Rabu, 04 Januari 2017

Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan 1945-1948



Oleh: Galun Eka Gemini
Diterbitkan pada Jurnal Patanjala, Vol. 7 No. 3 September 2015



Abstrak
Penelitian ini menggambarkan Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Untuk merekontruksi permasalahan ini digunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data digunakan studi literatur dan wawancara, yaitu mengkaji sumber-sumber literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan mewawancarai saksi sejarah atau pelaku sejarah sebagai narasumbernya. Tujuan penelitian ini di antaranya: mendeskripsikan latar belakang terbentuknya Lasykar Hizbullah di Priangan; menguraikan proses terbentuknya Lasykar Hizbullah di Priangan; dan menjelaskan peranan dan perkembangan Lasykar Hizbullah di Priangan pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lasykar Hizbullah terbentuk pada 10 Januari 1945. Lasykar Hizbullah merupakan organisasi/sayap kepemudaan yang berada di bawah naungan Masyumi Karesidenan Priangan. Lasykar Hizbullah telah memberikan peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka terlibat aktif dalam pertempuran-pertempuran melawan Belanda-Sekutu, seperti Bandung Lautan Api, Agresi Militer I, menyikapi Perjanjian Renville. Lasykar Hizbullah di Priangan pada perkembangannya terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, yang bergabung dengan TNI-Divisi Siliwangi sebagai hasil dari adanya program fusi badan-badan perjuangan dengan TNI tahun 1947. Kedua, yang tergabung dengan Tentara Islam Indonesia, benteng terdepan Negara Islam Indonesia bentukan Kartosuwiryo.
Kata Kunci: sejarah, Hizbullah, Priangan, revolusi kemerdekaan.

A.    Pendahuluan
Indonesia mengalami dinamika sejarah yang panjang dalam upaya meraih kemerdekaan dari penjajah. Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 rupanya tidak menjadi sebuah jaminan bahwa Indonesia telah betul-betul merdeka. Pasca proklamasi tepatnya antara tahun 1945-1949, Indonesia mengalami babak baru sejarah yang dinamakan sebagai periode revolusi. Dalam historiografi Indonesia, revolusi fisik, acap kali dimaknai sebagai cerita perang. Suatu masa yang dilumuri oleh berbagai macam konflik (politik) kenegaraan antara Indonesia dengan Belanda.
Belanda yang tergabung ke dalam Blok Sekutu selaku pemenang dalam Perang Dunia II melawan Jepang (Blok Axis) menganggap dirinya berhak atas penguasaan kembali Indonesia. Itulah sebabnya secara tegas Belanda-Sekutu tidak mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan itu. Kesadaran adanya potensi ancaman seperti itu berakibat terbentuknya sikap bersatu untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia: dari adu otak hingga adu otot; dari angkat bicara hingga angkat senjata.
Keduanya (diplomasi dan perang) bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, ketika diplomasi gagal, perang menjadi jalan penyelesaiannya. Perang dilakukan melalui perlawanan mengangkat senjata secara terbuka sebagai salah satu upaya untuk mencegah Belanda-Sekutu menguasai kembali wilayah Indonesia.
Dalam situasi yang demikian memunculkan badan-badan perjuangan di Indonesia sebagai counter terhadap pasukan Belanda-Sekutu itu. Badan-badan perjuangan tersebut berasal dari berbagai elemen masyarakat yang pada dasarnya beragam secara etnis, jenis kelamin, agama, budaya, dan lain-lain. Kendati pun demikian, secara prinsip memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku “Siliwangi dari Masa ke Masa”, tercatat sebanyak 18 badan perjuangan yang terdapat di Jawa Barat pada saat itu.  Satu di antaranya adalah Lasykar Hizbullah (Disjarahdam IV Siliwangi, 1979: 23-24).
Lasykar Hizbullah berarti tentara Allah (Hizb Allah = tentara Allah). Lasykar Hizbullah merupakan badan perjuangan atau kelasykaran yang terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Biasanya mereka berasal dari pondok-pondok pesantren (santri), atau madrasah-madrasah.
Dengan masuknya para santri atau ulama ke medan pertempuran, menjadi fakta sejarah bahwa golongan santri pun menjadi salah satu – apa yang oleh Dengel disebut – “katalisator” atau pembuka jalan bagi lahirnya nasionalisme dan tegaknya kemerdekaan Indonesia (Dengel, 2011: 1).
Harus diakui bahwa selama ini peran sentral ulama-santri dalam catatan-catatan sejarah Indonesia masih cenderung terpinggirkan, termasuk peran sentral ulama-santri pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan yang muncul belakangan ini tidak banyak menyebutkannya, dan sebagian lagi bahkan mengabaikannya. Sebaliknya, eksistensi kelompok netral agama/nasionalis sekuler mendapatkan perhatian yang lebih dalam penulisan sejarah Indonesia.
Pemilihan Priangan sebagai objek penelitian adalah sepengetahuan penulis tema semacam ini dalam konteks di Priangan belum ada yang mengangkat menjadi sebuah penelitian, sehingga dapat memberikan khazanah baru dalam historiografi lokal ataupun Indonesia pada umumnya, yang ke depannya diharapkan dapat membantu bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. 
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan pokoknya adalah “Bagaimana Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia?”. Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, maka diajukan beberapa pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: (1) Apa motivasi berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan?; (2) Bagaimana proses berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan?; (3) Bagaimana peranannya pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merekonstruksi sekaligus memberikan gambaran tentang: (1) motivasi berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan; (2) proses berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan; (3) peranan Lasykar Hizbullah pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Dalam mengkaji permasalahan yang akan dibahas, peneliti menggunakan literatur terdahulu sebagai sumber rujukan dalam penelitian ini. Walaupun pada prinsipnya, sumber-sumber yang menjelaskan mengenai Lasykar Hizbullah secara eksplisit sangat sedikit untuk ditemukan. Tapi, penulis mencoba memanfaatkan dari sumber-sumber terdahulu yang di dalamnya menyinggung mengenai Lasykar Hizbullah. Buku pertama, berjudul “Siliwangi dari Masa ke Masa”. Buku ini ditulis oleh TIM yang dibentuk oleh Dinas Sejarah Kodam (Disjarahdam) IV Divisi Siliwangi, cetakan ke-2 pada 1979. Dari segi konten, buku setebal 657 halam itu mengupas mengenai mengenai TNI-IV Divisi Siliwangi – yang sekarang berubah menjadi Kodam III Siliwangi – dari mulai sejarah, struktur organisasi, lembaga-lembaga korps, dan tentu peranannya dalam mengawal kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, lebih khusus lagi ketika pada saat negara baru terbentuk dan penuh dengan gejolak. Dalam upaya menghadapi berbagai macam gangguan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, TNI-Divisi Siliwangi kerapkali bermanunggal dengan barisan-barisan perjuangan yang di dalamnya. Oleh karenanya, buku ini sangat relevan dengan penelitian yang sedang dikaji. Sebab, di dalamnya menyinggung pula mengenai eksistensi Lasykar Hizbullah di Jawa Barat umumnya, tentu di Priangan khususnya. Selain itu, di dalam buku ini disertai juga gambar-gambar terkait dengan beberapa peristiwa sejarah penting yang barangkali dapat dipergunakan dalam penelitian ini.
Buku kedua yang digunakan sebagai sumber rujukan adalah karya Holk H. Dengel Darul Islam-NII dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal diterbitkan tahun 2011 oleh Pustaka Sinar Harapan. Buku ini mengungkap tentang sosok Kartosuwirjo secara personal; track record-nya mulai pada awal masa pergerakan nasional, masa pendudukan Jepang, masa revolusi sampai akhir hayatnya ketika dihadapkan pada Mahkamah Angkatan Darat. Buku ini telah memberikan informasi terutama permasalahan DI/TII di Jawa Barat yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Mengingat cikal bakal terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII) bersumber dari kekuatan Lasykar Hizbullah. Dapat dipastikan di dalam buku ber-cover hijau ini mengupas Lasykar Hizbullah yang berada di Jawa Barat, juga di Priangan. 
Ada pula buku karangan Zainul Milal Bizawie yang berjudul “Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad”. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Compass pada 2014. Buku setebal 419 halaman ini intinya memuat tentang peran ulama dan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang terbagi ke dalam dua bagian dilihat secara strategi perjuangan; perjuangan diplomasi ataupun perjuangan senjata. Buku ini sangat relevan dengan penelitian yang penulis lakukan, sehingga dapat dijadikan bahan pembanding atau rujukan oleh penulis dalam membahas mengenai pembentukan Lasykar Hizbullah-Sabilillah, dan peranannya dalam menegakan negara Republik Indonesia.
Berikutnya adalah karangan  KH. Mansyur Suryanegara berjudul “API Sejarah 2”. Buku ini diterbitkan tahun 2010 oleh Grafindo Media Pratama. Buku setebal 588 halaman ini berusaha menyajikan tentang fakta sejarah kiprah para ulama dan santri yang masih tersembunyi dalam menegakan kemerdekaan Indonesia. Dengan ulasan konten materi yang terfokus terhadap satu titik permasalahan dan sistematis, yaitu mengupas peranan ulama dan santri dalam percaturan politik Indonesia yang secara temporalnya cukup panjang; dari masa pergerakan, hingga era reformasi berlangsung.  Maka sangat lah wajar bila buku ini mendapat predikat menjadi salah satu buku terlaris dalam sepanjang sejarahnya. Kaitannya dengan penelitian ini pun tampak kentara, KH. Ahmad Mansyur banyak memaparkan usaha-usaha para ulama dan santri dalam perjuangan melawan sistem kolonial Belanda yang dipandangnya berlaku dzalim dan menindas.    
Dari tinjauan atas kajian di atas dapat diketahui bahwa buku-buku yang terkait dengan Peranan Lasykar Hizbullah boleh dikatakan cukup banyak, terutama berkenaan dengan masalah perjuangan santri atau ulama dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun, buku-buku atau tulisan yang secara khusus menulis Lasykar Hizbullah di Priangan, belum pernah ada. Kalau pun ada itu hanya sebagian kecil saja yang belum tersusun secara khusus dan utuh.
Berdasarkan uraian di atas, kemudian menginisasi dan mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949)”.      

B.    Metode Penelitian
Dengan mengacu pada maksud dan tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan prosedur yang umum digunakan dalam penelitian sejarah. Tujuannya adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif  (Herlina, 2011:1). Tujuan ini dicapai dengan menggunakan metode sejarah.“Metode sejarah yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan agar peristiwa yang terjadi di masa lampau dapat direkontruksi secara imajinatif” (Gottschalk, 1985:32).
Tahapan pertama dari metode sejarah adalah heuristik yakni proses mencari, menemukan dan menghimpun sumber sejarah yang relevan dengan pokok masalah yang sedang diteliti. Terkait dengan kegiatan heuristik, sumber-sumber yang dicari dapat berbentuk sumber tertulis, tidak tertulis (lisan) dan benda. Setelah sumber sejarah terhimpun, proses selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap sumber yang telah terkumpul. Kegiatan analisis ini lazimnya disebut kritik sumber. Lalu kritik sumber, dalam sejarahnya dibagi menjadi dua, yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan untuk menentukan otentisitas sumber dengan cara memberikan penilaian terhadap kondisi fisik sumber tersebut, seperti jenis kertas yang dipakai, tinta, tulisan, huruf, watermark, stempel, dan sebagainya. Kritik internal ditempuh dengan cara melakukan penilaian instrinsik terhadap sumber tersebut, misalnya menilai penulis atau penyusun sumber tersebut. Selain itu dilakukan juga proses koroborasi yakni pendukungan data yang ada dalam sumber tersebut dengan sumber lainnya yang bersifat independen. Dengan proses seperti itu akhirnya diperoleh sumber yang kredibel atau dapat dipercaya. Sumber- sumber inilah selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini.
Data yang telah lolos dari tahapan kritik kemudian dilakuan interpretasi. Interprestasi merupakan tahapan menafsirkan informasi yang terdapat di dalam sumber yang telah dikumpulkan. Tahapan ini dilakukan karena orientasi penelitian adalah menganalisis masalah yang memiliki porsi lebih banyak. Interpretasi diperlukan untuk membuat data yang tampaknya terlepas satu dengan yang lainnya menjadi satu hubungan yang saling berhubungan, sehingga terlihat jelas kausalitasnya. Dari tahapan interpretasi dihasilkan fakta. Fakta yang dihasilkan dan masih saling terlepas satu sama lain itu kemudian disintesiskan. selanjutnya dilakukan tahapan terakhir, yaitu historiografi atau penulisan sejarah. Hasil interpretasi atas sumber-sumber yang terdeteksi sedemikian rupa ditulis menjadi sebuah tulisan sejarah yang objektif, terarah dan sistematis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kebenarannya. Penulisannya dibagi menjadi beberapa bab.
Dengan menggunakan metode sejarah, penulis mendapatkan panduan bagaimana secara teknis artikel (karya ilmiah) ini dikerjakan secara efektif dan akurat. Efektif dalam arti dikerjakan tahap demi tahap secara tertib. Akurat dalam pengertian hanya sumber yang sudah menjadi fakta sejarah yang dapat dijadikan sebagai bahan penulisan.
Selanjutnya untuk memperoleh kajian yang lebih baik dalam upaya mewujudkan hasil penelitian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, penelitian ini menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, berupa: konsep dan teori.
Konsep peranan (role) diterapkan dalam penelitan ini. Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Menurut Soekanto (1982: 239), kedudukan diartian sebagi tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat maka ia telah menjalankan sebuah peranan.
Dalam hal ini posisi Lasykar Hizbullah sebagai  benteng pertahanan agama (Islam) dan negara, maka kewajibannya adalah menjalankan tugasnya sebagai alat pertahanan dalam mempertahankan agama (Islam) dan negara dari kekuasaan “kafir” (Sekutu-Belanda).
Dalam pangung sejarah revolusi Indonesia, terjadi perlawanan yang dilakukan Lasykar Hizbullah terhadap Sekutu dan Belanda. Aksi perlawanan yang di alami oleh Lasykar Hizbullah itu tergolong ke dalam konflik. Untuk menjelaskan konflik yang terjadi, maka digunakan teori konflik dari Ralf Dahrendorf.
Teori konflik relevan untuk menjelaskan berbagai fenomena seperti perselisihan, perang, revolusi, dan sebagainya yang menggambarkan adanya pertentangan baik secara kolektif ataupun individu.
Dahrendrof  berpandangan bahwa masyarakat memiliki dua wajah (konflik dan konsensus). Itulah sebabnya – menurut Dahrendrof – teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teori konsesus dapat digunakan untuk menguji nilai integritas dalam masyarakat, sedangkan teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di bawah tekanan itu. Dahrendrof mengakui bahwa masyarakat ada karena adanya suatu consensus. Jadi, lahirnya konflik sebagai akibat dari adanya konsensus sebelumnya (Ritzer, G dan Douglas J. Goodman, 2011: 153-154).
Misalnya, rakyat Indonesia (Lasykar Hizbullah) sangat tidak mungkin berkonflik dengan Sekutu-Belanda karena tidak ada kontak antara keduanya, tidak ada integrasi sebelumnya yang menyediakan “tempat” untuk konflik. Begitu juga dalam menganalisis perpecahan Lasyakar Hizbullah: antara fusi dengan TNI dan TII.   
     
C.     Hasil dan Pembahasan
1.      Proses Berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan
Pada tanggal 10 Desember 1944 sampai 19 Januari 1945, wakil-wakil PB. Masyumi mengadakan perjalanan keliling ke seluruh daerah karesidenan se-Jawa dan Madura, dengan mengunjungi pusat-pusat kota yang terpenting. Salah satu tujuannya adalah: (1) menyiapkan pembentukan panitia pusat Masyumi daerah; (2) memberikan penjelasan tentang berdirinya Lasykar Hizbullah, diikuti perintah untuk membentuk Hizbullah di daerah; (3) memeriksa calon-calon anggota Hizbullah yang akan dilatih di Cibarusa – Bekasi (Soeara Moeslimin, No. 2. 15 Januari 1945).
Berkenaan dengan poin kedua dalam uraian di atas, umat Islam di Priangan menyambut baik berdirinya Lasykar Hizbullah itu. Pada tanggal 10 Januari 1945, diruangan Gedung Dai Tooa Kaikan di Bandung atas usaha panitia shuu Masyumi Priangan diselenggarakan pertemuan dengan para utusan Masyumi pusat yang terdiri atas KH. Faried Ma’roef, Zainal Arifin, diikuti pula oleh A. Hamid Ono, Kenchoo, Shichoo, para ulama terkemuka Shuu Priangan, dan berpuluh-puluh orang calon anggota Lasykar Hizbullah. Pertemuan itu dipimpin langsung oleh KH. Anwar Musaddad dari Garut (Asia Raya, No. 11. 12 Januari 1945).
Setelah KH. Faried Ma’roef memberikan pernyataan tentang pentingnya kekuatan ekonomi bagi umat Islam umumnya. Zainal Arifin (Pemimpin Besar Hizbullah) memberi penjelasan mengenai barisan Hizbullah. Inti dari pembicaraannya itu adalah membangkitkan semangat kepada umat Islam, agar jangan sampai umat Islam dijajah oleh sekutu, yakni sesudah mengalami penjajahan sejak lama. Maka diperlukan kekuatan dari umat Islam untuk menangkalnya dalam perjuangan. Tujuan Lasykar Hizbullah yakni berjuang dalam peperangan serta membangun masyarakat Indonesia baru bersama-sama dengan Peta, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan sebagainya (Asia Raya, No. 11. 12 Januari 1945).
Rekruitmen anggota Hizbullah di wilayah Priangan berasal dari organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan juga lembaga pendidikan yang ada, seperti dari beberapa pondok pesantren di sekitar Priangan, melalui guru agama dan para muballigh – dari daerah masing-masing di Priangan. Rekruitmen anggota lasykar diambil dari para pemuda yang memiliki keberanian untuk berperang, karena meskipun banyak para pemuda-pemuda yang berada pada usia produktif saat itu, namun tidak semuanya memiliki hasrat dan keberanian untuk sama-sama terlibat ke dalam kancah peperangan melawan penjajah (Suryana, wawancara tanggal 10 Juni 2015).
Rekruitmen anggota Hizbullah sesuai dengan keputusan PB. Masyumi, harus melalui tes, yaitu pengetahuan dan pengamalan agama Islam, dan kesehatan serta keterampilan fisik. Angkatan pertama dapat lulus masuk Hizbullah Priangan sebanyak ± 25 pemuda, yang terdiri dari berbagai daerah kabupaten, yaitu: Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, juga Bandung. Sayang, untuk nama-nama peserta yang mengikuti pelatihan kemiliteran di Cibarusa-Bekasi tidak dapat disebutkan, dikarenakan data yang tidak memenuhi. Hanya saja berdasarkan hasil wawancara dengan H. Machdar, ia menyebutkan dirinya bersama beberapa orang lainnya, seperti Huseinsyah, Zainul Abidin, Ajengan Icih, Kamran, sebagai salah satu orang yang mengikuti pelatihan tersebut mewakili daerah Priangan (Machdar, wawancara tanggal 13 Juni 2015). 
Pada tanggal 28 Februari 1945 seluruh anggota Hizbullah Shuu Priangan dikirim ke Cibarusa - Bekasi, untuk mengikuti latihan kemiliteran bersama seluruh Badan Perjuangan Hizbullah se-Jawa dan Madura. Biaya transportasi, perlengkapan dan pelatihan ditanggung oleh Pimpinan Masyumi Daerah Priangan. Anggota Hizbullah yang mengikuti pelatihan di Cibarusa lebih kurang 500 orang, ditempatkan di barak-barak bambu. Salah seorang pelatihnya adalah KH. Mustafa Kamil dari Priangan. Latihan Perang Hizbullah ini dibuka oleh pimpinan Jawa Gunseikan, pada tanggal 28 Februari 1945, dan dihadiri oleh para tokoh Masyumi dan pembesar militer Jepang (Machdar, wawancara tanggal 13 Juni 2015).
Pelatihan perang ini dilaksanakan selama 3 bulan. Bulan pertama diisi dengan latihan rohani disertai latihan dasar keprajuritan. Bulan kedua dengan latihan jasmani. Lalu, bulan ketiga memperkuat latihan rohani dan jasmani. Maksud pembagian waktu seperti ini, diharapkan pada bulan-bulan pertama latihan anggota-anggota yang berasal dari beberapa daerah se-Jawa dan Madura itu, memiliki semangat persatuan yang sebulat-bulatnya, di samping memperkuat ketauhidannya.
Seluruh tahapan latihan baik rohani maupun jasmani adalah dilakukan untuk menuntut kebulatan semangat perjuangan dengan latar semangat keagamaan, keprajuritan, dan cinta tanah air. Dalam Soera Moslimin, No. 23 dan 24. 15 Desember 1944, disebutkan macamnya latihan rohani yaitu:
1)        Mempertebal semangat ke-Islam-an, seperti tauhid dan hukum-hukum agama Islam;
2)        Mendidik semangat Dai Nipon;
3)        Mempertinggi akhlak agar secara sukarela mengerjakan berbagai macam kepentingan umum dan mengerjakan ibadah-ibadah yang ditentukan;
4)        Mempertebal dan membangkitkan semangat bekerja keras.
Sedangkan untuk latihan jasmani, yaitu: 
1)        Mencegah serangan dari udara dan bahaya kebakaran, serta melindungi penduduk, juga menangkap mata-mata musuh;
2)        Mengadakan latihan mengerahkan tenaga pada waktu-waktu penting atau darurat;
3)        Latihan keprajuritan semaksimal mungkin dan selengkap-lengkapnya.
Pada tanggal 20 Mei 1945 Pelatihan militer bagi Lasykar Hizbullah di Cibarusa ditutup oleh Soomubutyoo yang diwakili oleh P.T. Nomura Kikakukatyco  dan dihadiri oleh K.H. Wahid Hasyim mewakili pimpinan Masyumi. Semua anggota Lasykar Hizbullah yang ikut pelatihan di Cibarusa diwajibkan berikrar: (1) Menyerahkan dirinya secara bulat pada Masyumi; (2) Harus mampu mendirikan Hizbullah di daerah tempat tinggalnya dan menunjuk kepala atau pemimpin yang senantiasa berhubungan dengan pemimpin daerah atau kantor Shuuchoo; dan (3) Tiap-tiap anggota Hizbullah diharuskan menjalin kerjasama dengan madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, serta para pemuda Islam di daerahnya dalam rangka untuk mengulangi dan menyiarkan hasil latihan yang telah diperolehnya; dan (4) tiap-tiap anggota Hizbullah yang telah dilatih wajib menjaga dirinya dan kehormatannya sebagai Tentara Allah (Soeara Moeslimin, No. 10. Mei 1945).
Sepulangnya latihan dari Cibarusa, di daerah Priangan tetap diadakan pembinaan dan pelatihan kemiliteran. Pihak-pihak yang duduk sebagai pelatih adalah para kyai-kyai dan ulama yang cukup dan cakap dalam keagamaannya. Latihan pematangan ini biasanya dilakukan di pesantren-pesantren, seperti di pondok kecil daerah Cikole Bandung Utara di bawah pimpinan Ajengan Icih (Suryana, wawancara tanggal 10 Juni 2015), di Pesantren daerah Cicukang Cigondewah di bawah Ajengan Aceng (Machdar, wawancara tanggal 13 Juni 2015), Institut Suffah yang berada di daerah Malangbong–Garut di bawah pimpinan Ateng Djaelani (Dengel, 2011: 56) dan di Pesantren Al-Falah Biru, Darussalam, Cipari Garut. KH. Anwar Musaddad dan KH. Yusuf Taujiri pengasuh Pesantren Darussalam dan Cipari pernah melatih sekitar 200 santrinya yang tergabung dalam Lasykar Hizbullah dan menjadikan rumahnya sebagai dapur umum bagi lasykar tersebut (Muhsin Z, 2015: 3).
Adapun materinya terdiri dari dua macam, sebagaimana latihan yang diselenggarakan para pendahulunya. Ada latihan rohani dan latihan jasmani. Pada latihan rohani dipelajari ilmu ”kanuragan” melalui olah pernapasan, sedangkan jasmani (kemiliteran) Lasykar Hizbullah dilatih mulai teknik baris-berbaris, teknik dasar kemiliteran, hingga menggunakan bambu runcing dan pentungan kayu serta teknik penggunan senjata berat di medan pertempuran (Soeara Moeslimin No. 6, 15 Maret 1945 ).
Kompisisi anggota Lasykar Hizbullah pada tahun-tahun berikutnya mengalami perkembangan, Hal ini dikarenakan eratnya hubungan kyai dan santri atau masyarakat pada umumnya di pedesaan membuat kyai selaku elite masyarakat dengan mudah memobilisasi massa. Alasan lainnya karena keanggotaan Hizbullah mendapatkan dukungan dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang merupakan “adik kandung-nya” dalam tubuh Masyumi (Djiwa Islam, No. Setahun GPII, 1946-1948).

2.     Perang Melawan Belanda-Sekutu
Secara faktual, Peristiwa Proklamasi yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 tidak menjamin Indonesia menjadi negara merdeka. Belanda dan Sekutu yang telah berhasil mengalahkan Jepang mencoba kembali masuk dan menduduki kembali Indonesia dengan memboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Sontak, kehadiran mereka di ‘hujani’ perlawanan-perlawanan dari rakyat Indonesia yang terejawantahkan melalui berbagai macam perlawanan dari lasykar-lasykar perjuangan. Harus diketahui bahwasannya pada situasi seperti ini lasykar-lasyakar perjuangan keberadaannya bak jamur dimusim hujan. Mereka mewarnai peperangan dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dengan modal persenjataan seadanya.
Persenjataan yang mereka gunakan umumnya berupa persenjataan tradisional yang mencitrakan ke-Indonesiaan, seperti golok, keris, bambu runcing, juga yang lainnya. Namun tidak secara keseluruhan bersenjatakan seperti itu, karena ditopang juga oleh persenjataan modern berupa senapan api atau persenjataan modern lainnya, hasil pelucutan dari tentara Jepang, meskipun jumlahnya sangat terbatas.  
Pada akhir 1945 hingga 23 Maret 1946 terjadi serangkaian pertempuran antara pihak Indonesia dengan Belanda-Sekutu yang diwakili oleh Inggris di Bandung. Peristiwa itu lazimnya disebut Palagan Bandung atau “Bandung Lautan Api”. Kejadian ini bermula ketika pasukan Inggris yang ditempatkan di Bandung di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn mengeluarkan tuntutan untuk mengambil para tawanan Jepang yang pada saat itu di tahan oleh badan-badan perjuangan bersama TNI-Divisi Siliwangi. Selain itu mereka juga menuntut agar mereka menyerahkan Kota Bandung, 29 November 1945. Permintaan tersebut mendapatkan penolakan dari lasykar-lasykar perjuangan – tentu ada Lasykar Hizbullah di dalamnya – yang tergabung ke dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) dan TNI-Divisi Siliwangi sebagai tentara Republik. Karenanya, pihak Inggris menganggap barisan lasykar perjuangan yang ada di Bandung dan juga TNI-Divisi Siliwangi adalah kelompok pengacau, teroris yang harus dikeluarkan dari Bandung (Suryanegara, 2010: 212).
Tidak ketinggalan Lasykar Hizbullah – dengan tokohnya Kamran, Utarya, dan Sabilillah dengan tokohnya Isa Anshari, Ajengan Toha, dan KH. Yusuf Taujiri di sekitar Priangan – pun turut andil dalam peperangan ini bersama para santri-santri yang berasal dari pesantren sekitar Bandung.
Di luar Bandung, bahkan terdapat pula anggota Lasykar Hizbullah yang berasal dari pesantren-pesantren dari Garut dan Tasikmalaya (Endan, wawancara tanggal 8 Juni 2015) dan Lasykar Hizbullah di bawah pimpinan KH. Marzuki, bersama anaknya KH. Abdurrohim Citangkolo dari Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar (Lubis, et al., 2011: 43).
Lasykar Hizbullah dengan semangat tinggi dan persenjataan alakadarnya melakukan perlawanan secara berani. Bahkan keberaniannya itu melebihi anggota-anggota dari anggota badan perjuangan lainnya. Misal saat pertempuran yang terjadi di Jl. Lengkong Besar berlangsung, pernah ada dua orang anggota dari Lasykar Hizbullah dari Batalyon Huseinsyah yang berani menyerbu pasukan Belanda-Sekutu hingga menaiki tank baja (pantser) dari pasukan Gurkha, hanya dengan berbekal golok, pedang dan bambu runcing (Endan, wawancara 8 Juni 2015).
Machdar (wawancara tanggal 13 Juni 2015) memaparkan, biasanya  sebelum para santri yang tergabung ke dalam Lasykar Hizbullah diterjunkan ke dalam medan pertempuran, mereka diharuskan terlebih dahulu melakukan dzikir (wirid). Hal itu dimaksudkan sebagai pembinaan mental agar lebih berani dan tangguh dalam setiap kali melakukan pertempuran. Dalam proses wiridan, dimpimpin oleh seorang kyai atau orang yang ditunjuk oleh kyai atas dasar kecakapan dan keluhuran tentang ilmu agama. Selain itu, diberikan juga gemblengan atau ceramah-ceramah mengenai peperangan (jihad): hukum perang melawan orang kuffur, kedudukan orang yang gugur di medan tempur (syahid), dan hal-hal lainnya yang sesuai dengan ke-Islam-an.  
Lasykar Hizbullah didukung oleh anggota yang paling banyak jumlahnya. Sayangnya, meskipun didukung dengan keberanian yang maksimal serta keanggotaan yang banyak jumlahnya, kerapkali kali dalam setiap pertempuran tidak disertai dengan perhitungan-perhitungan kemiliteran secara matang. Akibatnya tidak sedikit dari mereka yang mati secara sia-sia atau “mati konyol” (Suryana, wawancara 10 Juni 2015).
Sedang Tentara Republik yang tergabung dalam Divisi Siiwangi pimpinan Kolonel Nasution, merupakan satu-satunya kesatuan tentara yang memliki sruktur organisasi paling baik di antara kesatuan-kesatuan yang ada. Namun Divisi Siliwangi tidak didukung oleh kelengkapan persenjataan yang memadai dibanding kesatuan-kesatuan lainnya. Minimnya persenjataan yang dimilki Divisi Siliwangi membuat mereka sulit untuk dapat mempertahankan Bandung dari pendudukan Belanda-Sekutu.   
Sebagai konsekuensi kekalahannya itu, selanjutnya Lasykar Hizbullah dan lasykar rakyat lainnya (MPPP) menarik mundur pasukannya meninggalkan Kota Bandung bersama-sama dengan TNI-Divisi Siliwangi. Mereka mengungsi ke daerah-daerah di sekitar Bandung Selatan. Di sana, lalu MPPP mendirikan markas baru di daerah Ciparay dan TNI-Divisi Siliwangi bermarkas di daerah Cicalengka. Kemudian, keduanya pindah lebih jauh lagi ke sebelah tenggara Bandung, dan membentuk markas besarnya di Garut (Van Dijk, 1983: 69). Di Garut, selanjutnya MPPP membentuk Resimen Tentara Perjuangan yang terdiri dari lima batalyon. Satu dari kelima batalyon itu berasal dari Lasykar Hizbullah Huseinsyah.
Peranan Lasykar Hizbullah-Sabilillah di Priangan semakin menampakan dirinya ketika tejadi Agresi Militer Belanda (AMB) pertama  pada tanggal 20 Juli 1947. Akibat dari aksi “polisional” pertama ini menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi struktur militer dan administrasi di sejumlah kota-kota di Jawa Barat, terutama Kota Bandung sebagai ibukota Karesidenan Priangan, sekaligus ibukota Provinsi Jawa Barat. Meskipun beberapa komponen masih bisa dipertahankan eksistensinya, namun kontrol pemerintah Indonesia atas Jawa Barat menjadi berkurang. Maka dari itu, Lasykar Hizbullah menyatakan perang suci kepada Pasukan Belanda.
Pada saat peristiwa ini berlangsung, pihak Belanda mengerahkan kekuatan sebanyak dua divisi untuk wilayah Jawa Barat dengan persenjataan yang lengkap dan modern. Tujuannya, selain untuk memperluas wilayah pendudukan, juga ditujukan untuk menguasai wilayah-wilayah yang memiliki potensi perekonomian tinggi seperti di wilayah Priangan yang kaya dengan hasil-hasil perkebunannya.
Pasukan TNI dan Lasykar Perjuangan tampak menanggung beban yang sangat berat menghadapi serangan-serangan ini. Pasukan Belanda yang dipimpin  Kolonel “Tjantje” Meijer yang tergabung dalam Brigade V/Divisi B (2)/Mayor Jenderal De Wall bergerak dari Bandung menuju ke arah timur Bandung; Garut-Tasikmalaya-Ciamis, lalu ke Jawa Tengah. Sedangkan Pasukan Belanda dari arah Jakarta menuju Bandung di hadapi oleh Brigade III TNI dengan bantuan dari Batalyon Hizbullah pimpinan Mayor Taberani di sektor Padalarang. Situasi yang kurang menguntungkan dan kalah dalam segi persenjataan membuat perlawanan TNI, dan Hizbullah di wilayah ini dengan mudah dapat dikalahkan pasukan Belanda (Disjarahdam IV Siliwangi, 1979: 104).
Front timur Bandung yang menuju ke sekitar Garut juga mengalami hal serupa. Misalnya perlawanan dari Lasykar Hizbullah pimpinan KH. Anwar Musaddad dan KH. Yusuf Taujiri yang bermarkas di Pesantren Cipari. Pasukan Belanda berhasil menduduki Pesantren Cipari dan menawan kedua tokoh tersebut. Keduanya ditahan setelah Lasykar Hizbullah yang dipimpinnya melakukan aksi penyerangan terhadap pos-pos tentara Belanda di Wanaraja. Mereka ditahan di Sukadana Garut. Namun, atas bantuan Bupati Garut, Raden Padmanagara, mereka akhirnya dapat dibebaskan (Wildan, 2015: 5).
Di sektor Malangbong, Lasykar Hizbullah-Sabilillah diorganisir oleh S.M. Kartosuwiryo.  Karena alasan yang sama, kalah secara persenjataan, Lasykar Hizbullah-Sablillah di sana dapat dikalahkan oleh Belanda yang relatif dipersenjatai secara baik. Akhirnya Malangbong  tidak luput dari pendudukan Belanda, hingga Belanda berhasil membakar Institut Suffah yang dijadikan sebagai basis politik dan militer asuhan Kartosuwiryo (Dengel, 2011: 61).
Satu hal yang harus diakui dari Lasykar Hizbullah untuk wilayah Garut ini, mereka mampu memberikan perlawanan yang cukup baik dan membuat pasukan Belanda kewalahan mengahadapinya, meskipun kemenangan tidak berpihak kepadanya. Keberadaan TNI-Brigade Guntur menjadi salah satu faktor sengitnya peperangan, selain juga diuntungkan karena posisi geografis Garut yang berupa pegunungan. Kesatuan TNI-Brigade Guntur menjadi partner dalam membangun pertahanan dengan Batalyon Hizbullah yang dikomandoi oleh Mayor Utarya. Kesatuan batalyon Hizbullah ini oleh Nasution diakui cukup solid karena, keanggotaannya tersebar di tiap-tiap desa di wilayah itu (Bizawie, 2014: 313).
Berkat serbuan Blitzkrieg-nya yang langsung serentak dan terarah secara kilat, Belanda berhasil menduduki wilayah-wilayah di Priangan; Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Tetapi umumnya mereka hanya berhasil merebut wilayah perkotaan saja. Di sisi lain, wilayah pedalaman secara de facto masih dikuasai oleh TNI, Lasykar Hizbullah, dan kesatuan badan-badan perjuangan lainnya (Bizawie, 2014: 313).

3.     Unifikasi: TNI dan TII
Di bawah kepemimpinan Sudirman, TKR (sekarang; TNI) sebagai tentara negara selalu ditekankan sebagai alat pertahanan negara – sebagaimana yang kita yakini selama ini – bahwa tentara hanya memiliki satu kewajiban saja, yaitu mempertahankan kedaulatan negara dari kekuasaan asing. Selain itu, ditekankan pula pentingnya untuk menjalin kerjasama dengan badan-badan perjuangan.
Sepanjang tahun 1946, struktur komando masih belum teratur karena kesatuan masing-masing daerah seringkali bertindak sendiri-sendiri. Pengaturan sistem komando masih dalam taraf sosialisasi. Menyikapi keadaan seperti itu, lalu upaya peningkatan profesionalisme dan reorganisasi tentara semakin ditingkatkan lagi oleh pemerintah guna menghasilkan tentara yang professional dan efesien. Sebuah langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai hal itu yaitu dengan membentuk Panitia Besar untuk mereorganisasi ketentaraan dengan Letjen Oerip Soemohardjo duduk sebagai ketuanya (Sundhaussen, 1986: 17). Tujuannya untuk penataan kembali struktur komando dan pengaturan kesatuan-kesatuan tentara yang telah ada.
Pada 23 Februari 1946 diselenggarakan reorganisasi tentara oleh pemerintah Indonesia yang bertugas menentukan kebijakan-kebijakan persoalan pertahanan, organisasi tentara, dan kedudukan lasykar-lasykar perjuangan. Berdasarkan kedudukan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan dinyatakan bahwa badan-badan perjuangan diharuskan melebur menjadi satu ke dalam organisasi ketentaraan resmi, yaitu TRI. Dalam waktu tiga bulan badan-badan perjuangan didisiplinkan dan dibina untuk di militerisasi (Suryana, wawancara tanggal 10 Juni 2015).
Kemudian sebagai hasil realisasi peleburan antara organisasi tentara regular dengan badan-badan perjuangan lainnya disepakati nama TNI sebagai nama lembaganya. Dengan begitu, nama TRI diganti menjadi TNI (Sin Po, No. 882. 5 Oktober 1948).
Pada 3 Juni 1947 secara resmi TRI dan badan-badan perjuangan bergabung ke dalam satu wadah tentara regular bernama TNI. Panglima Soedirman duduk sebagai Panglima Besar TNI (Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, 1993: 147).  Keputusan itu diperkuat dalam penetapan Berita Negara No. 24 tahun 1947, yang berbunyi:
1.      Mulai tanggal 3 Juni 1947 secara resmi disahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI);
2.      Segenap anggota angkatan perang dan segenap lascar-laskar bersenjata mulai saat ini dimasukan ke dalam TNI; dan
3.      Pucuk pimpinan TNI berada di bawah komando Panglima Besar TNI (Bizawie, 2014: 290-291).
Dalam konteks di Priangan, anggota Lasykar Hizbullah menanggapinya dengan beragam keinginan dari pemerintah itu. Ada yang setuju menanggapi secara positif, namun ada juga yang menolak dan bersifat antagonistik. Meski di dalam internal Hizbullah Priangan terjadi ketidaksolidan, umumnya mereka meresponnya secara positif. Satu di antaranya adalah Lasykar Hizbullah dari Batalyon Huseinsyah dari Resimen Tentara Perjuangan di bawah koordinasi MPPP pada tanggal 17 Mei 1947 bergabung dengan TNI. Hasil dari unifikasi itu kemudian melahirkan kesatuan Resimen Kesembilan Brigade Guntur yang menjadi Resimen kedua dalam Divisi Siliwangi (Van Dijk, 1983: 70).
Kesediaan Lasykar Hizbullah bergabung dengan TNI-Divisi Siliwangi itu bukan tanpa alasan. Pertimbangannya lantaran Masyumi pada saat itu berposisi sebagai partai pemerintah, dan Lasykar Hizbullah sebagai sayap kemiliteran Masyumi menyebabkan Hizbullah bersifat akomodatif dengan pemerintah Republik Indonesia. Alasan lainnya karena keterbatasan senjata yang dimiliki Lasykar Hizbullah, sehingga membulatkan tekad mereka untuk menyatu dengan TNI.
Di Garut, terdapat Lasykar Hizbullah dari Pesantren Al-Falah Biru di bawah pimpinan KH. Syaikhuna Badruzzaman. Pada tahun 1948, KH. Syaikhuna Badruzzaman menyarankan kepada anggotanya untuk bergabung dan melebur dengan TNI. Usulan itu mendapatkan respon positif dari beberapa anggota Lasykar Hizbullah. Mereka di antaranya adalah: Aos Sumandar, pangkat terakhir Kapten dengan Jabatan Danramil Wanaraja; Oom Jailani, jabatan terakhir Letnan Polisi, Pengawal Presiden; Hamim Ahyar, pangkat terakhir Letnan Dua; Enis Idris, pangkat terakhir Letnan Satu; dan Abdul Galib, pangkat terakhir Sersan Mayor (Muhsin Z, 2011: 60).
Kesatuan-kesatuan Hizbullah dalam TNI melebur ke dalam kesatuan setingkat brigade, resimen, bataliyon, dan seksi pasukan dalam organisasi TNI. Dengan begitu, para perwira dalam kesatuan Hizbullah yang menempati kedudukan di masing-masing jenjang kesatuan berhak mengenakan jenjang kepangkatan sebagaimana yang diatur dan berlaku dalam kesatuan TNI. Sebagai contoh, KH. Zainul Arifin (Pemimpin Besar Hizbullah) mendapat pangkat Mayor Jenderal karena posisi atau jabatannya sebagai Panglima Tinggi Hizbullah dan Huseinsyah dari Priangan berpangkat Mayor karena membawahi kesatuan batalyon (Bizawie, 2014: 292-293).
Bersatunya Hizbullah dengan TNI, berarti telah mengikuti garis komando dan alokasi kesatuan sebagaimana yang dikehendaki oleh TNI. Ada beberapa perubahan setelah Hizbullah melebur dengan TNI misalnya dari aspek hierarki organisasi dan jenjang kepangkatan. Hizbullah menghilangkan kesatuan-kesatuan satu tingkat dari sebelumnya. Satuan-satuan yang sebelumnya setingkat dengan divisi, turun satu tingkat menjadi resimen, resimen turun satu tingkat menjadi batalyon, batalyon menjadi kompi-kompi, kesatuan kompi menjadi pleton, dan kesatuan pleton turun satu tingkat menjadi regu.
Penyesuaian berlaku juga pada masalah kepangkatan dari para perwira yang membawahi kesatuan. Jika sebelumnya berpangkat Letnan Kolonel karena membawahi resimen, maka diturunkan satu tingkat menjadi Mayor membawahi batalyon, juga dari Mayor menjadi Kapten membawahi kesatuan kompi, dan seterusnya (Endan, wawancara tanggal 8 Juni 2015).
Sedangkan bagi yang menolak peleburan dengan TNI, dikarenakan ketidaksiapan mereka harus terikat oleh sistem keprajuritan. Baginya perjuangan yang mereka lakukan hanya sebatas untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setelahnya, mungkin mereka akan kembali lagi ke rumahnya masing-masing dan melakukan kehidupan seperti sedia kala. Umumnya mereka kembali bertani atau ke pesantren-pesantren (Endan, wawancara tanggal 8 Juni 2015).
Dengan melihat uraian di atas, dapat disimpulkan, adanya instruksi pemerintah untuk diadakannya peleburan Lasykar Hizbullah ini menuai polemik dalam sepanjang perjalannya dan menjadikan kekuatan Lasykar Hizbullah terpecah menjadi dua bagian; pro-pemerintah, dan kontra-pemerintah. Lasykar Hizbullah yang tergolong kontra-pemerintah adalah Lasykar Hizbullah kelompok Kartosuwiryo di antaranya: Kamran (ketua MPPP yang kelak menjadi panglima TII), Raden Oni Syahroni, Ateng Djaelani, Zainal Abidin, dan lain-lain.
Dengel (2011: 85-86) menyebutkan, Utarya pernah menemui dan membujuk Kamran dan S.M. Kartosuwiro agar mereka dan para pengikutnya bersedia untuk bergabung dengan TNI dan bersama-sama berjuang melawan Belanda-sekutu. Namun usaha itu tidak membuahkan hasil, sebaliknya Utarya pada saat itu mati terbunuh. Dengel tidak menyebutkan alasan dan pelaku pembunuhan itu, tapi diperkirakan dilakukan oleh kelompok Kartosuwiryo yang sebelumnya bersitegang akibat usaha dari Utarya tersebut dan perbedaan faham dari keduanya.
Pernyataan Dengel diamini oleh Van Dijk – yang merupakan peneliti tentang DI/TII juga. Van Dijk menyebutkan peleburan Resimen Tentara Perjuangan ke dalam Divisi Siliwangi awalnya dihalangi oleh Kamran, dengan melukiskan Kamran yang menjadi ketua MPPP ketika itu, sangat berambisi untuk menjadi “Jenderal”. Namun usahanya itu sia-sia dalam mencegah meleburnya Lasykar Hizbullah ke dalam TNI – Divisi Siliwangi (Siliwangi, 1968: 184; Van Dijk, 1983: 70).
Keadaan itu diperparah ketika disepakatinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 yang mendorong anggota Lasykar Hizbullah di bawah Kartosuwiryo semakin menunjukan sikap penentangannya terhadap pemerintah Republik Indonesia. Salah satu isi kesepakatannya adalah pengosongan wilayah kekuasaan RI terhadap daerah yang dikuasai oleh Belanda. Oleh karena itu, TNI-Divisi Siliwangi dan badan-badan perjuangan lainnya harus melakukan “Hijrah” ke Jogjakarta. Pasukan Divisi Siliwangi yang merupakan tentara regular di Jawa Barat harus mematuhi hasil perjanjian yang telah disepakati. Pada bulan Februari 1948 sekitar 35.000 pasukan Divisi Siliwangi pergi meninggalkan Jawa Barat menuju Jogjakarta.
Sementara itu, Lasykar Hizbullah (kontra-pemerintah) yang tersisa sekitar 4.000 personil menolak untuk ber-hijrah. Mereka menganggap pemerintah Republik telah menjual Jawa Barat kepada Belanda. Itulah sebabnya, S.M. Kartosuwiryo – yang pada waktu itu menjadi Pengurus Masyumi daerah Jawa Barat – memilih tetap berada di Jawa Barat (tidak melakukan hijrah) untuk melakukan perang gerilya dengan tentara Belanda (Kahin, 1970: 234; Lubis, et.al., 2013: 330). 
Lebih jauh lagi  Lasykar Hizbullah kelompok Kartosuwiryo memiliki perbedaan secara garis ideologi, karena sebetulnya benih-benih untuk menegakan Khilafah Islamiyah yang diserukan Kartosuwiryo dan pengikutnya sudah tampak sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1939-an ketika PSII melakukan politik “hijrah” dengan pemerintah militer Jepang.
Selama Jawa Barat dikosongkan dari kekuatan TNI-Divisi Siliwangi, S.M. Kartosuwirjo bersama Lasykar Hizbullah-nya terus melakukan pertempuran gerilya melawan Belanda, seraya melakukan konsolidasi untuk mendirikan Negara Islam di Jawa Barat.
Pada tanggal 10-11 Februari 1948 diadakan suatu konferensi di Pangwedusan Cisayong-Tasikmalaya. Dalam konferensi ini hadir 160 dari beberapa perwakilan organisasi Islam di Jawa Barat  yang pro-Kartosuwiryo, antara lain: dari Dahlan Lukman sebagai ketua GPII dan Siti Murtaji’ah ketua GPII putri; Sanusi Pratawidjaja ketua Masyumi darah Priangan; Kamran sebagai Komandan Teritorial Hizbullah; Abdullah Ridwan ketua Hizbullah Priangan dan Raden Oni Syahroni Panglima Sabilillah Priangan; sebagai ketua Masyumi cabang Garut hadir Saefullah (Dengel, 2011: 65). 
Dalam konferensi ini beberapa perwakilan organisasi Islam tersebut mengusulkan pendapatnya, antara lain: Kamran wakil dari Lasykar Hizbullah, menuntut agar pemerintah Indonesia membatalkan Pejanjian Renville dengan pihak Belanda. Apabila Indonesia tidak sanggup membatalkan hasil Perjanjian Renville, menurutnya lebih baik negara ini dibubarkan saja dan membentuk pemerintahan dengan corak baru, yakni Islam; lalu Affandi Ridwan dari GPII menyuarakan kepada pemerintah RI di Jogjakarta agar pemerintah Indonesia menyerahkan Jawa Barat kepada umat Islam – yang diwakili oleh mereka yang tetap tinggal dan tidak melaksanakan politik hijrah-nya ke Jogjakarta (DI/TII) (Dengel, 2011: 66).
Keputusan terpenting lainnya dalam  konferensi itu adalah membekukan Masyumi wilayah Jawa Barat. Kartosuwiryo menilai, sudah saatnya Islam dijadikan sebagai haluan bernegara, bukan sebagai landasan organisasi. Pembekuan Masyumi semakin dipertegas dengan  dibentuknya Madjlis Islam (MI) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo sendiri selaku Imam. Terakhir, adalah pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diambil dari Lasykar Hizbullah, GPII, serta organisasi Islam lainnya yang se-ideologi dengan Kartosuwiryo. Peleburan Lasykar Hizbullah ke dalam TII, berarti dimulainya diperkenalkan istilah Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai benteng utama Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII) ciptaan Kartosuwiryo dan berakhirnya penamaan Lasykar Hizbullah di Priangan. 

D.    Penutup
Secara hirarki, Lasykar Hizbullah merupakan organisasi kepemudaan yang berada di bawah naungan Masyumi. Lasykar Hizbullah merupakan sebuah organisasi kemiliteran pemuda Islam yang memiliki skala nasional, berarti tersebar di tiap-tiap daerah di Indonesia, bukan organisasi yang berada di suatu daerah tertentu.
Mulanya Lasykar Hizbullah dibentuk oleh Jepang di akhir kependudukannya di Indonesia guna menjadi korps cadangan Peta. Meski demikian, Lasykar Hizbullah tidak “ber-taklid” terhadap pemerintahan Jepang. Sebaliknya, kerapkali mereka berbalik memberikan perlawanan-perlawanan terhadap Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika memasuki masa revolusi fisik di Indonesia. Lasykar Hizbullah bersama lasykar-lasykar perjuangan lainnya bertempur melawan Jepang untuk merampas atau melucuti senjatanya yang kelak akan dijadikan bahan logistik dalam menghadapi Belanda-sekutu. Peristiwa pendudukan Hotel Malayu adalah salah satu bukti perlawanan Lasykar Hizbullah dari Pesantren Al-Falah Biru Garut melawan pemerintah militer Jepang. Perjuangan yang ditorehkan Lasykar Hizbullah untuk Ibu Pertiwi ini semakin tampak lagi ketika menentang kehadiran Sekutu yang membonceng Belanda-NICA. Ia tak pernah absen dalam melakukan perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Belanda, di mana pusat kekuasaan Belanda ada, Lasykar Hizbullah hadir untuk menghancurkannya bersama-sama BKR/TKR/TNI atau lasykar-lasykar perjuangan yang lain. Misalnya, terlibat dalam Agresi Militer pertama, menentang keputusan Renville, dan peristiwa-peristiwa kecil lainnya yang dilakukan lasykar tersebut secara sendiri-sendiri.
Pada perjalanannya, Lasykar Hizbullah terpecah menjadi dua golongan, golongan pro-pemerintah, dan kontra-pemerintah. Adapun sumber perpecahan itu bermula ketika diterapkannya fusi dengan TNI. Kedua ketika menyikapi hasil Perjanjian Renville. Lebih jauh lagi sesungguhnya perpecahan itu terdorong karena adanya perbedaan ideologis atau garis perjuangan negara. Kelompok Hizbullah yang kontra-pemerintah Republik ini selanjutnya menjelma dan melebur menjadi sumber kekuatan utama Tentara Islam Indonesia (TII) yang memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di bawah Imam Kartosuwiryo.

Daftar Sumber
Surat Kabar
Asia     Raya. No. 11. 12 Januari 1945.
Djiwa Islam. No. Setahun GPII. 1946-1948.
Sin Po. No. 882. 5 Oktober 1948.
Soeara Moeslimin. No. 23, No. 24. 15 Desember 1944.
-------. No. 2. 15 Januari 1945.
-------.No. 6. 15 Maret 1945.
-------. No. 10. Mei 1945.

Buku dan Makalah
Bizawie, Zainul Milal. 2014.
Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Menegakan Indonesia 1945-1949. Jakarta: Pustaka Compass.
Dengel, Holk. H. 1995.
            Darul Islam-NII dan Kartosuwiryo: Angan-angan yang Gagal. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.
van Dijk, Cornelis 1983.
Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers.
Disjarahdam VI/Siliwangi. 1979.
Siliwangi dari Masa ke Masa: Cetakan kedua. Bandung: Angkasa.
Gottschalk, Louis. 1985.
Mengerti Sejarah.Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press.
Herlina, Nina. 2011.
Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.
           Lubis, et.al., 2011.
Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat. Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
           -------, et.al., 2013.
Sejarah Provinsi Jawa Bara Jilid 2. Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
Sundhaussen, Ulf. 1986.
Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3S.
Muhsin, Mumuh Z. 2011.
Perjuangan K.H. Syaikhuna Badruzzaman dalam Merebut, Mempertahankan, dan Mengisi Kemerdekaan (1900 – 1972). Jatinangor: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad. [E-Book].
Poesponegoro, M. D. dan Nugroho Notosusanto. 1993.
Sejarah Nasional Indonesia VI: Cetakan Kedelapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011.Teori Sosiologi Modern: Edisi
ke-6. Jakarta: Kencana
Soekanto, Soerjono. 1982.
            Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryanegara, Ahmad Mansyur. 2010.
Api Sejarah 2. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Wildan, Dadan. 2015.
Prof. KH. Anwar Musaddad: Ulama Multikultural, Akademisi Paripurna, dan Politisi Moderat. Disampaikan dalam Seminar Nasional Pengusulan KH. Anwar Musaddad sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber Lisan
            Endan, Tatang (85 tahun). 2015.
           Saksi Sejarah/Eks-Lasykar Pemuda Republik Indonesia. Wawancara, Bandung, 8 Juni 2015.

           Machdar, Moehammad. (87 tahun). 2015.
          Eks-Lasykar Hizbullah. Wawancara, Bandung, 13 Juni 2015.
Suryana, Nana. (92 tahun). 2015.
         Eks-Lasykar Hizbullah. Wawancara, Bandung, 10 Juni 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *