Oleh: Galun Eka Gemini
Diterbitkan
pada Jurnal Patanjala, Vol. 7 No. 3 September 2015
Abstrak
Penelitian ini menggambarkan Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan pada masa
revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Untuk merekontruksi
permasalahan ini digunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap,
yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Adapun teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data digunakan studi literatur dan wawancara, yaitu
mengkaji sumber-sumber literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti
dan mewawancarai saksi sejarah atau pelaku sejarah sebagai narasumbernya. Tujuan penelitian ini di antaranya: mendeskripsikan
latar belakang terbentuknya Lasykar Hizbullah di Priangan; menguraikan proses
terbentuknya Lasykar Hizbullah di Priangan; dan menjelaskan peranan dan perkembangan
Lasykar Hizbullah di Priangan pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Lasykar Hizbullah terbentuk pada 10 Januari 1945.
Lasykar Hizbullah merupakan organisasi/sayap kepemudaan yang berada di bawah
naungan Masyumi Karesidenan Priangan. Lasykar Hizbullah telah memberikan peran
penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka terlibat aktif dalam
pertempuran-pertempuran melawan Belanda-Sekutu, seperti Bandung Lautan Api,
Agresi Militer I, menyikapi Perjanjian Renville. Lasykar Hizbullah di Priangan
pada perkembangannya terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, yang bergabung
dengan TNI-Divisi Siliwangi sebagai hasil dari adanya program fusi badan-badan
perjuangan dengan TNI tahun 1947. Kedua, yang tergabung dengan Tentara Islam
Indonesia, benteng terdepan Negara Islam Indonesia bentukan Kartosuwiryo.
Kata
Kunci: sejarah, Hizbullah, Priangan, revolusi
kemerdekaan.
A. Pendahuluan
Indonesia mengalami
dinamika sejarah yang panjang dalam upaya meraih kemerdekaan dari penjajah.
Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 rupanya
tidak menjadi sebuah jaminan bahwa Indonesia telah betul-betul merdeka. Pasca
proklamasi tepatnya antara tahun 1945-1949, Indonesia mengalami babak baru
sejarah yang dinamakan sebagai periode revolusi. Dalam historiografi Indonesia,
revolusi fisik, acap kali dimaknai sebagai cerita perang. Suatu masa yang
dilumuri oleh berbagai macam konflik (politik) kenegaraan antara Indonesia dengan
Belanda.
Belanda yang
tergabung ke dalam Blok Sekutu selaku pemenang dalam Perang Dunia II melawan
Jepang (Blok Axis) menganggap dirinya berhak atas penguasaan kembali Indonesia.
Itulah sebabnya secara tegas Belanda-Sekutu tidak mengakui kemerdekaan
Indonesia yang telah diproklamirkan itu. Kesadaran adanya potensi ancaman
seperti itu berakibat terbentuknya sikap bersatu untuk mempertahankan
kedaulatan negara Indonesia: dari adu otak hingga adu otot; dari angkat bicara
hingga angkat senjata.
Keduanya (diplomasi
dan perang) bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, ketika
diplomasi gagal, perang menjadi jalan penyelesaiannya. Perang dilakukan melalui
perlawanan mengangkat senjata secara terbuka sebagai salah satu upaya untuk
mencegah Belanda-Sekutu menguasai kembali wilayah Indonesia.
Dalam situasi yang
demikian memunculkan badan-badan perjuangan di Indonesia sebagai counter terhadap pasukan Belanda-Sekutu itu.
Badan-badan perjuangan tersebut berasal dari berbagai elemen masyarakat yang
pada dasarnya beragam secara etnis, jenis kelamin, agama, budaya, dan
lain-lain. Kendati pun demikian, secara prinsip memiliki kesamaan tujuan, yaitu
untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku
“Siliwangi dari Masa ke Masa”, tercatat sebanyak 18 badan perjuangan yang terdapat
di Jawa Barat pada saat itu. Satu di
antaranya adalah Lasykar Hizbullah (Disjarahdam IV Siliwangi, 1979: 23-24).
Lasykar Hizbullah berarti
tentara Allah (Hizb Allah = tentara
Allah). Lasykar Hizbullah merupakan badan perjuangan atau kelasykaran yang
terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Biasanya mereka berasal dari pondok-pondok
pesantren (santri), atau madrasah-madrasah.
Dengan masuknya
para santri atau ulama ke medan pertempuran, menjadi fakta sejarah bahwa
golongan santri pun menjadi salah satu – apa yang oleh Dengel disebut – “katalisator”
atau pembuka jalan bagi lahirnya nasionalisme dan tegaknya kemerdekaan Indonesia
(Dengel, 2011: 1).
Harus diakui bahwa
selama ini peran sentral ulama-santri dalam catatan-catatan sejarah Indonesia masih
cenderung terpinggirkan, termasuk peran sentral ulama-santri pada masa revolusi
kemerdekaan Indonesia. Berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai
perjuangan kemerdekaan yang muncul belakangan ini tidak banyak menyebutkannya,
dan sebagian lagi bahkan mengabaikannya. Sebaliknya, eksistensi kelompok netral
agama/nasionalis sekuler mendapatkan perhatian yang lebih dalam penulisan
sejarah Indonesia.
Pemilihan Priangan sebagai objek
penelitian adalah sepengetahuan penulis tema semacam ini dalam konteks di
Priangan belum ada yang mengangkat menjadi sebuah penelitian, sehingga dapat
memberikan khazanah baru dalam historiografi lokal ataupun Indonesia pada umumnya,
yang ke depannya diharapkan dapat membantu bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Berdasarkan
pemaparan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan
pokoknya adalah “Bagaimana
Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia?”.
Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, maka diajukan beberapa
pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini antara lain: (1)
Apa motivasi berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan?; (2) Bagaimana proses
berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan?; (3) Bagaimana peranannya pada masa
revolusi kemerdekaan Indonesia?
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk merekonstruksi
sekaligus memberikan gambaran tentang:
(1) motivasi berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan; (2) proses berdirinya Lasykar
Hizbullah di Priangan; (3) peranan Lasykar Hizbullah pada masa revolusi
kemerdekaan Indonesia.
Dalam
mengkaji permasalahan yang akan dibahas, peneliti menggunakan literatur
terdahulu sebagai sumber rujukan dalam penelitian ini. Walaupun pada
prinsipnya, sumber-sumber yang menjelaskan mengenai Lasykar Hizbullah secara
eksplisit sangat sedikit
untuk ditemukan. Tapi, penulis
mencoba memanfaatkan dari
sumber-sumber terdahulu
yang di dalamnya menyinggung mengenai Lasykar
Hizbullah. Buku pertama, berjudul “Siliwangi dari
Masa ke Masa”. Buku
ini ditulis oleh TIM yang dibentuk oleh Dinas Sejarah Kodam (Disjarahdam) IV
Divisi Siliwangi, cetakan ke-2 pada 1979. Dari segi konten, buku setebal 657
halam itu mengupas mengenai mengenai TNI-IV Divisi Siliwangi – yang sekarang
berubah menjadi Kodam III Siliwangi – dari mulai sejarah, struktur organisasi,
lembaga-lembaga korps, dan tentu peranannya dalam mengawal kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, lebih khusus lagi ketika pada saat negara baru
terbentuk dan penuh dengan gejolak. Dalam upaya menghadapi berbagai macam gangguan
baik dari dalam negeri maupun luar negeri, TNI-Divisi Siliwangi kerapkali
bermanunggal dengan barisan-barisan perjuangan yang di dalamnya. Oleh
karenanya, buku ini sangat relevan dengan penelitian yang sedang dikaji. Sebab,
di dalamnya menyinggung pula mengenai eksistensi Lasykar Hizbullah di Jawa
Barat umumnya, tentu di Priangan khususnya. Selain itu, di dalam buku ini
disertai juga gambar-gambar terkait dengan beberapa peristiwa sejarah penting
yang barangkali dapat dipergunakan dalam penelitian ini.
Buku kedua yang
digunakan sebagai sumber rujukan adalah karya Holk H. Dengel Darul Islam-NII dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal diterbitkan tahun 2011 oleh
Pustaka Sinar Harapan. Buku ini mengungkap tentang sosok Kartosuwirjo secara personal; track record-nya mulai
pada awal masa pergerakan nasional, masa pendudukan Jepang, masa revolusi
sampai akhir hayatnya ketika dihadapkan pada Mahkamah Angkatan Darat. Buku ini
telah memberikan informasi terutama permasalahan DI/TII di Jawa Barat yang ada
hubungannya dengan penelitian ini. Mengingat cikal bakal terbentuknya Tentara
Islam Indonesia (TII) bersumber dari kekuatan Lasykar Hizbullah. Dapat
dipastikan di dalam buku ber-cover
hijau ini mengupas Lasykar Hizbullah yang berada di Jawa Barat, juga di
Priangan.
Ada pula buku
karangan Zainul Milal Bizawie yang
berjudul “Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad”. Buku ini diterbitkan
oleh Pustaka Compass
pada 2014. Buku setebal 419 halaman ini intinya memuat tentang peran
ulama dan santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang terbagi ke
dalam dua bagian dilihat secara strategi perjuangan; perjuangan diplomasi
ataupun perjuangan senjata. Buku ini sangat
relevan dengan penelitian yang penulis lakukan, sehingga dapat
dijadikan bahan pembanding atau rujukan oleh penulis dalam membahas mengenai
pembentukan Lasykar
Hizbullah-Sabilillah,
dan peranannya dalam
menegakan negara Republik Indonesia.
Berikutnya adalah
karangan KH. Mansyur Suryanegara
berjudul “API Sejarah 2”. Buku ini diterbitkan tahun 2010 oleh Grafindo Media
Pratama. Buku setebal 588 halaman ini berusaha menyajikan tentang fakta sejarah
kiprah para ulama dan santri yang masih tersembunyi dalam menegakan kemerdekaan
Indonesia. Dengan ulasan konten materi yang terfokus terhadap satu titik
permasalahan dan sistematis, yaitu mengupas peranan ulama dan santri dalam
percaturan politik Indonesia yang secara temporalnya cukup panjang; dari masa
pergerakan, hingga era reformasi berlangsung. Maka sangat lah wajar bila buku ini mendapat predikat
menjadi salah satu buku terlaris dalam sepanjang sejarahnya. Kaitannya dengan
penelitian ini pun tampak kentara, KH. Ahmad Mansyur banyak memaparkan
usaha-usaha para ulama dan santri dalam perjuangan melawan sistem kolonial
Belanda yang dipandangnya berlaku dzalim dan menindas.
Dari
tinjauan atas kajian di atas dapat diketahui bahwa buku-buku yang terkait
dengan Peranan
Lasykar Hizbullah boleh dikatakan cukup banyak, terutama berkenaan dengan
masalah perjuangan santri atau ulama dalam menegakkan dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Namun,
buku-buku atau tulisan yang secara khusus menulis Lasykar Hizbullah di
Priangan, belum pernah ada. Kalau
pun ada itu hanya sebagian kecil saja yang belum tersusun secara khusus dan
utuh.
Berdasarkan uraian di atas, kemudian
menginisasi dan mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul
“Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia
(1945-1949)”.
B. Metode
Penelitian
Dengan mengacu pada
maksud dan tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan prosedur yang umum
digunakan dalam penelitian sejarah. Tujuannya adalah untuk membuat
rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif (Herlina, 2011:1). Tujuan ini dicapai dengan
menggunakan metode sejarah.“Metode sejarah yaitu proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan agar peristiwa yang terjadi
di masa lampau dapat direkontruksi secara imajinatif” (Gottschalk, 1985:32).
Tahapan pertama
dari metode sejarah adalah heuristik yakni
proses mencari, menemukan dan menghimpun sumber sejarah yang relevan dengan
pokok masalah yang sedang diteliti. Terkait dengan kegiatan heuristik, sumber-sumber yang dicari
dapat berbentuk sumber tertulis, tidak tertulis (lisan) dan benda. Setelah
sumber sejarah terhimpun, proses selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap
sumber yang telah terkumpul. Kegiatan analisis ini lazimnya disebut kritik
sumber. Lalu kritik sumber, dalam sejarahnya dibagi menjadi dua, yaitu kritik
eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan untuk menentukan
otentisitas sumber dengan cara memberikan penilaian terhadap kondisi fisik
sumber tersebut, seperti jenis kertas yang dipakai, tinta, tulisan, huruf, watermark, stempel, dan sebagainya.
Kritik internal ditempuh dengan cara melakukan penilaian instrinsik terhadap
sumber tersebut, misalnya menilai penulis atau penyusun sumber tersebut. Selain
itu dilakukan juga proses koroborasi yakni pendukungan data yang ada dalam
sumber tersebut dengan sumber lainnya yang bersifat independen. Dengan proses
seperti itu akhirnya diperoleh sumber yang kredibel atau dapat dipercaya.
Sumber- sumber inilah selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini.
Data yang telah lolos dari
tahapan kritik kemudian dilakuan interpretasi. Interprestasi merupakan tahapan
menafsirkan informasi yang terdapat di dalam sumber yang telah dikumpulkan.
Tahapan ini dilakukan karena orientasi penelitian adalah menganalisis masalah
yang memiliki porsi lebih banyak. Interpretasi diperlukan untuk membuat data
yang tampaknya terlepas satu dengan yang lainnya menjadi satu hubungan yang
saling berhubungan, sehingga terlihat jelas kausalitasnya. Dari tahapan
interpretasi dihasilkan fakta. Fakta yang dihasilkan dan masih saling terlepas
satu sama lain itu kemudian disintesiskan. selanjutnya dilakukan tahapan
terakhir, yaitu historiografi atau penulisan sejarah. Hasil
interpretasi atas sumber-sumber yang terdeteksi sedemikian rupa ditulis menjadi
sebuah tulisan sejarah yang objektif, terarah dan sistematis, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah kebenarannya. Penulisannya dibagi menjadi
beberapa bab.
Dengan
menggunakan metode sejarah, penulis mendapatkan panduan bagaimana secara teknis
artikel (karya
ilmiah) ini dikerjakan secara efektif dan akurat. Efektif dalam
arti dikerjakan tahap demi tahap secara tertib. Akurat dalam pengertian hanya
sumber yang sudah menjadi fakta sejarah yang dapat dijadikan sebagai bahan
penulisan.
Selanjutnya untuk
memperoleh kajian yang lebih baik dalam upaya mewujudkan hasil penelitian
sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, penelitian ini
menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, berupa: konsep dan teori.
Konsep peranan (role) diterapkan dalam penelitan ini. Peranan
merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Menurut Soekanto (1982: 239), kedudukan
diartian sebagi tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
dalam masyarakat maka ia telah menjalankan sebuah peranan.
Dalam hal ini
posisi Lasykar Hizbullah sebagai benteng
pertahanan agama (Islam) dan negara, maka kewajibannya adalah menjalankan
tugasnya sebagai alat pertahanan dalam mempertahankan agama (Islam) dan negara
dari kekuasaan “kafir” (Sekutu-Belanda).
Dalam pangung
sejarah revolusi Indonesia, terjadi perlawanan yang dilakukan Lasykar Hizbullah
terhadap Sekutu dan Belanda. Aksi perlawanan yang di alami oleh Lasykar
Hizbullah itu tergolong ke dalam konflik. Untuk menjelaskan konflik yang
terjadi, maka digunakan teori konflik dari Ralf Dahrendorf.
Teori konflik
relevan untuk menjelaskan berbagai fenomena seperti perselisihan, perang,
revolusi, dan sebagainya yang menggambarkan adanya pertentangan baik secara
kolektif ataupun individu.
Dahrendrof berpandangan bahwa masyarakat memiliki dua
wajah (konflik dan konsensus). Itulah sebabnya – menurut Dahrendrof – teori
sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teori
konsesus dapat digunakan untuk menguji nilai integritas dalam masyarakat,
sedangkan teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan
yang mengikat masyarakat bersama di bawah tekanan itu. Dahrendrof mengakui
bahwa masyarakat ada karena adanya suatu consensus. Jadi, lahirnya konflik
sebagai akibat dari adanya konsensus sebelumnya (Ritzer, G dan Douglas J.
Goodman, 2011: 153-154).
Misalnya, rakyat
Indonesia (Lasykar Hizbullah) sangat tidak mungkin berkonflik dengan
Sekutu-Belanda karena tidak ada kontak antara keduanya, tidak ada integrasi
sebelumnya yang menyediakan “tempat” untuk konflik. Begitu juga dalam
menganalisis perpecahan Lasyakar Hizbullah: antara fusi dengan TNI dan TII.
C.
Hasil dan Pembahasan
1.
Proses Berdirinya Lasykar Hizbullah di Priangan
Pada tanggal 10
Desember 1944 sampai 19 Januari 1945, wakil-wakil PB. Masyumi mengadakan
perjalanan keliling ke seluruh daerah karesidenan se-Jawa dan Madura, dengan
mengunjungi pusat-pusat kota yang terpenting. Salah satu tujuannya adalah: (1)
menyiapkan pembentukan panitia pusat Masyumi daerah; (2) memberikan penjelasan
tentang berdirinya Lasykar Hizbullah, diikuti perintah untuk membentuk
Hizbullah di daerah; (3) memeriksa calon-calon anggota Hizbullah yang akan
dilatih di Cibarusa – Bekasi (Soeara Moeslimin, No. 2. 15 Januari 1945).
Berkenaan dengan
poin kedua dalam uraian di atas, umat Islam di Priangan menyambut baik
berdirinya Lasykar Hizbullah itu. Pada tanggal 10 Januari 1945, diruangan
Gedung Dai Tooa Kaikan di Bandung
atas usaha panitia shuu Masyumi
Priangan diselenggarakan pertemuan dengan para utusan Masyumi pusat yang
terdiri atas KH. Faried Ma’roef, Zainal Arifin, diikuti pula oleh A. Hamid Ono,
Kenchoo, Shichoo, para ulama terkemuka Shuu
Priangan, dan berpuluh-puluh orang calon anggota Lasykar Hizbullah. Pertemuan
itu dipimpin langsung oleh KH. Anwar Musaddad dari Garut (Asia Raya, No. 11. 12
Januari 1945).
Setelah KH. Faried
Ma’roef memberikan pernyataan tentang pentingnya kekuatan ekonomi bagi umat
Islam umumnya. Zainal Arifin (Pemimpin Besar Hizbullah) memberi penjelasan
mengenai barisan Hizbullah. Inti dari pembicaraannya itu adalah membangkitkan
semangat kepada umat Islam, agar jangan sampai umat Islam dijajah oleh sekutu,
yakni sesudah mengalami penjajahan sejak lama. Maka diperlukan kekuatan dari
umat Islam untuk menangkalnya dalam perjuangan. Tujuan Lasykar Hizbullah yakni
berjuang dalam peperangan serta membangun masyarakat Indonesia baru
bersama-sama dengan Peta, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan sebagainya (Asia
Raya, No. 11. 12 Januari 1945).
Rekruitmen anggota
Hizbullah di wilayah Priangan berasal dari organisasi-organisasi dan
sekolah-sekolah Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan juga lembaga pendidikan
yang ada, seperti dari beberapa pondok pesantren di sekitar Priangan, melalui
guru agama dan para muballigh – dari daerah masing-masing di Priangan.
Rekruitmen anggota lasykar diambil dari para pemuda yang memiliki keberanian
untuk berperang, karena meskipun banyak para pemuda-pemuda yang berada pada
usia produktif saat itu, namun tidak semuanya memiliki hasrat dan keberanian
untuk sama-sama terlibat ke dalam kancah peperangan melawan penjajah (Suryana, wawancara tanggal 10 Juni 2015).
Rekruitmen anggota
Hizbullah sesuai dengan keputusan PB. Masyumi, harus melalui tes, yaitu
pengetahuan dan pengamalan agama Islam, dan kesehatan serta keterampilan fisik.
Angkatan pertama dapat lulus masuk Hizbullah Priangan sebanyak ± 25 pemuda,
yang terdiri dari berbagai daerah kabupaten, yaitu: Kabupaten Garut,
Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, juga Bandung. Sayang, untuk nama-nama peserta
yang mengikuti pelatihan kemiliteran di Cibarusa-Bekasi tidak dapat disebutkan,
dikarenakan data yang tidak memenuhi. Hanya saja berdasarkan hasil wawancara
dengan H. Machdar, ia menyebutkan dirinya bersama beberapa orang lainnya,
seperti Huseinsyah, Zainul Abidin, Ajengan
Icih, Kamran,
sebagai salah satu
orang yang mengikuti pelatihan tersebut mewakili daerah Priangan (Machdar, wawancara tanggal 13 Juni 2015).
Pada tanggal 28
Februari 1945 seluruh anggota Hizbullah Shuu
Priangan dikirim ke Cibarusa - Bekasi, untuk mengikuti latihan kemiliteran
bersama seluruh Badan Perjuangan Hizbullah se-Jawa dan Madura. Biaya
transportasi, perlengkapan dan pelatihan ditanggung oleh Pimpinan Masyumi
Daerah Priangan. Anggota Hizbullah yang mengikuti pelatihan di Cibarusa lebih
kurang 500 orang, ditempatkan di barak-barak bambu. Salah seorang pelatihnya
adalah KH. Mustafa Kamil dari Priangan. Latihan Perang Hizbullah ini dibuka
oleh pimpinan Jawa Gunseikan, pada
tanggal 28 Februari 1945, dan dihadiri oleh para tokoh Masyumi dan pembesar
militer Jepang (Machdar, wawancara
tanggal 13 Juni 2015).
Pelatihan perang
ini dilaksanakan selama 3 bulan. Bulan pertama diisi dengan latihan rohani
disertai latihan dasar keprajuritan. Bulan kedua dengan latihan jasmani. Lalu,
bulan ketiga memperkuat latihan rohani dan jasmani. Maksud pembagian waktu
seperti ini, diharapkan pada bulan-bulan pertama latihan anggota-anggota yang
berasal dari beberapa daerah se-Jawa dan Madura itu, memiliki semangat
persatuan yang sebulat-bulatnya, di samping memperkuat ketauhidannya.
Seluruh tahapan
latihan baik rohani maupun jasmani adalah dilakukan untuk menuntut kebulatan
semangat perjuangan dengan latar semangat keagamaan, keprajuritan, dan cinta
tanah air. Dalam Soera Moslimin, No. 23 dan 24. 15 Desember 1944, disebutkan
macamnya latihan rohani yaitu:
1)
Mempertebal
semangat ke-Islam-an, seperti tauhid dan hukum-hukum agama Islam;
2)
Mendidik
semangat Dai Nipon;
3)
Mempertinggi
akhlak agar secara sukarela mengerjakan berbagai macam kepentingan umum dan
mengerjakan ibadah-ibadah yang ditentukan;
4)
Mempertebal
dan membangkitkan semangat bekerja keras.
Sedangkan untuk latihan jasmani,
yaitu:
1)
Mencegah
serangan dari udara dan bahaya kebakaran, serta melindungi penduduk, juga
menangkap mata-mata musuh;
2)
Mengadakan
latihan mengerahkan tenaga pada waktu-waktu penting atau darurat;
3)
Latihan
keprajuritan semaksimal mungkin dan selengkap-lengkapnya.
Pada tanggal 20 Mei 1945 Pelatihan militer bagi
Lasykar Hizbullah di Cibarusa ditutup oleh Soomubutyoo
yang diwakili oleh P.T. Nomura
Kikakukatyco dan dihadiri oleh K.H. Wahid Hasyim mewakili
pimpinan Masyumi. Semua anggota Lasykar Hizbullah yang ikut pelatihan di
Cibarusa diwajibkan berikrar: (1) Menyerahkan dirinya secara bulat pada
Masyumi; (2) Harus mampu mendirikan Hizbullah di daerah tempat tinggalnya dan menunjuk
kepala atau pemimpin yang senantiasa berhubungan dengan pemimpin daerah atau
kantor Shuuchoo; dan (3) Tiap-tiap
anggota Hizbullah diharuskan menjalin kerjasama dengan madrasah-madrasah, pesantren-pesantren,
serta para pemuda Islam di daerahnya dalam rangka untuk mengulangi dan
menyiarkan hasil latihan yang telah diperolehnya; dan (4) tiap-tiap anggota
Hizbullah yang telah dilatih wajib menjaga dirinya dan kehormatannya sebagai
Tentara Allah (Soeara Moeslimin, No. 10. Mei 1945).
Sepulangnya latihan dari Cibarusa, di daerah Priangan
tetap diadakan pembinaan dan pelatihan kemiliteran. Pihak-pihak yang duduk
sebagai pelatih adalah para kyai-kyai dan ulama yang cukup dan cakap dalam
keagamaannya. Latihan pematangan ini biasanya dilakukan di pesantren-pesantren,
seperti di pondok kecil daerah Cikole Bandung Utara di bawah pimpinan Ajengan Icih (Suryana, wawancara tanggal
10 Juni 2015), di Pesantren daerah Cicukang Cigondewah di bawah Ajengan Aceng (Machdar, wawancara tanggal 13 Juni 2015),
Institut Suffah yang berada di daerah Malangbong–Garut di bawah pimpinan Ateng
Djaelani (Dengel, 2011: 56) dan di Pesantren Al-Falah Biru, Darussalam, Cipari
Garut. KH. Anwar Musaddad dan KH. Yusuf Taujiri pengasuh Pesantren Darussalam
dan Cipari pernah melatih sekitar 200 santrinya yang tergabung dalam Lasykar
Hizbullah dan menjadikan rumahnya sebagai dapur umum bagi lasykar tersebut
(Muhsin Z, 2015: 3).
Adapun materinya terdiri dari dua macam, sebagaimana latihan yang
diselenggarakan para pendahulunya. Ada latihan rohani dan latihan jasmani. Pada
latihan rohani dipelajari ilmu ”kanuragan” melalui olah pernapasan, sedangkan
jasmani (kemiliteran) Lasykar Hizbullah dilatih mulai teknik baris-berbaris,
teknik dasar kemiliteran, hingga menggunakan bambu runcing dan pentungan kayu
serta teknik penggunan senjata berat di medan pertempuran (Soeara Moeslimin
No. 6, 15 Maret 1945 ).
Kompisisi anggota
Lasykar Hizbullah pada tahun-tahun berikutnya mengalami perkembangan, Hal ini
dikarenakan eratnya hubungan kyai dan santri atau masyarakat pada umumnya di
pedesaan membuat kyai selaku elite masyarakat dengan mudah memobilisasi massa.
Alasan lainnya karena keanggotaan Hizbullah mendapatkan dukungan dari Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang merupakan “adik kandung-nya” dalam tubuh
Masyumi (Djiwa Islam, No. Setahun GPII, 1946-1948).
2.
Perang Melawan Belanda-Sekutu
Secara faktual, Peristiwa
Proklamasi yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 tidak menjamin Indonesia
menjadi negara merdeka. Belanda dan Sekutu yang telah berhasil mengalahkan
Jepang mencoba kembali masuk dan menduduki kembali Indonesia dengan memboncengi
NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Sontak,
kehadiran mereka di ‘hujani’ perlawanan-perlawanan dari rakyat Indonesia yang
terejawantahkan melalui berbagai macam perlawanan dari lasykar-lasykar
perjuangan. Harus diketahui bahwasannya pada situasi seperti ini
lasykar-lasyakar perjuangan keberadaannya bak jamur dimusim hujan. Mereka
mewarnai peperangan dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dengan
modal persenjataan seadanya.
Persenjataan yang
mereka gunakan umumnya berupa persenjataan tradisional yang mencitrakan
ke-Indonesiaan, seperti golok, keris, bambu runcing, juga yang lainnya. Namun
tidak secara keseluruhan bersenjatakan seperti itu, karena ditopang juga oleh
persenjataan modern berupa senapan api atau persenjataan modern lainnya, hasil
pelucutan dari tentara Jepang, meskipun jumlahnya sangat terbatas.
Pada akhir 1945 hingga 23 Maret
1946 terjadi serangkaian pertempuran antara pihak Indonesia dengan
Belanda-Sekutu yang diwakili oleh Inggris di Bandung. Peristiwa itu lazimnya disebut
Palagan Bandung atau “Bandung Lautan Api”. Kejadian ini bermula ketika pasukan
Inggris yang ditempatkan di Bandung di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn
mengeluarkan tuntutan untuk mengambil para tawanan Jepang yang pada saat itu di
tahan oleh badan-badan perjuangan bersama TNI-Divisi Siliwangi. Selain itu
mereka juga menuntut agar mereka menyerahkan Kota Bandung, 29 November 1945.
Permintaan tersebut mendapatkan penolakan dari lasykar-lasykar perjuangan –
tentu ada Lasykar Hizbullah di dalamnya – yang tergabung ke dalam Majelis
Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) dan TNI-Divisi Siliwangi sebagai tentara
Republik. Karenanya, pihak Inggris menganggap barisan lasykar perjuangan yang
ada di Bandung dan juga TNI-Divisi Siliwangi adalah kelompok pengacau, teroris
yang harus dikeluarkan dari Bandung (Suryanegara, 2010: 212).
Tidak ketinggalan Lasykar
Hizbullah – dengan tokohnya Kamran, Utarya, dan Sabilillah dengan tokohnya Isa
Anshari, Ajengan Toha, dan KH. Yusuf
Taujiri di sekitar Priangan – pun turut andil dalam peperangan ini bersama para
santri-santri yang berasal dari pesantren sekitar Bandung.
Di luar Bandung, bahkan terdapat
pula anggota Lasykar Hizbullah yang berasal dari pesantren-pesantren dari Garut
dan Tasikmalaya (Endan, wawancara
tanggal 8 Juni 2015) dan Lasykar Hizbullah di bawah pimpinan KH. Marzuki,
bersama anaknya KH. Abdurrohim Citangkolo dari Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar
Citangkolo Kota Banjar (Lubis, et al.,
2011: 43).
Lasykar Hizbullah dengan semangat
tinggi dan persenjataan alakadarnya melakukan perlawanan secara berani. Bahkan
keberaniannya itu melebihi anggota-anggota dari anggota badan perjuangan
lainnya. Misal saat pertempuran yang terjadi di Jl. Lengkong Besar berlangsung,
pernah ada dua orang anggota dari Lasykar Hizbullah dari Batalyon Huseinsyah
yang berani menyerbu pasukan Belanda-Sekutu hingga menaiki tank baja (pantser)
dari pasukan Gurkha, hanya dengan berbekal golok, pedang dan bambu runcing
(Endan, wawancara 8 Juni 2015).
Machdar (wawancara tanggal 13 Juni 2015) memaparkan, biasanya sebelum para santri yang tergabung ke dalam
Lasykar Hizbullah diterjunkan ke dalam medan pertempuran, mereka diharuskan
terlebih dahulu melakukan dzikir (wirid).
Hal itu dimaksudkan sebagai pembinaan mental agar lebih berani dan tangguh
dalam setiap kali melakukan pertempuran. Dalam proses wiridan, dimpimpin oleh seorang kyai atau orang yang ditunjuk oleh
kyai atas dasar kecakapan dan keluhuran tentang ilmu agama. Selain itu,
diberikan juga gemblengan atau ceramah-ceramah mengenai peperangan (jihad):
hukum perang melawan orang kuffur,
kedudukan orang yang gugur di medan tempur (syahid), dan hal-hal lainnya yang
sesuai dengan ke-Islam-an.
Lasykar Hizbullah didukung oleh
anggota yang paling banyak jumlahnya. Sayangnya, meskipun didukung dengan
keberanian yang maksimal serta keanggotaan yang banyak jumlahnya, kerapkali
kali dalam setiap pertempuran tidak disertai dengan perhitungan-perhitungan
kemiliteran secara matang. Akibatnya tidak sedikit dari mereka yang mati secara
sia-sia atau “mati konyol” (Suryana, wawancara
10 Juni 2015).
Sedang Tentara Republik yang
tergabung dalam Divisi Siiwangi pimpinan Kolonel Nasution, merupakan
satu-satunya kesatuan tentara yang memliki sruktur organisasi paling baik di
antara kesatuan-kesatuan yang ada. Namun Divisi Siliwangi tidak didukung oleh
kelengkapan persenjataan yang memadai dibanding kesatuan-kesatuan lainnya.
Minimnya persenjataan yang dimilki Divisi Siliwangi membuat mereka sulit untuk
dapat mempertahankan Bandung dari pendudukan Belanda-Sekutu.
Sebagai konsekuensi
kekalahannya itu, selanjutnya Lasykar Hizbullah dan lasykar rakyat lainnya
(MPPP) menarik mundur pasukannya meninggalkan Kota Bandung bersama-sama dengan
TNI-Divisi Siliwangi. Mereka mengungsi ke daerah-daerah di sekitar Bandung Selatan.
Di sana, lalu MPPP mendirikan markas baru di daerah Ciparay dan TNI-Divisi
Siliwangi bermarkas di daerah Cicalengka. Kemudian, keduanya pindah lebih jauh
lagi ke sebelah tenggara Bandung, dan membentuk markas besarnya di Garut (Van
Dijk, 1983: 69). Di Garut, selanjutnya MPPP membentuk Resimen Tentara
Perjuangan yang terdiri dari lima batalyon. Satu dari kelima batalyon itu
berasal dari Lasykar Hizbullah Huseinsyah.
Peranan Lasykar
Hizbullah-Sabilillah di Priangan semakin menampakan dirinya ketika tejadi
Agresi Militer Belanda (AMB) pertama
pada tanggal 20 Juli 1947. Akibat dari aksi “polisional” pertama ini
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi struktur militer dan administrasi
di sejumlah kota-kota di Jawa Barat, terutama Kota Bandung sebagai ibukota
Karesidenan Priangan, sekaligus ibukota Provinsi Jawa Barat. Meskipun beberapa
komponen masih bisa dipertahankan eksistensinya, namun kontrol pemerintah
Indonesia atas Jawa Barat menjadi berkurang. Maka dari itu, Lasykar Hizbullah
menyatakan perang suci kepada Pasukan Belanda.
Pada saat peristiwa ini
berlangsung, pihak Belanda mengerahkan kekuatan sebanyak dua divisi untuk
wilayah Jawa Barat dengan persenjataan yang lengkap dan modern. Tujuannya,
selain untuk memperluas wilayah pendudukan, juga ditujukan untuk menguasai
wilayah-wilayah yang memiliki potensi perekonomian tinggi seperti di wilayah
Priangan yang kaya dengan hasil-hasil perkebunannya.
Pasukan TNI dan Lasykar
Perjuangan tampak menanggung beban yang sangat berat menghadapi serangan-serangan
ini. Pasukan Belanda yang dipimpin
Kolonel “Tjantje” Meijer yang tergabung dalam Brigade V/Divisi B
(2)/Mayor Jenderal De Wall bergerak dari Bandung menuju ke arah timur Bandung;
Garut-Tasikmalaya-Ciamis, lalu ke Jawa Tengah. Sedangkan Pasukan Belanda dari
arah Jakarta menuju Bandung di hadapi oleh Brigade III TNI dengan bantuan dari
Batalyon Hizbullah pimpinan Mayor Taberani di sektor Padalarang. Situasi yang
kurang menguntungkan dan kalah dalam segi persenjataan membuat perlawanan TNI,
dan Hizbullah di wilayah ini dengan mudah dapat dikalahkan pasukan Belanda
(Disjarahdam IV Siliwangi, 1979: 104).
Front timur Bandung yang menuju
ke sekitar Garut juga mengalami hal serupa. Misalnya perlawanan dari Lasykar
Hizbullah pimpinan KH. Anwar Musaddad dan KH. Yusuf Taujiri yang bermarkas di
Pesantren Cipari. Pasukan Belanda berhasil menduduki Pesantren Cipari dan
menawan kedua tokoh tersebut. Keduanya ditahan setelah Lasykar Hizbullah yang
dipimpinnya melakukan aksi penyerangan terhadap pos-pos tentara Belanda di
Wanaraja. Mereka ditahan di Sukadana Garut. Namun, atas bantuan Bupati Garut,
Raden Padmanagara, mereka akhirnya dapat dibebaskan (Wildan, 2015: 5).
Di sektor
Malangbong, Lasykar Hizbullah-Sabilillah diorganisir oleh S.M. Kartosuwiryo. Karena alasan yang sama, kalah secara
persenjataan, Lasykar Hizbullah-Sablillah di sana dapat dikalahkan oleh Belanda
yang relatif dipersenjatai secara baik. Akhirnya Malangbong tidak luput dari pendudukan Belanda, hingga
Belanda berhasil membakar Institut Suffah yang dijadikan sebagai basis politik
dan militer asuhan Kartosuwiryo (Dengel, 2011: 61).
Satu hal yang harus diakui dari
Lasykar Hizbullah untuk wilayah Garut ini, mereka mampu memberikan perlawanan
yang cukup baik dan membuat pasukan Belanda kewalahan mengahadapinya, meskipun
kemenangan tidak berpihak kepadanya. Keberadaan TNI-Brigade Guntur menjadi
salah satu faktor sengitnya peperangan, selain juga diuntungkan karena posisi
geografis Garut yang berupa pegunungan. Kesatuan TNI-Brigade Guntur menjadi
partner dalam membangun pertahanan dengan Batalyon Hizbullah yang dikomandoi
oleh Mayor Utarya. Kesatuan batalyon Hizbullah ini oleh Nasution diakui cukup
solid karena, keanggotaannya tersebar di tiap-tiap desa di wilayah itu
(Bizawie, 2014: 313).
Berkat serbuan Blitzkrieg-nya yang langsung serentak
dan terarah secara kilat, Belanda berhasil menduduki wilayah-wilayah di
Priangan; Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Tetapi umumnya mereka hanya
berhasil merebut wilayah perkotaan saja. Di sisi lain, wilayah pedalaman secara
de facto masih dikuasai oleh TNI,
Lasykar Hizbullah, dan kesatuan badan-badan perjuangan lainnya (Bizawie, 2014:
313).
3.
Unifikasi: TNI dan TII
Di bawah
kepemimpinan Sudirman, TKR (sekarang; TNI) sebagai tentara negara selalu
ditekankan sebagai alat pertahanan negara – sebagaimana yang kita yakini selama
ini – bahwa tentara hanya memiliki satu kewajiban saja, yaitu mempertahankan
kedaulatan negara dari kekuasaan asing. Selain itu, ditekankan pula pentingnya
untuk menjalin kerjasama dengan badan-badan perjuangan.
Sepanjang tahun
1946, struktur komando masih belum teratur karena kesatuan masing-masing daerah
seringkali bertindak sendiri-sendiri. Pengaturan sistem komando masih dalam
taraf sosialisasi. Menyikapi keadaan seperti itu, lalu upaya peningkatan
profesionalisme dan reorganisasi tentara semakin ditingkatkan lagi oleh
pemerintah guna menghasilkan tentara yang professional dan efesien. Sebuah
langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai hal itu yaitu dengan membentuk
Panitia Besar untuk mereorganisasi ketentaraan dengan Letjen Oerip Soemohardjo
duduk sebagai ketuanya (Sundhaussen, 1986: 17). Tujuannya untuk penataan
kembali struktur komando dan pengaturan kesatuan-kesatuan tentara yang telah
ada.
Pada 23 Februari
1946 diselenggarakan reorganisasi tentara oleh pemerintah Indonesia yang
bertugas menentukan kebijakan-kebijakan persoalan pertahanan, organisasi
tentara, dan kedudukan lasykar-lasykar perjuangan. Berdasarkan kedudukan yang
dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan dinyatakan bahwa badan-badan perjuangan
diharuskan melebur menjadi satu ke dalam organisasi ketentaraan resmi, yaitu
TRI. Dalam waktu tiga bulan badan-badan perjuangan didisiplinkan dan dibina
untuk di militerisasi (Suryana, wawancara
tanggal 10 Juni 2015).
Kemudian sebagai
hasil realisasi peleburan antara organisasi tentara regular dengan badan-badan
perjuangan lainnya disepakati nama TNI sebagai nama lembaganya. Dengan begitu,
nama TRI diganti menjadi TNI (Sin Po, No. 882. 5 Oktober 1948).
Pada 3 Juni 1947
secara resmi TRI dan badan-badan perjuangan bergabung ke dalam satu wadah
tentara regular bernama TNI. Panglima Soedirman duduk sebagai Panglima Besar
TNI (Poesponegoro, dan Nugroho
Notosusanto, 1993: 147). Keputusan itu diperkuat dalam penetapan
Berita Negara No. 24 tahun 1947, yang berbunyi:
1.
Mulai
tanggal 3 Juni 1947 secara resmi disahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia
(TNI);
2.
Segenap
anggota angkatan perang dan segenap lascar-laskar bersenjata mulai saat ini
dimasukan ke dalam TNI; dan
3.
Pucuk
pimpinan TNI berada di bawah komando Panglima Besar TNI (Bizawie, 2014:
290-291).
Dalam konteks di
Priangan, anggota Lasykar Hizbullah menanggapinya dengan beragam keinginan dari
pemerintah itu. Ada yang setuju menanggapi secara positif, namun ada juga yang
menolak dan bersifat antagonistik. Meski di dalam internal Hizbullah Priangan
terjadi ketidaksolidan, umumnya mereka meresponnya secara positif. Satu di
antaranya adalah Lasykar Hizbullah dari Batalyon Huseinsyah dari Resimen
Tentara Perjuangan di bawah koordinasi MPPP pada tanggal 17 Mei 1947 bergabung
dengan TNI. Hasil dari unifikasi itu kemudian melahirkan kesatuan Resimen
Kesembilan Brigade Guntur yang menjadi Resimen kedua dalam Divisi Siliwangi
(Van Dijk, 1983: 70).
Kesediaan Lasykar
Hizbullah bergabung dengan TNI-Divisi Siliwangi itu bukan tanpa alasan.
Pertimbangannya lantaran Masyumi pada saat itu berposisi sebagai partai
pemerintah, dan Lasykar Hizbullah sebagai sayap kemiliteran Masyumi menyebabkan
Hizbullah bersifat akomodatif dengan pemerintah Republik Indonesia. Alasan
lainnya karena keterbatasan senjata yang dimiliki Lasykar Hizbullah, sehingga
membulatkan tekad mereka untuk menyatu dengan TNI.
Di Garut, terdapat
Lasykar Hizbullah dari Pesantren Al-Falah Biru di bawah pimpinan KH. Syaikhuna
Badruzzaman. Pada tahun 1948, KH. Syaikhuna Badruzzaman menyarankan kepada
anggotanya untuk bergabung dan melebur dengan TNI. Usulan itu mendapatkan
respon positif dari beberapa anggota Lasykar Hizbullah. Mereka di antaranya
adalah: Aos Sumandar, pangkat terakhir Kapten dengan Jabatan Danramil Wanaraja;
Oom Jailani, jabatan terakhir Letnan Polisi, Pengawal Presiden; Hamim Ahyar,
pangkat terakhir Letnan Dua; Enis Idris, pangkat terakhir Letnan Satu; dan
Abdul Galib, pangkat terakhir Sersan Mayor (Muhsin Z, 2011: 60).
Kesatuan-kesatuan
Hizbullah dalam TNI melebur ke dalam kesatuan setingkat brigade, resimen,
bataliyon, dan seksi pasukan dalam organisasi TNI. Dengan begitu, para perwira
dalam kesatuan Hizbullah yang menempati kedudukan di masing-masing jenjang
kesatuan berhak mengenakan jenjang kepangkatan sebagaimana yang diatur dan
berlaku dalam kesatuan TNI. Sebagai contoh, KH. Zainul Arifin (Pemimpin Besar
Hizbullah) mendapat pangkat Mayor Jenderal karena posisi atau jabatannya
sebagai Panglima Tinggi Hizbullah dan Huseinsyah dari Priangan berpangkat Mayor
karena membawahi kesatuan batalyon (Bizawie, 2014: 292-293).
Bersatunya
Hizbullah dengan TNI, berarti telah mengikuti garis komando dan alokasi
kesatuan sebagaimana yang dikehendaki oleh TNI. Ada beberapa perubahan setelah Hizbullah
melebur dengan TNI misalnya dari aspek hierarki organisasi dan jenjang
kepangkatan. Hizbullah menghilangkan kesatuan-kesatuan satu tingkat dari
sebelumnya. Satuan-satuan yang sebelumnya setingkat dengan divisi, turun satu
tingkat menjadi resimen, resimen turun satu tingkat menjadi batalyon, batalyon
menjadi kompi-kompi, kesatuan kompi menjadi pleton, dan kesatuan pleton turun
satu tingkat menjadi regu.
Penyesuaian berlaku
juga pada masalah kepangkatan dari para perwira yang membawahi kesatuan. Jika
sebelumnya berpangkat Letnan Kolonel karena membawahi resimen, maka diturunkan
satu tingkat menjadi Mayor membawahi batalyon, juga dari Mayor menjadi Kapten
membawahi kesatuan kompi, dan seterusnya (Endan, wawancara tanggal 8 Juni 2015).
Sedangkan bagi yang
menolak peleburan dengan TNI, dikarenakan ketidaksiapan mereka harus terikat
oleh sistem keprajuritan. Baginya perjuangan yang mereka lakukan hanya sebatas
untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setelahnya, mungkin mereka akan
kembali lagi ke rumahnya masing-masing dan melakukan kehidupan seperti sedia
kala. Umumnya mereka kembali bertani atau ke pesantren-pesantren (Endan, wawancara tanggal 8 Juni 2015).
Dengan melihat
uraian di atas, dapat disimpulkan, adanya instruksi pemerintah untuk diadakannya
peleburan Lasykar Hizbullah ini menuai polemik dalam sepanjang perjalannya dan
menjadikan kekuatan Lasykar Hizbullah terpecah menjadi dua bagian;
pro-pemerintah, dan kontra-pemerintah. Lasykar Hizbullah yang tergolong
kontra-pemerintah adalah Lasykar Hizbullah kelompok Kartosuwiryo di antaranya:
Kamran (ketua MPPP yang kelak menjadi panglima TII), Raden Oni Syahroni, Ateng
Djaelani, Zainal Abidin, dan lain-lain.
Dengel (2011:
85-86) menyebutkan, Utarya pernah menemui dan membujuk Kamran dan S.M. Kartosuwiro
agar mereka dan para pengikutnya bersedia untuk bergabung dengan TNI dan
bersama-sama berjuang melawan Belanda-sekutu. Namun usaha itu tidak membuahkan
hasil, sebaliknya Utarya pada saat itu mati terbunuh. Dengel tidak menyebutkan
alasan dan pelaku pembunuhan itu, tapi diperkirakan dilakukan oleh kelompok
Kartosuwiryo yang sebelumnya bersitegang akibat usaha dari Utarya tersebut dan
perbedaan faham dari keduanya.
Pernyataan Dengel
diamini oleh Van Dijk – yang merupakan peneliti tentang DI/TII juga. Van Dijk
menyebutkan peleburan Resimen Tentara Perjuangan ke dalam Divisi Siliwangi awalnya
dihalangi oleh Kamran, dengan melukiskan Kamran yang menjadi ketua MPPP ketika
itu, sangat berambisi untuk menjadi “Jenderal”. Namun usahanya itu sia-sia
dalam mencegah meleburnya Lasykar Hizbullah ke dalam TNI – Divisi Siliwangi
(Siliwangi, 1968: 184; Van Dijk, 1983: 70).
Keadaan itu
diperparah ketika disepakatinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 yang
mendorong anggota Lasykar Hizbullah di bawah Kartosuwiryo semakin menunjukan
sikap penentangannya terhadap pemerintah Republik Indonesia. Salah satu isi
kesepakatannya adalah pengosongan wilayah kekuasaan RI terhadap daerah yang
dikuasai oleh Belanda. Oleh karena itu, TNI-Divisi Siliwangi dan badan-badan
perjuangan lainnya harus melakukan “Hijrah” ke Jogjakarta. Pasukan Divisi
Siliwangi yang merupakan tentara regular di Jawa Barat harus mematuhi hasil
perjanjian yang telah disepakati. Pada bulan Februari 1948 sekitar 35.000
pasukan Divisi Siliwangi pergi meninggalkan Jawa Barat menuju Jogjakarta.
Sementara itu,
Lasykar Hizbullah (kontra-pemerintah) yang tersisa sekitar 4.000 personil
menolak untuk ber-hijrah. Mereka menganggap pemerintah Republik telah menjual
Jawa Barat kepada Belanda. Itulah sebabnya, S.M. Kartosuwiryo – yang pada waktu
itu menjadi Pengurus Masyumi daerah Jawa Barat – memilih tetap berada di Jawa
Barat (tidak melakukan hijrah) untuk melakukan perang gerilya dengan tentara
Belanda (Kahin, 1970: 234; Lubis, et.al.,
2013: 330).
Lebih jauh lagi Lasykar Hizbullah kelompok Kartosuwiryo
memiliki perbedaan secara garis ideologi, karena sebetulnya benih-benih untuk
menegakan Khilafah Islamiyah yang
diserukan Kartosuwiryo dan pengikutnya sudah tampak sebelum Indonesia merdeka,
yaitu pada tahun 1939-an ketika PSII melakukan politik “hijrah” dengan
pemerintah militer Jepang.
Selama Jawa Barat
dikosongkan dari kekuatan TNI-Divisi Siliwangi, S.M. Kartosuwirjo bersama
Lasykar Hizbullah-nya terus melakukan pertempuran gerilya melawan Belanda,
seraya melakukan konsolidasi untuk mendirikan Negara Islam di Jawa Barat.
Pada tanggal 10-11
Februari 1948 diadakan suatu konferensi di Pangwedusan Cisayong-Tasikmalaya.
Dalam konferensi ini hadir 160 dari beberapa perwakilan organisasi Islam di
Jawa Barat yang pro-Kartosuwiryo, antara
lain: dari Dahlan Lukman sebagai ketua GPII dan Siti Murtaji’ah ketua GPII
putri; Sanusi Pratawidjaja ketua Masyumi darah Priangan; Kamran sebagai
Komandan Teritorial Hizbullah; Abdullah Ridwan ketua Hizbullah Priangan dan
Raden Oni Syahroni Panglima Sabilillah Priangan; sebagai ketua Masyumi cabang
Garut hadir Saefullah (Dengel, 2011: 65).
Dalam konferensi
ini beberapa perwakilan organisasi Islam tersebut mengusulkan pendapatnya,
antara lain: Kamran wakil dari Lasykar Hizbullah, menuntut agar pemerintah
Indonesia membatalkan Pejanjian Renville dengan pihak Belanda. Apabila
Indonesia tidak sanggup membatalkan hasil Perjanjian Renville, menurutnya lebih
baik negara ini dibubarkan saja dan membentuk pemerintahan dengan corak baru,
yakni Islam; lalu Affandi Ridwan dari GPII menyuarakan kepada pemerintah RI di
Jogjakarta agar pemerintah Indonesia menyerahkan Jawa Barat kepada umat Islam –
yang diwakili oleh mereka yang tetap tinggal dan tidak melaksanakan politik
hijrah-nya ke Jogjakarta (DI/TII) (Dengel, 2011: 66).
Keputusan
terpenting lainnya dalam konferensi itu
adalah membekukan Masyumi wilayah Jawa Barat. Kartosuwiryo menilai, sudah
saatnya Islam dijadikan sebagai haluan bernegara, bukan sebagai landasan
organisasi. Pembekuan Masyumi semakin dipertegas dengan dibentuknya Madjlis Islam (MI) yang dipimpin
oleh Kartosuwiryo sendiri selaku Imam. Terakhir, adalah pembentukan Tentara
Islam Indonesia (TII) yang diambil dari Lasykar Hizbullah, GPII, serta
organisasi Islam lainnya yang se-ideologi dengan Kartosuwiryo. Peleburan
Lasykar Hizbullah ke dalam TII, berarti dimulainya diperkenalkan istilah
Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai benteng utama Darul Islam (DI) atau
Negara Islam Indonesia (NII) ciptaan Kartosuwiryo dan berakhirnya penamaan
Lasykar Hizbullah di Priangan.
D.
Penutup
Secara hirarki,
Lasykar Hizbullah merupakan organisasi kepemudaan yang berada di bawah naungan
Masyumi. Lasykar Hizbullah merupakan sebuah organisasi kemiliteran pemuda Islam
yang memiliki skala nasional, berarti tersebar di tiap-tiap daerah di
Indonesia, bukan organisasi yang berada di suatu daerah tertentu.
Mulanya Lasykar
Hizbullah dibentuk oleh Jepang di akhir kependudukannya di Indonesia guna
menjadi korps cadangan Peta. Meski demikian, Lasykar Hizbullah tidak
“ber-taklid” terhadap pemerintahan Jepang. Sebaliknya, kerapkali mereka berbalik
memberikan perlawanan-perlawanan terhadap Jepang. Hal tersebut dapat dibuktikan
ketika memasuki masa revolusi fisik di Indonesia. Lasykar Hizbullah bersama
lasykar-lasykar perjuangan lainnya bertempur melawan Jepang untuk merampas atau
melucuti senjatanya yang kelak akan dijadikan bahan logistik dalam menghadapi
Belanda-sekutu. Peristiwa pendudukan Hotel Malayu adalah salah satu bukti
perlawanan Lasykar Hizbullah dari Pesantren Al-Falah Biru Garut melawan
pemerintah militer Jepang. Perjuangan yang ditorehkan Lasykar Hizbullah untuk
Ibu Pertiwi ini semakin tampak lagi ketika menentang kehadiran Sekutu yang
membonceng Belanda-NICA. Ia tak pernah absen dalam melakukan
perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Belanda, di mana pusat kekuasaan
Belanda ada, Lasykar Hizbullah hadir untuk menghancurkannya bersama-sama
BKR/TKR/TNI atau lasykar-lasykar perjuangan yang lain. Misalnya, terlibat dalam
Agresi Militer pertama, menentang keputusan Renville, dan peristiwa-peristiwa
kecil lainnya yang dilakukan lasykar tersebut secara sendiri-sendiri.
Pada perjalanannya,
Lasykar Hizbullah terpecah menjadi dua golongan, golongan pro-pemerintah, dan
kontra-pemerintah. Adapun sumber perpecahan itu bermula ketika diterapkannya
fusi dengan TNI. Kedua ketika menyikapi hasil Perjanjian Renville. Lebih jauh
lagi sesungguhnya perpecahan itu terdorong karena adanya perbedaan ideologis
atau garis perjuangan negara. Kelompok Hizbullah yang kontra-pemerintah Republik
ini selanjutnya menjelma dan melebur menjadi sumber kekuatan utama Tentara
Islam Indonesia (TII) yang memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII) di bawah Imam Kartosuwiryo.
Daftar
Sumber
Surat Kabar
Asia Raya. No. 11. 12
Januari 1945.
Djiwa Islam. No. Setahun GPII. 1946-1948.
Sin Po.
No. 882. 5 Oktober 1948.
Soeara
Moeslimin. No. 23, No. 24. 15 Desember 1944.
-------.
No. 2. 15 Januari 1945.
-------.No. 6. 15 Maret
1945.
-------.
No. 10. Mei 1945.
Buku dan Makalah
Bizawie,
Zainul Milal. 2014.
Laskar Ulama-Santri dan
Resolusi Jihad: Garda Menegakan Indonesia 1945-1949. Jakarta:
Pustaka Compass.
Dengel,
Holk. H. 1995.
Darul
Islam-NII dan Kartosuwiryo: Angan-angan yang Gagal. Jakarta: PT. Pustaka Sinar
Harapan.
van Dijk,
Cornelis 1983.
Darul Islam: Sebuah
Pemberontakan.
Jakarta: Grafiti Pers.
Disjarahdam VI/Siliwangi. 1979.
Siliwangi
dari Masa ke Masa: Cetakan kedua. Bandung: Angkasa.
Gottschalk, Louis. 1985.
Mengerti
Sejarah.Terj.
Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press.
Herlina,
Nina. 2011.
Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Lubis, et.al., 2011.
Sejarah
Perkembangan Islam di Jawa Barat. Bandung:
Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
-------,
et.al., 2013.
Sejarah Provinsi
Jawa Bara Jilid
2. Bandung: Yayasan Masyarakat
Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
Sundhaussen,
Ulf. 1986.
Politik Militer Indonesia
1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI.
Jakarta: LP3S.
Muhsin, Mumuh Z. 2011.
Perjuangan K.H. Syaikhuna
Badruzzaman dalam Merebut, Mempertahankan, dan Mengisi Kemerdekaan (1900 – 1972). Jatinangor: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Unpad. [E-Book].
Poesponegoro,
M. D. dan Nugroho Notosusanto. 1993.
Sejarah Nasional Indonesia
VI: Cetakan Kedelapan.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ritzer, George
dan Douglas J. Goodman. 2011.Teori
Sosiologi Modern: Edisi
ke-6. Jakarta: Kencana
Soekanto,
Soerjono. 1982.
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Suryanegara,
Ahmad Mansyur. 2010.
Api Sejarah 2. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Wildan,
Dadan. 2015.
Prof.
KH. Anwar Musaddad: Ulama Multikultural, Akademisi Paripurna, dan Politisi
Moderat.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pengusulan KH. Anwar Musaddad sebagai
Pahlawan Nasional.
Sumber
Lisan
Endan,
Tatang (85 tahun). 2015.
Saksi Sejarah/Eks-Lasykar Pemuda Republik
Indonesia. Wawancara, Bandung, 8 Juni
2015.
Machdar,
Moehammad. (87 tahun). 2015.
Eks-Lasykar
Hizbullah. Wawancara, Bandung, 13
Juni 2015.
Suryana,
Nana. (92 tahun). 2015.
Eks-Lasykar Hizbullah. Wawancara, Bandung, 10 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar