Rabu, 25 Januari 2017

Penanaman Nilai-Nilai Kepahlawanan Melalui Pembelajaran Sejarah (Wajib) Indonesia


Oleh: Galun EKa Gemini dan Hani Fitriani
Diterbitkan pada Jurnal Sinau, Vol. 1 No. 2 Januari 2017

ABSTRAK
Moral remaja dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan kualitas (degradasi moral), baik dari: tutur kata, gaya hidup (live style), cara berpakaian dan sebagainya. Banyak para remaja yang seharusnya berfungsi sebagai tiang bangsa kini sudah mulai melupakan pentingnya moral, etika dan tata laku yang seharusnya mereka jaga dan aktualisasikan ke dalam pelbagai sendi kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara. Fenomena terkikisnya nilai, moral atau sikap nasionalisme peserta didik pada abad ke-21 sekarang ini menjadi latar belakang yang diambil. Salah satu wahana untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlunya pendidikan nilai atau pendidikan karakter yang menitikberatkan kepada nilai-nilai kepahlawanan dalam pembelajaran sejarah Indonesia sebagai solusinya (problem solving). Melalui pembelajaran sejarah kita dapat memahami akar sejarah (historical roots) masyarakat, bangsa, dan negara secara utuh. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan pikiran-pikiran penulis tentang pemahaman nilai-nilai kepahlawanan melalui pembelajaran sejarah Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Adapun teknik penelitian dengan menggunakan studi literatur dari berbagai buku, jurnal, proceeding, artikel dan tulisan ilmiah lainnya yang sesuai dengan kajian ini.
Kata Kunci: Nilai kepahlawanan, belajar, sejarah.

A.       PENGANTAR
Sejarah memuat fungsi edukatif dan inspiratif, di samping fungsi rekratif dan imajinatif. Dari segi edukatif, hakekat belajar sejarah akan membentuk manusia yang berkepribadian dan beradab. Belajar dari sejarah pula manusia dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Uraian barusan telah menunjukkan begitu vitalnya kegunaan sejarah dalam membentuk kepribadian dan peradaban manusia atau bangsa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan: Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) !; Historia Magistra Vitae, sejarah adalah guru yang paling baik dan abadi; dan sejarah adalah obor kehidupan. Dengan kata lain, kajian sejarah akan masa lampau itu bukan semata-mata untuk kepentingan masa lampau itu sendiri karena sudah tidak ada lagi manfaatnya. Kejadian-kejadian masa lampau itu baru benar-benar mempunyai manfaat untuk dikaji jika dapat memberikan hikmah berupa “pelajaran” kepada manusia yang masih hidup sekarang (present) dan pada masa yang akan datang (future).
Masa kini adalah kesinambungan dari masa lalu dan masa depan adalah kesinambungan dari masa sekarang atau saat ini (continuity). Itulah sebabnya mempelajari perisiwa-peristiwa sejarah akan selalu terkait dengan waktu (time) yang terus bergerak dari masa sebelumnya ke masa-masa berikutnya serta melahirkan peristwa-peristiwa yang baru yang saling terkait sehingga perjalanan sejarah tidak pernah berhenti (stagnan). Oleh karena itu, sejarah sebagai sumber belajar dan sumber informasi sangat dibutuhkan keberadaannya oleh khalayak terutama oleh peserta didik (usia remaja) sebagai agent of change–apalagi saat ini tengah berada di alam globalisasi yang berpengaruh terhadap menurunnya adab, etika, budaya ketimuran dan moralitas manusia Indonesia.
Susrianto (2012: 34) mengatakan derasnya arus globalisasi disertai dengan berkembangnya seperangkat alat dan teknologi yang modern telah memantik dan menjadikan seseorang mengalami disorientasi. Di samping itu, telah melahirkan pula nilai-nilai baru yang berpengaruh terhadap cara hidup bangsa Indonesia khususnya dikalangan remaja. Remaja sebagai generasi bangsa melupakan nilai-nilai kebudayaan bangsanya sendiri. Terkadang ada beberapa nilai yang sebelumnya dianggap baik dan layak, sekarang nilai-nilai tersebut dianggap tidak layak alias usang untuk diterapkan.
Memang tak bisa dipungkiri, sepakat tidak sepakat, itulah konsekuensi logis dari derasnya globalisasi yang masuk ke dalam negara kita. Darmawan dan Momon (2011: 1) mengemukakan, dalam konteks globalisasi misalnya, belajar dan menguasasi bahasa asing adalah suatu peluang bagi seseorang untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas dirinya. Namun fenomena yang terjadi pada generasi muda saat ini, mempelajari bahasa asing tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan kualitas dirinya, melainkan lebih cenderung kepada gengsi (trend). Begitu juga dengan sikap atau tata laku lainnya yang sekarang seringkali ditunjukkan oleh para remaja saat ini. Mereka seperti malu bila tetap mempertahankan dan menggunakan nilai, etika, norma, atau kebiasaan yang menjadi ciri bangsa timur dalam kesehariannya karena takut dibilang “kampungan” dan sebagainya.  Jelas, kondisi itu sangat mengkhawatirkan dan tidak menutupkemungkinan ke depannya akan menjadi sumber ancaman bagi kedaulatan republik ini bila tetap dibiarkan.
Sehubungan dengan itu, maka tidaklah heran bila gaung pendidikan karakter, nilai, moral–berbasiskan kearifan lokal saat ini sedang ramai dan banyak diperbincangkan, terutama oleh para praktisi, pakar, dalam lingkup mimbar akademik. Kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter setidaknya telah merubah pandangan mengenai konsep pendidikan Indonesia secara umum. Kecenderungan pendidikan yang memprioritaskan terhadap pengembangan intelektual berarti mulai diimbangi dengan kesadaran perlunya pendidikan karakter atau nilai sebagai pondasi kepribadian seseorang.
Dari itulah penulis–sekali lagi–menyebut pembelajaran sejarah memuat manfaat praktis yang sangat besar dalam melaksanakan pendidikan nilai ini–karena, sesungguhnya, sejarah merupakan sumber yang kaya akan nilai. Dalam materi sejarah diajarkan peristiwa-peristiwa yang mengandung nilai kemenangan, kekalahan, keberhasilan, kegagalan, keteladan, bahkan kejahatan sekalipun. Wiriaatmadja (2014: 8) menuturkan bahwa sejarah mengajarkan berbagai peristiwa-peristiwa manusia di masa lampau yang kaya dengan penampilan yang heroik dan pengumpulan batin para pelakunya yang menampilkan kemenangan etika dan mengalahkan kecenderungan ke arah kehancuran atau kebobrokan moral. Selain itu, tokoh-tokoh sejarah yang banyak berjasa dan berprestasi menjadi inspirasi sumber nilai keteladanan yang patut dijadikan teladan bagi para peserta didik selaku generasi penerus bangsa.
Nilai-nilai kepahlawanan tersebut, dalam pembelajaran sejarah memang mutlak diperlukan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Tetapi, pada kenyataannya, nilai-nilai kepahlawan seringkali jarang kita temukan di dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini. Sebaliknya, generasi muda saat ini kerapkali disuguhkan dengan berbagai konflik berkepanjangan, keserakahan, primordialisme, penindasan; munculnya kaum superior dan inperior.
Untuk diketahui, di dalam penelitian ini sengaja penulis tidak menyertai objek spasial dan jenjang sekolah sebagai batasan penelitian ini karena sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dari SD sampai dengan SMA menerima mata pelajaran sejarah. Sebetulnya tulisan ini lebih merupakan pokok-pokok pikiran yang dideduksi dari kajian atas bacaan-bacaan yang dipadukan berdasarkan hasil perkuliahan penulis selama ini daripada kajian induktif hasil penelitian lapangan.

B.       METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskripsi. Adapun teknik penelitian menggunakan studi literatur atas sumber-sumber yang telah dihimpun dari buku, jurnal, proceeding, dan karya tulis lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai kepahlawanan dalam pembelajaran sejarah.

C.       HASIL DAN PEMBAHASAN
1.        Pendidikan Nilai
Berbicara mengenai nilai maka di sini kita akan membicarkan pula istilah baik dan buruk. Munculnya istilah ”baik” dan “buruk” tersebut menyebabkan munculnya beberapa pendapat tentang “nilai” yang kebenarannya bersifat relatif sehingga memunculkan pula ragam pendapat. Karenanya, antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya tidaklah sama. Berkenaan dengan definisi nilai, terlebih dahulu mari kita simak pendapat Baier (Mulyana, 2004: 8) yang menyebut nilai seringkali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Misalnya Kupperman menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Mulyana, 2004: 9). Horton dan Hunt (1999: 71) menafsirkan nilai: pertama, sebagai gagasan mengenai apakah sebuah pengalaman itu berarti atau tidak berarti; kedua, nilai mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan.
Adapun, Rokeach (Wiriaatmadja, 2015: 3) menyatakan nilai adalah suatu kepercayaan yang lestari bahwa suatu bentuk prilaku (seperti jujur, berani, kasih sayang, menurut, dll) diharapkan baik secara pribadi maupun secara umum.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah harga yang disematkan oleh seseorang atau sekelompok orang maupun masyarakat terhadap sesuatu yang dibawakan atau menjadi jati diri manusia. Nilai tersebut lahir berdasarkan hasil konsesus dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat sebagai sang “pembuat” nilai tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Berharganya suatu nilai tersebut sehingga keberadaannya selalu dilindungi dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke genarasi selanjutnya. Salah satu alat untuk mewariskan nilai tersebut yaitu melalui pendidikan, dalam konteks ini yang dimaksud adalah pendidikan karakter/nilai.
Pendidikan nilai ini digunakan sebagai  proses  untuk  membentuk siswa dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis, sehingga  siswa dimungkinkan dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir serta perasaannya. Soelaeman (1987: 14) berpendapat: pendidikan nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik. Pendidikan nilai juga mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten (Mulyana, 2004: 11).
Kemudian, Kohlberg menjelaskan bahwa pendidikan nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective component & experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan atau transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral control) (Djahiri, 1992: 27).
Dengan demikian, pendidikan nilai bertujuan untuk pembentukan karakter atau akhlak dengan materi yang menyangkut moralitas, nilai-nilai (values), memerlukan metode dan strategi khusus. Pembelajaran berarti proses internalisasi  (pembatinan) dan konsientisasi (penyadaran) nilai-nilai sehingga tidak cukup hanya "mengetahui", melainkan lebih penting merasakan dan mengalami. Jadi alangkah baiknya pendidikan nilai sudah di mulai sejak usia dini yang bersumber dari lingkungan sosial masyarakat (Wiriaatmadja, 2015: 19). Sebut saja, mulai dari lingkungan keluarga. Keluarga sebagai lingkungan sosial (lembaga pendidikan pranatal) pertama dan utama dalam pembentukan sikap dan kepribadian seseorang harus sudah mampu memperkenalkan nilai-nilai kepahlawan atau nasionalisme. Wujud kongritnya misalkan pada saat sedang berkumpul bersama anak-anak, orang tua bercerita tentang keunikan dan kearifan kebudayaan lokal asal daerah mereka sehingga bisa timbul rasa cinta terhadap budaya lokal sejak usia dini. Selain itu, anak-anak bisa di ajak oleh orangtuanya bertamasya ke tempat-tempat bersejarah atau ke museum-museum. Sebab dengan megajak anak-anak berkunjung ke tempat atau situs-situs bersejarah tidak hanya untuk kesan kesenangan saja, tetapi juga mengandung nilai-nilai pembelajaran.
Berbeda dengan lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan sekolah didasarkan pada metode, teknik dan strategi pembelajaran, juga kepada media yang guru gunakan untuk dapat memperkaya kompetensi yang sudah ada dalam diri peserta didik. Dalam lingkup pendidikan, guru memiliki peranan penting dalam pembentukan peserta didik, karena gurulah yang berkomunikasi langsung sekaligus menjadi referensi bagi peserta didik. Oleh karena itu, kualitas guru (kemampuan mengajar, keluasan wawasan, penggunaan pengetahuan teoretis da praktis) sangat mempengaruhi sikap dan cara pandang peserta didik (Wati, 2012: 49).

2.        Nilai-Nilai Kepahlawanan
Istilah kepahlawanan berasal dari kata pahlawan, yang diberi awalan “ke” dan akhiran “an”. Secara etimologi kata pahlawan berasal dari bahasa sansekerta “phala” dan  “wan “ yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas dan bermanfaat bagi bangsa, negara, dan agama. Jadi boleh dikatakan bahwa pahlawan merujuk kepada seseorang atau orang yang di dalam kehidupannya memberikan manfaat dan kontribusi bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sudah barang tentu, sosok pahlawan adalah orang yang memiliki jiwa kesalehan sosial tinggi karena berani berkorban, tidak egois, tanggung jawab, jujur, peduli terhadap orang lain dan nilai-nilai positif lainnya.
Dalam pemahaman di masyarakat, istilah pahlawan acapkali disematkan hanya kepada orang-orang yang melakukan perjuangan secara fisik (perang) saja. Itu adalah sebuah kekeliruan pemahaman yang perlu diluruskan di masyarakat. Oleh karena itu, sebelum dibahas lebih jauh mengenai nilai-nilai kepahlawanan, seyogyanya kita simak dulu mengenai pengertian pahlawanan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2009, sebagai berikut: “pahlawan adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajah di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia”.
Mencermati dari uraian di atas, bisa disebutkan pula bahwa penyematan gelar pahlawan lazimnya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia. Artinya, seseorang yang masih hidup meskipun ia memiliki jiwa kepahlawanan dan telah memberikan kontribusi yang besar dalam upaya mendukung pembangunan dan kemajuan negara, tetap ia tidak bisa dianugrahi gelar pahlawan secara formil dari pemerintah (presiden) yang diatur berdasarkan perundang-undangan (hukum positif).
Berkenaan dengan ini, Sidney Hook dalam bukunya yang berjudul “The Hero History”, menjelaskan bahwa konsepsi pahlawan (Hook, 1963: 67) ialah :
The hero in history is the individual to prefoundly different if he had deternining an issue or event whose consequences would have been profoundly between if had not acted as he did .... this bring us to the key distinction. The distinction between the hero as the eventful man in history and the hero as the event-making man in history.
Karakteristik pahlawan dalam sejarah dapat dibagi menjadi dua, yaitu the eventful man dan the even making man. The eventful man adalah seseorang yang tindakan-tindakannya berpengaruh penting dalam sebuah peristiwa penting dalam sejarah. Karakteristik pahlawan dalam kategori ini biasaynya muncul karena kedudukannya yang penting dan dibutuhkan dalam peristiwa sejarah tersebut. Sedangkan the even making man adalah seseorang karena kapasitas kecerdasan, kemauan, dan karakternya berhasil memberikan perubahan-perubahan penting dalam perjalanan sejarah tertentu. Contoh: sosok Soekarno karena dengan kecerdasannya, kepeloporannya dan kepemimpinannya (solidarity maker) dapat menghantarkan Indonesia mencapai kemerdekaannya. Atas hal tersebut maka Soekarno termasuk “the eventful Man” juga termasuk “the Event Making Man” (Wiriaatmadja, 2015: 11).
Selanjutnya George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) mencoba menjelaskan pahlawan adalah produk dari kondisi kemakmuran, sosial, biologis terutama jiwa zaman (zeitgeist) atau spirit budaya. Hal ini karena :
1.      Tidak ada pahlawan yang membentuk sejarahnya sendiri. Ia menjadi pahlawan tergantung waktu ia hidup dan kebudayannya dalam relasi dengan measyarakat;
2.      Makna dan tindakan sang pahlawan dapat dimengerti dalam trend sejarah, yang dimulai pada masa silam, untuk objektif di masa sekarang, dan mempunyai prospek di masa yang akan datang;
3.      Kehadiran pahlawan diterima, apabila budaya sudah siap untuk menerimanya. Ia harus berada pada waktu terjadi perubahan atau pekembangan sosial yang sedang terjadi;
4.      Karenanya, pahlawan adalah “ekspresi” atau ”lambang” atau “alat” dari sejarah atau perubahan sosial. Ia akan meneliti gelombang itu untuk memperoleh kemegahan dan kemasyuran;
5.      Bagi Hegel, setiap zaman memiliki pahlawannya sesuai dengan kebutuhannya. (what is deserver). Mereka adalah orang-orang yang berfikir dan memiliki wawasan tentang apa yang dibutuhkan untuk zamannya, apa yang sudah siap dan matang untuk perubahan (Wiriaatmadja, 2015: 10). 
Dari sekian penjelasan yang sudah dikemukakan barusan menyimpan pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan patriotisme. Lebih luas lagi, Hassan (2012) menyebut kepahlawanan bukan hanya memiliki kehidupan politik dan hanya dapat dilakukan dalam posisi politik. Kepahlawanan terjadi pada setiap dimensi kehidupan masyarakat. Kepahlawanan terjadi dalam lingkungan ekonomi, sosial, budaya, olah raga, kesenian, ilmu teknologi, keagamaan, transformasi, pertanian dan sebagainya. Dengan begitu, kepahlawanan berinti kebaktian kepada kemanusiaan, bangsa, dan negara. Jiwa kepahlawanan tidak mengenal ukuran besar atau kecil, melainkan diukur dari unsur keikhlasan dan kesungguhannya dalam berjuang–fisik dan non fisik–guna kemaslahatan umum.

3.        Membangun Nilai-Nilai Kepahlawanan dalam Pembelajaran Sejarah
Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, pembelajaran sejarah adalah materi yang mengkaji tentang kehidupan manusia di masa lalu dengan berbagai kegiatan kemasyarakatannya. Kata “masa lalu” bagi kebanyakan siswa (usia remaja)–ini yang mungkin menjadi salah satu alasan–bahwasannya pelajaran sejarah pembelajaran yang kurang banyak diminati. Mereka seringkali mempertanyakan: apa manfaat belajar sejarah ? Buat apa kita mempelajari tentang kehidupan di masa lampau, sedang kehidupan itu sudah berlalu dan tidaklah mungkin orang-orang yang hidup sekarang kembali ke kehidupan masa lampau itu.
Padahal peristiwa masa lampau begitu banyak menyimpan pelajaran yang berharga untuk dijadikan rujukan dalam menyikapi kehidupan di hari sekarang dank ke depan. Kartodirdjo (1988) mengutarakan dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Pendidikan dan pembelajaran sejarah merupakan proses internalisasi nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan kesejarahan dari serangkaian peristiwa yang dirancang dan disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar peserta didik.
Dalam kurikulum 2013, mata pelajaran sejarah di tingkat SMA di bagi menjadi dua, yakni mata pelajaran sejarah umum dan mata pelajaran sejarah wajib. Mata pelajaran sejarah wajib terfokus dan diorientasikan kepada sejarah ke-Indonesia-an. Tujuannya dalam rangka pembentukan karakter peserta didik yang memiliki wawasan ke-Indonesia-an, memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pembentukan kepribadian nasional beserta identitas dan jati diri tidak akan terwujud tanpa adanya pengembangan kesadaran sejarah sebagai sumber inspirasi dan aspirasi. Kepribadian nasional, identitas, dan jati diri berkembang melalui pengalaman kolektif bangsa, yaitu proses sejarah. Materi sejarah, sesuai dengan Permen Dikdas No. 22 Tahun 2006 dijelaskan:
1. Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;
2. Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
3.    Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
4.  Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
5. Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Khusus mengenai nilai-nilai kepahlawanan yang tercantum di atas, Hassan (2012) menguraikannya: Pada dasanya tokoh sejarah adalah pahlawan dan pemimpin bagi rakyat dan bangsanya. Pahlawan dan pemimpin itu mungkin melakukan sesuatu yang penuh dengan keberhasilan, tetapi juga mungkin melakukan sesuatu yang tingkat keberhasilannya tidak tinggi atau bahkan gagal. Pembelajaran sejarah dapat memberikan pemahaman mengenai seorang pahlawan dan pemimpin yang berhasil, kurang berhasil dan gagal. Berdasarkan kajian tersebut peserta didik yang belajar sejarah dapat memikirkan sesuatu yang lain dari apa yang sudah dilakukan para pahlawan dan pemimpin tersebut. Peserta didik dapat menjadi “pahlawan” dengan mempelajari apa yang terjadi di masyarakat atau bangsanya, mencari solusi, dan merencanakan tindakan tersebut berupa suatu konsep yang tertuang dalam bentuk tulisan, sehingga peserta didik dapat melakukan kajian mengenai konsekuensi dari sebuah peristiwa sejarah yang dibuat dalam bentuk “if history”.
Sejarah Indonesia merupakan studi atau kajian mengenai berbagai peristiwa yang terkait dengan asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat dan bangsa Indonesia pada masa lampau untuk menjadi pelajaran dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Sejarah Indonesia dapat juga dimaknai sebagai kajian tentang kemegahan/keunggulan dan nilai-nilai kejuangan bangsa Indonesia untuk ditransformasikan kepada generasi muda sehingga melahirkan generasi bangsa yang unggul dan penuh kearifan. Melalui materi sejarah peserta didik dapat mengenal jati dirinya dan nilai-nilai bangsa yang diperjuangkan pada masa lalu, yang dipertahankan dan disesuaikan untuk kehidupan masa kini dan dikembangkan dikehidupan saat ini dan akan datang. Nilai-nilai bangsa akan terlihat dalam nilai-nilai perjuangan, keberhasilan, kekalahan, dan keunggulan, semangat yang tidak pernah padam untuk memperjuangkan suatu kebenaran yang dilakukan para pelaku sejarah di masa lalu (Hasan, 2012: 8).
Misalnya ketika sedang membahas tentang tokoh-tokoh sejarah yang menjadi pahlawan-pahlawan bangsa sangat tepat untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Seperti perlawanan pada masa penjajahan yang dilancarkan oleh Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Sultan Ageng Tirtayasa, Hasanudin, Patimura, Imam Bojol dan lain-lain. Perjuangan meraih dan kemerdekaan seperti Soekarno. Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Yamin, dan masih banyak lainnya.  Tokoh-tokoh ini berjuang tanpa pamrih demi kebebasan tanah tumpah darahnya, demi membela rakyat yang menderita akibat kekejaman kaum penjajah. Harta, jiwa dan raga dipertaruhkan demi tegaknya harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa.
Lebih lanjut, untuk memahami nilai-nilai kepahlawanan tersebut guru dapat mengaktualisasikan dan menanamkan nilai-nilai yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan, kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab, patriotisme, masalah kepemimpinan dan keteladanan, yang telah dipertunjukkan oleh para pejuang dan pahlawan nasional kita. Dapat dibandingkan dengan nilai-nilai para pemimpin Indonesia pada masa sekarang yang cenderung mungkin kebalikannya dengan sikap dan tata laku para pemimpin bangsa Indonesia di masa lampau. 
 
4.        Proses identifikasi dan Internalisasi Nilai dalam Pembelajaran Sejarah
Hasan (2012: 34) menyatakan pembelajaran sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat tepat untuk dijadikan sebagai proses identifikasi dan internalisasi nilai kepahlawanan kepada peserta didik di sekolah-sekolah. Tetapi permasalahan di lapangan keberadaan mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah cenderung masih menjadi mata pelajaran yang tidak menarik dan membosankan. Bahkan cenderung dipandang  sebagai mata pelajaran yang tidak penting, “termarjinalkan”. Posisi mata pelajaran di sekolah dipandang sebagai mata pelajaran tambahan yang dapat dibelajarkan oleh siapa saja. Mengapa demikian? Salah satu sebabnya bisa ditebak karena pembelajaran sejarah dititikberatkan pada persoalan hafalan-hafalan dan kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, yang berada di tengah-tengah dinamika kehidupan  masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Hal ini termasuk mata ajar yang tidak terkait langsung dengan soal materi dan ekonomi. Akhirnya, pelajaran sejarah tidak begitu kurang diminati (Sardiman, 2012: 205).
Persoalan lain yang menjadi kendala kurang diminatinya pelajaran sejarah di sekolah-sekolah disebabkan juga oleh lemahnya penggunaan teori, miskinnya imajinasi, acuan buku teks pembelajaran, media yang digunakan, serta kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena globalisasi berikut latar belakang historisnya. Pembelajaran sejarah juga tidak disertai percikan imajinasi yang membuat tinjauan akan peristiwa masa lalu menjadi lebih hidup dan menarik. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadikan pembelajaran sejarah jauh dari kehidupan peserta didik.
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi suatu tantangan dan tugas besar bagi para guru mata pelajaran sejarah untuk menjadikan pelajaran sejarah sebagai mana dalam tujuannya, yaitu :
1.      Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
2.      Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya Bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
3.      Mengembangkan prilaku yang berdasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakteristik diri, masyarakat dan bangsa.
4.      Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking) melalui kajian fakta dan peristiwa sejarah secara benar.
5.      Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa di Kepuluan Indonesia di masa lampau.
6.      Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari Bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan bangsa (Kementerian Pendidikan Dasar Menengah dan kebudayaan, 2015: 15).
Untuk mencapai tujuan tersebut, guru sejarah dituntut untuk berinovasi dalam proses pembelajarannya, baik dalam penggunaan metode belajar, media pembelajaran maupun alat evaluasinya sehingga hal ini memicu minat dan aspirasi yang baik dari peserta didik dalam mengikuti pembelajaran sejarah.
Aspirasi yang baik ini menjadi menjadi landasan yang baik bagi identifikasi diri para peserta didik. Artinya, proses identifikasi harus terjadi melalui proses pengembangan pemahaman, penghayatan dan aprsiasi terhadap peristiwa sejarah untuk kemudian menjadi memori kolektif bangsa yang menjadi miliknya sendiri. Memori kolektif tersebut yang nantinya akan dikembangkan menjadi dasar bagi identifikasi dirinya sebagai anggota bangsa dan pemahaman terhadap jati diri bangsa (Hasan, 2012: 66).
Penyampaian materi sejarah alangkah baiknya guru menjelaskan dan menghubungkan materi sejarah dengan kehidupan peserta didik  di masa sekarang, Contextual Teaching and Learning (CTL). Nilai penting dari pendeketan atau model pembelajaran CTL ini adanya penekanan terhadap pemecahan masalah, penekanan pada isu aktual dan mengembangkan interdisiplin dan perbandingan.
Tentunya saat menyampaikan materi, seorang guru harus diimbangi dalam keahlian dalam menyampaikan materi yakni mengemas materi sejarah lebih menarik agar tidak kering, dengan demikian materi yang disampaikan dapat dipahami oleh peserta didiknya sekaligus terkesan bahwa proses pembelajaran sejarah tidak sekedar menjawab what to teach tetapi bagaimana proses pembelajaran itu dilangsungkan agar dapat menangkap dan memahami nilai serta mentransformasi pesan dibalik realitas sejarah kepada peserta didik.   
Guru sebagai fasilitator dan motivator peserta didik dapat menganjurkan kepada peserta didik lebih lanjut untuk menelaah biografi tokoh pejuang atau pahlawan tertentu, biografi Soekarno, biografi Moh. Hatta ataupun biorafi para pahlawan atau tokoh-tokoh yang lainnya. Setelah itu, peserta didik diharapkan menuangkan pendapatnya dalam bentuk artikel, menganalisis nilai-nilai tokoh sejarah yang sudah mereka baca dalam biografinya.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sudah diungkapkan sebelumnya, proses pembelajarannya diusahakan berpusat kepada peserta didik. Artinya peserta didik menjadi subjek bukan objek perhatian guru agar tidak kehilangan bingkai moral dan afeksi dari seluruh tujuan pengajaran yang telah ada. Karena tanpa bingkai moral, pengajaran sejarah yang terlalu mengedepankan aspek kognitif tidak akan banyak pengaruhnya dalam rangka memantapkan apa yang sering disebut sebagai jati diri kepribadian bangsa (Suprianto, 2013: t.hal.).

D.       PENUTUP
Proses globalisasi yang disertai dengan berkembangnya seperangkat alat dan teknologi yang modern telah memantik dan menjadikan seseorang mengalami disorientasi. Identitas dan jati diri sebagai bangsa timur tengah diambang kepunahan bila tetap dibiarkan. Untuk itu, perubahan sosial-budaya yang begitu kencang membutuhkan kepribadian yang kokoh sebagai penangkalnya.
Maka, kehadiran mata pelajaran sejarah, terutama mata pelajaran sejarah (wajib) Indonesia di sekolah-sekolah memiliki arti yang sangat penting sebagai wahana untuk mengatasi kekhawtiran tersebut. Melalui pembelajaran sejarah kita dapat memahami akar sejarah (historical roots) masyarakat, bangsa, dan negara secara utuh. Lebih rinci, dengan meneladani dan mengambil nilai-nilai kepahlawanan sehingga nilai-nilai tersebut dapat diidentifikasi dan diinternalisasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tentu saja hal ini sangat membutuhkan inovasi dan kreativitas guru, sehingga dalam proses pembelajarannya tidak sekedar menjawab what to teach tetapi bagaimana proses pembelajaran itu dilangsungkan agar dapat menangkap dan memahami nilai serta mentransformasi pesan dibalik realitas sejarah kepada peserta didik. Di samping itu, harus juga disiapkan guru-guru yang berwawasan nasional, karena bagaimana dapat menanamkan nasionalisme melalui penerapan nilai-nilai kepahlawanan jika gurunya sendiri tidak memiliki wawasan nasional kebangsaan.
Akhirul kata, sebagai penutup, penulis mengakhiri tulisan ini dengan mengutif sebuah falsafah luhur masyarakat Jawa-Sunda yang kandungan nilainya relevan dengan penelitian ini, berbunyi: Guru, ratu, wong atua, karo kadang tua. Wong tua gawe wiwitan, wong anom darma lakoni – yang berarti, kita harus menghormati guru, pemimpin dan orang tua. Sikap dan tata laku positif yang dilakukan oleh pemimpin dan orang tua sejak dulu (baca: pahlawan)  sangat layak dikembangkan menjadi nilai-nilai luhur dalam membangun politik dan peradaban bangsa dewasa ini. Di antaranya: nilai kejujuran, kebersamaan-gotong royong, tanggung jawab, saleh secara sosial, peduli terhadap orang lain, percaya diri, dan yang lebih penting adalah tetap bangga menjadi orang Indonesia. Bukan hanya mengaku sebagai orang Indonesia, tapi malu untuk mempertahankan, menjaga, mengamalkan tradisi atau warisan-warisan budaya Indonesia.

Sumber Buku
Budiyono, Kabul (2007). Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung : Alfabeta.
Djahiri, Kosasih A (1996). Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Moral dan Nilai. Bandung: Lab. Pengajaran PMP-IKIP Bandung.
Hasan, S. Hamid (2012). Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu dalam Ide Pembelajaran. Bandung: Rizki Perss.
Hook, Sidney. (1973). The Hero on History. Boston: Beacon Press.
Horton, Paul B. dan Hunt, Chester C. (1999). Sosiologi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Kamarga, Hansiswany dan Yani, K. (2012). Pendidikan Sejarah Untuk Manusia dan Kemanusiaan. Jakarta: Bee Media Perss.
Kementrian Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan. (2015). Materi Latihan Guru Implementasi Kurikulum 2013: SMA/SMK Mata Pelajaran Sejarah Indonesia.
Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Sardiman, A.M. (2012). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.
Soelaeman, Munandar M. (1987). Ilmu Budaya Dasar: Sebuah Pengantar. Bandung: Eresco.
Tim Penyusun KBBI. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Wiriaatmadja, Rochyati. (2014). Modul Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Sejarah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber Artikel, Jurnal, Proceeding.
Darmawan, Cecep dan Momon Sudama. (2011). “Pengembangan Nilai Nasonalisme dan Kesadaran Berkonstitusi di Madrasah”. Proceeding International Seminar. Bandung: UPI.
Kartodirdjo, Sartono. (1988). “Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional”. Artikel dalam Harian Kompas, 26 September 1988.
Schwatz, R.T; Staub, E.; Lavine, H. (1999). “On the Varieties of National Attachment: Constructive Patriotism”. Journal of Political Psychology.
Susrianto, Edi. (2012). “Peranan Pendidikan Sejarah dalam Membangun Karakter Bangsa”. Jurnal Lentera, Vol. 1, No. 5, Hal. 33-44.
Wati, Rinda. (2012). Kontribusi Lingkungan Sosial sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah terhadap Pembentukan Sikap Nasionalisme Peserta Didik”. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Vol. 20 No. 38, Hal. 46-58.

Sumber Internet
Suprianto, Heru (2013). “Penanaman Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Pembelajaran Sejarah”. [Online]. Tersedia: (http://www.m-edukasi.web.id/2013/05/penanaman-nilai-nilai-kebangsaan-dalam.html). [Diakses di Majalengka, 28 Oktober 2016].

Peraturan Perundang-undangan
Permendiknas RI, No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *