Indonesia yang pada waktu itu sedang mengalami krisis multidimensi.
Tekad politik pemerintah lalu ditindaklanjuti melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang langkah - langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI tertanggal 1 April 1999. Upaya pemisahan Polri dari tubuh ABRI itu ditegaskan Wiranto akan dilaksanakan secara bertahap meliputi perubahan struktur organisasi yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri. Di samping itu, merujuk pada Instruksi Presiden No 2 Tahun 1999, Sebutan ABRI diganti menjadi TNI sehingga Panglima ABRI berubah menjadi Panglima TNI (Mabes Polri, 1999: 265-266).
Berdasarkan Keppres No. 89 tahun 2000, kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berubah menjadi berada langsung di bawah Presiden. Lahirnya Keppres ini lalu di pertegas kembali oleh ketetapan MPR tahun 2000, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan atau status (the dynamic aspect of status). Menurut Soekanto (1982: 239), kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat maka ia telah menjalankan sebuah peranan.
Dalam hal ini TNI sebagai benteng pertahanan maka kewajibannya adalah melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan penanganan kedaulatan dan keutuhan negara dan bangsa. Sementara itu, Polri melaksanakan terkait penanganan Kamtibmas atau Kamdagri.

Table 1: Peran TNI-Polri dalam Pertahanan dan Keamanan Negara
No.
Peran TNI
Peran Polri
1.
Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (TAP MPR No. VII Tahun 2000)
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
2.
Bertugas pokok menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara (TAP MPR No. VII Tahun 2000)
Dalam keadan darurat Keolisian Negara Republik Indonesia membrikan bantun kepada entara Nasional Indonesia,yang diatur dalm undang-undang
3.
Melaksanakan tugas negara dalam penyelenggaraan wajib militer bagi warga negara yang diatur dengan undang-undang (TAP MPR No. VII Tahun 2000)
Kepolisian Negara Republik Indonesia turut secara aktif dalam tugas-tugas penanggulangan kejahatan internasional sebagai anggota International Criminal Police Organization – Interpol
4.
Tentara Nasional Indonesia membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (civic mision)
Polri berperan sebagai penyidik pada penyimpangan pada saat pemilu
5.
Tentara Nasional Indonesia memberikan bantuan kepada Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang.

6.
Tentara Nasional Indonesia membantu secara aktif tugas memelihara perdamaian dunia (peacekeeping operation) di bawah bendera Peserikatan Bangsa-Bangsa

Sumber: Siregar, 2011: 256-266
b.    Permasalahan Terkait Pemisahan TNI-Polri: Memunculkan Konflik
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, reformasi telah mengamanatkan pemisahan Polri dan TNI, sekaligus mendikotomi fungsi pertahanan dan kemanan negara menjadi fungsi pertahanan dan fungsi keamanan. Pemisahan ini didasarkan pada TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dan juga TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang perbedaan peran TNI dan Polri.
Sebagai konsekuensi akibat dari pemisahan Polri dan TNI, tentunya kedua institusi itu telah banyak mengalami perubahan. Kita sebut saja perubahan secara struktur dan fungsi misalnya. Secara struktur, Polri menjadi berada di bawah langsung Presiden dan TNI bertanggungjawab langsung kepada Panglima TNI. Kedudukan Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sepadan. Maka, tidak heran bila Polri tidak bisa lagi ‘disetir’ oleh pihak TNI seperti sedia kala, ketika ada di bawah struktur ABRI. Pun, sikap ‘takdzim’ yang semula ditunjukkan oleh anggota Polri pada TNI telah pupus seiring dilakukannya pemisahan Polri dan TNI. Faktor struktur dan kepentingan ini lah selanjutnya berkembang menjadi konflik TNI dan Polri.
Sejak dipisahkannya Polri dan TNI mengakibatkan pula perbedaan fungsi masing-masing. Hal ini kerap menjadikan anggota TNI merasa cemburu karena wewenangnya ‘dibatasi’ dengan hanya sekedar sebagai alat pertahanan, padahal kenyataannya bertanggungjawa atas hal yang lebih luas, yaitu memelihara kemanan negara. Adapun keamanan negara dimaknai banyak pihak sebagai keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga hal tersebut merupakan wewenang Polri yang secara yuridis terlegitimasi sebagai alat kemanan. Namun dalam prakteknya, TNI pun mengemban tugas tersebut, karena suka dimintai bantuannya untuk melaksanakan fungsi tersebut.
Pembagian wewenang yang menyebabkan pembagian tugas tidak seimbang tersebut mengakibatkan jumlah kegiatan TNI berkurang sehingga mempengaruhi juga pada jumlah pemasukkan para anggota (TNI), karena ketidaksediaan anggaran yang dapat diajukan untuk kegiatan tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan salah satu informan yang tidak disebutkan identitasnya (Siregar, 2011: 268), sebagai berikut: “cemburu karena pembagian penugasan yang tidak seimbang antara TNI-Polri, di kami itu gak ada kerjaan bukan malah senang, tapi sebaliknya. Sebab, semakin banyak kerjaan, anggaran yang disiapkan semakin banyak. Jadi bisa untuk meningkatkan kesejahteraan”.
Pengelolaan sektor keamanan yang dialihkan dari tangan tentara ke polisi, mengandung konsekuensi ekonomi praktis, yaitu hilangnya akses sumber daya tentara. Dengan kata lain terjadinya ketimpangan ekonomi yang berujung pada penurunan kualitas atau kesejahteraan anggota TNI.
Faktor lainnya yang juga turut membuat hubungan TNI-Polri tidak harmonis adalah ego sektoral angkatan atau kesatuan. Secara pendidikan, doktrin yang digunakan kedua institusi tersebut berbeda. Dilatari doktrin yang dimiliki masing-masing kesatuan kerapkali dijadikan persaingan untuk menonjolkan wawasan dan menerapkannya kepada lingkungan kesatuannya maupun masyarakat. Sebab, terkadang munculnya persaingan tiap kesatuan. Bahkan tiap kesatuan membentuk Pasukan Khusus–Kopassus (AD), Marinir (AL), Kopaskhas (AU), dan Brimob (Polri)–untuk menyaingi Angkatan yang lain.
Namun yang lebih penting lagi pemicu utama konflik TNI-Polri ini adalah karena faktor sejarah. Uraian di atas boleh jadi hanya lah faktor pendukung konflik saja. Faktor sejarah dikatakan penyebab utama adanya konflik, dikarenakan alasan historis ini lah yang lebih dominan memicu konflik terjadi. Sejak reformasi digaungkan, Polri berdiri sejajar dengan TNI, kedua lembaga ini sama-sama tercantum dalam konstitusi. Padahal sebelumnya, sejak Orde Lama hingga Orde Baru, Polri terkesan berada di bawah TNI, sehingga ketegangan dan konflik yang terjadi di rasa karena post power syndrome TNI terhadap Polri. Hal ini dapat terlihat dengan sikap dan pernyataan anggota TNI yang merasa kewenangannya semakin terbatasi dibanding kewenangan Polri yang relatif besar, akhirnya membuat anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri (Siregar, 2011: 269).
Ketika masih di dalam ABRI, polisi merupakan unsur yang terkesan inferior. Polisi merasa sungkan untuk mengusut kasus yang di dalamnya melibatkan unsur TNI, sehingga ketika Polri telah dipisahkan dari TNIbanyak anggota Polri yang tindakannya dinilai sombong. Ungkapan tentara dilapangan bahwa polisi “sombong sekali, padahal dulu bagian dari kami” atau sebaliknya di aparat kepolisian tesebar ungkapan “tentara jangan mengurusi urusan kemanan yang menjadi wewenang polisi”, adalah sesuatu yang umum diucapkan (Siregar, 2011: 269).  Banyak anggota TNI kemudian merasa tidak senang dengan sikap berlebihan yang dilakukan anggota Polri. Hal itu dikarenakan TNI masih merasa superior jika berhadapan dengan polisi.
D.   PENUTUP


Akhirnya, proses pencarian, penelusuran, dan pelacakan akar masalah konflik TNI-Polri selesai dilakukan. Dari paparan di atas dapat dikemukakan bahwa proses reformasi yang berlangsung pada 1998 mengamanatkan pemisahan TNI dan Polri. Sejak pemisahannya, kedudukan Polri menjadi berada langsung di bawah Presiden, sedangkan TNI bertanggungjawab pada Panglima TNI, dan Panglima TNI kepada Presiden. Dengan kata lain, kedudukan Polri dan TNI menjadi sejajar. Hal ini seringkali dimaknai oleh anggota Polri secara berlebihan dan berakibat pada hubungan TNI-Polri menjadi buruk. Pola hubungan yang memburuk pasca pemisahan Polri dan TNI menyebabkan konflik di antara keduanya semakin bersifat sistemik. Itu terlihat dari sebaran konflik yang terjadi di hampir seluruh Indonesia.
Dapat disimpulkan, bahwa akar masalah konflik TNI-Polri disebabkan oleh faktor sejarah. Mengingat selama Orde Lama hingga Orde Baru, Polri terkesan berada di bawah TNI, sehingga ketegangan dan konflik yang terjadi di rasa karena post power syndrome TNI terhadap Polri. TNI merasa dirinya superior dibanding Polri dan Polri merasa kewenangannya ‘tidak terbatas’ lagi daripada TNI, jadi tidak sepatutnya untuk rendah diri bila berhadapan dengan TNI. Oleh karenanya, sudah seharusnya masing-masing kesatuan menyadari akan peran dan fungsinya masing-masing. Peran merupakan aspek dinamis dalam kedudukan. Polri sebagai alat Kamtibmas maka kewajibannya adalah melindungi, mengayomi masyarakat dan TNI sebagai benteng pertahanan negara, maka kewajibannya adalah menghancurkan pihak-pihak yang hendak mengganggu kedaulatan dan keutuhan negara. Kedua, lebih ditiingkatkan lagi pola komunikasi, koordinasi anggota TNI-Polri. Upaya tersebut relevan terkait penyelesaian konflik yang salah satunya dapat ditempuh melalui jalur diplomasi.

  
Daftar Sumber
Sumber Buku
Bachtiar, Harsya. (1994). Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu yang Baru. Jakarta: Gramedia.
Bizawie, Zainul Milal. (2014). Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Menegakan Indonesia 1945-1949. Jakarta: Pustaka Compass.
Djamin, A. (2000). Menuju POLRI Mandiri yang Profesional: Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.
Gottschalk, Louis. (2008). Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press.
Herlina, Nina. (2009). Historiografi Indonesia dan Permasalahnnya. Bandung: Satya Historika.
Kunarto. (1999). Polri Mandiri: Merenungi Kritik Terhadap Polri Buku Ke 4. Jakarta: Cipta Manunggal.
-----------. (1995). Polri Mandiri: Merenungi Kritik Terhadap Polri Buku Ke 2. Jakarta: Cipta Manunggal.
Lubis, Nina Herlina, et al. (2005). PETA Cikal - Bakal TNI. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Mabes Polri. (1999). Sejarah Kepolisian di Indonesia: Cetakan Pertama. Jakarta: Mabes Polri
-----------------. (2009). Atribut Tanda Kepangkatan Polri Dari Masa ke Masa. Jakarta: Mabes Polri: Staf Deputy Bidang Logistik.
Natsir, Muhammad. (2004). Konflik Presiden Versus Polri Di Era Transisi Demokrasi. Jakarta: Pusat Studi Politik Madani Institut.
Poesponegoro, M. D. dan Nugroho Notosusanto. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI: Cetakan Kedelapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar: Edisi Keempat. Jakarta: Grafindo Persada.

Soenanto, H. (2009). Proses Hukum Pemisahan POLRI dari ABRI Hingga UU POLRI. Jakarta: Nurul Izzah Pres.
Sundhaussen, Ulf. (1986). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3S.
Wulan, Ambar. (2009). Polisi dan Politik. Jakarta: Rajagrafindo Persada.    
Skripsi, Tesis, dan Artikel
Gemini, Galun Eka. (2012). Dinamika Polri: Latar Belakang dan Proses Pemisahan dari Struktur ABRI 1999. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sarimaya, Farida. tt. Kontroversi Keberadaan Komando Teritorial TNI. Bandung: Anonyme.
Sarjono, Perwita Sari. (2012). Peranan Divisi Siliwangi dalam Berbagai Operasi Militer di Indonesia 1945-2005. Tesis. Bandung: PPS Universitas Padjadjaran.
Siregar, Rayni Wulansuci. (2011). Peran dan Fungsi TNI dan Polri dalam Pertahanan dan Keamanan Negara Pada Masa Reformasi (1998-2011). Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Surat Kabar
Sin Po, No. 882. 5 Oktober 1948.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia.
-------. Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
-------. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI-Polri.
-------. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI-Polri.
-------. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan Pemisahan TNI-Polri.
-------. Instruksi Presiden No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian.
-------. Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Polri dalm Sitem Ketatanegaraan Indonesia.





.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *