Oleh : Galun Eka Gemini
Selama ini sebagian besar masyarakat
memandang yang menyangkut persoalan status, kedudukan dan peran perempuan kerap
ter-subordinat di bawah kuasa laki-laki. Hal ini setidaknya didasarkan atas kenyataan
perbedaan alamiah, genetis maupun aspek biologis antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan yang memiliki kodrati organ
reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui, kemudian memiliki peran
gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik adalah hal yang alamiah. Namun
persoalannya adalah ketika peran gender perempuan dihargai jauh lebih rendah
daripada laki-laki yang pada perkembangannya melahirkan ketidakadilan,
pendiskriminasian terhadap kaum perempuan itu sendiri. Lebih jauh lagi, perbedaan
peran gender laki-laki atas perempuan acapkali dijadikan sebagai pembenaran
untuk ‘memper-sempit’ peran perempuan di hampir setiap bidang terkecuali hanya diperuntukkan
pada sektor domestik saja yang disederhanakan menjadi ‘tilu ur’: sumur, dapur, dan kasur. Sumur berarti tugas perempuan
adalah mencuci. Dapur berarti memasak dan kasur berarti melayani kebutuhan
biologis suami.
Ortner (Sekar, 2009: t.hal.) menyebutkan
ketertindasan perempuan, secara antropologis disebabkan oleh sebuah sistem
nilai yang diberikan makna tertentu secara kultural. Ortner menempatkan
ketertinggalan perempuan pada tataran ideologi dan simbol kebudayaan. Dalam budaya
universal, menurut Ortner merupakan manivestasi dari pemahaman antara budaya
dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi laki-laki dan perempuan pada
peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan memberikan pembedaan antara manusia
dan alam. Kebudayaan berupaya mengendalikan dan menguasai alam yang selanjutnya
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Oleh sebab itu kebudayaan berada pada
posisi superior dan alam di pihak inferior.
Dalam hubungannya laki-laki dengan
perempuan, maka perempuan akan diasosiasikan dengan alam dan laki-laki
diasosiasikan dengan kebudayaan. Konsep ini menurut Robbins (1997: 11) hampir
mirip dengan konsep orang Turki tentang perempuan, bahwa perempuan
diasosiasikan dengan tanah dan laki-laki diasosiasikan dengan benih (padi) sebagai
pemahaman atas reproduksi.
Memang pemahaman ini – secara objektif –
sebetulnya tidak berlaku di seluruh komunitas masyarakat karena ada juga
masyarakat yang ternyata menempatkan status dan kedudukan perempuan secara
terhormat jauh sebelum isu kesetaraan gender banyak digaungkan bahkan
penempatannya yang lebih tinggi dari kaum laki-laki. Kita sebut saja budaya
Sunda klasik (buhun) misalnya.
Jika kita membaca ulang sejarahnya, perempuan
Sunda mendapatkan tempat yang luhur.
Sebagai pembuktian kita sering mendengar ada ungkapan-ungkapan: indung tunggul rahayu, bapa tangkal kadarajatan. Artinya, ibu
adalah kunci keselamatan, pokok kesejahteraan, bapak adalah pembawa derajat
kehidupan. Maksud dari pengertian tersebut adalah tiada kebahagian, keselamatan
tanpa do’a seorang ibu. Hal ini diperkuat dengan ungkapan lain indung nu ngandung bapa nu ngayuga, nya munjung
lain ka gunung tapi ka indung, muja lain ka sagara tapi ka bapa. Makna
penting dari ungkapan ini tersirat tak akan ada anak tanpa seorang ibu dan
tentunya seorang bapa. Bila menyanjung hendaknya ke ibu, memuja hendaknya ke
bapak. Tetapi di sini kata ibu lebih didahulukan dibanding bapak.
Djaspudin (PR, 02/03/2009) menyatakan konsep
ungkapan-ungkapan Sunda di atas sejalan dengan nilai-nilai ke-Islam-an yang
diajarkan Sang Junjungan alam, Nabi Muhammad SAW. Dalam Islam juga disebutkan
bahwa surga berada ditelapak kaki ibu (bukan bapak). Bahkan sebagai bentuk
penghormatannya terhadap perempuan, nama ibu dilisankannya tiga kali baru bapak.
Demikian pula dalam budaya Sunda. Ini memperkuat pernyataan Sunda itu Islam dan
Islam itu Sunda. Sebab nilai-nilai Sunda yang diajarkan sejak dulu memuat juga
atau bernapaskan nilai-nilai ke-Islam-an yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW.
Sementara itu, sebagai pengejawantahan atas
status, kedudukan dan peran perempuan dalam budaya Sunda buhun dikenalnya nama Sunan Ambu dalam cerita pantun Lutung Kasarung. Sunan Ambu digambarkan sebagai
Dewa Wanita di kahyangan yang menjadi
simbol keagungan di Buana Agung. Sunan akronim dari susuhunan berarti kepala
dan dimaknai sebagai pemimpin atau orang yang sangat dihormati. Ambu padanan
dari kata indung (ibu).
Selain Sunan Ambu, dalam cerita pantun Lutung Kasarung, muncul juga nama Nhay Purbasari Ayu Wangi . Diceritakan
Ratu Purbasari adalah sosok perempuan Sunda yang cantik lahir-bathin. Kecantikannya
memikat dewata; Sang Guruminda, putra Sunan Ambu. Ratu Purbasari kemudian diangkat
menjadi penguasa di Kerajaan Pasir Batang menggantikan kedudukan ayahnya (Prabu
Tapak Agung). Ia dipilih sebagai ratu karena tatalakunya yang berbudi,
penyabar, peduli terhadap somah
(rakyat) berbeda dengan kakaknya Nhay
Purbararang yang ditokohkan memiliki watak antagonis.
Nama perempuan lainnya yang popular dalam pikiran kolektif
manusia Sunda adalah
Dayang Sumbi. Nama ini menjadi tokoh
sentral di dalam legenda Sangkuriang.
Diceritakan, ia hendak dipinang oleh anak kandungnya (Sangkuriang). Di sini
Dayang Sumbi mengajukan beberapa syarat-syarat perkawinan demi mempertankan
kehormatannya karena sebetulnya ia tak mau untuk ditikahi oleh anak kandungnya itu.
Sebab perkawinan tersebut melanggar pakem sosial-budaya ataupun keyakinannya.
Kisah
ini mencerminkan tentang pembenturan dua orang pribadi yang msing-masing yakin
akan kebenaran pribadinya. Levy-Strauss (Marlina, t.th: 8) berpendapat tentang
struktur dan transformasi yaitu “terjadinya perubahan (transformasi) dalam
struktur pada tataran permukaan” bahwa di sini laki-laki tidak dengan
sewenang-wenang menjalankan kehendaknya, terbentur pada keyakinan seorang
wanita yang tidak kalah kuatnya dengan
keyakinan seorang laki-laki. Jadi dalam
cerita ini disiratkan sudah ada kesejajaran dan kesetaraan antara laki-laki dan
wanita, untuk memiliki, mempertahankan prinsip masing-masing kedua pribadi
tersebut.
Bila tadi penulis menampilkan tentang
sosok imajiner, sekarang akan ditampilkan pula sederet tokoh perempuan Sunda
yang secara riil menggoreskan namanya dalam catatan sejarah di Tatar Sunda bahkan
juga di Indonesia.
Misal
saja pada periode Kerajaan Sunda, selama sejarah kerajaan di Sunda dikenal satu
orang ratu (raja wanita) bernama Nhay
Ambetkasih atau Rambutkasih – ada juga yang menyebut Ngambetkasih – dari Kerajaan
Sindangkasih (Majalengka). Pada masa sesudahnya dikenal satu orang pejabat
bupati yang diduduki wanita sebagai wakil anaknya, yaitu pejabat Bupati
Sumedang Dalem Istri Ratu Ningrat (Pertengahan Abad ke-18). Meski Dalem Istri
Ratu Ningrat dipilih menjadi pejabat bupati saat itu sebagai alternatif
terakhir dikarenakan tak ada lagi calon laki-laki yang ‘syah’.
Di
penghujung abad ke-19 muncul nama Rd. Dewi Sartika. mengenai kisah heroik Dewi
Sartika, saya kira siapa yang tak mengenal sosok perempuan Sunda satu ini?
perempuan tangguh ini dikenal sebagai perempuan mandiri, visioner dan pandai
serta peduli terhadap kaumnya. Kepeduliannya kala itu dilatari oleh
kesaksiannya atas ketertindasan perempuan dan hidup dalam kekangan
sosial-politik penjajah yang patriarki. Kenyataan itu menggugah hati Dewi
Sartika akan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Pendidikan dipandangnya
sebagai saluran mobilitas sosial yang efektif untuk meningkatkan harkat dan
martabat perempuan. Pergerakannya itu dimulai dengan mendirikan sakola istri pada 1904. Sebuah lembaga
pendidikan yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan semata tetapi juga keterampilan bagi
kaum perempuan. Dengan demikian, para perempuan kala itu bisa hidup sendiri
tanpa bergantung kepada suami.
Dari
beberapa kisah gemilang tentang perempuan Sunda yang sudah dipaparkan di atas, lantas
saya pun sedikit bertanya-tanya mengapa budaya patriarki pun begitu ‘kuat’
dalam benak masyarakat Sunda yang katanya egaliter ini ? Bahkan ada juga manusia
Sunda yang secara ‘ekstrem’ memandang rendah perempuan. Ya, memang tidak bisa juga
dipungkiri kenyataan itu masih agak mewarnai di alam pikiran urang Sunda hingga terdengar ‘fatsun’
budaya taraje nanggeuh, dulang tinande
(tangga bersandar, dulang siap menadah). Memuat makna perempuan harus selalu siap
menjalankan kewajiban dan tunduk pada suami.
Untuk
menjawab persoalan ini, mau tidak mau, kita juga harus membuka lorong sejarah
Sunda saat berada di bawah penetrasi Jawa-Mataram. Model ‘penjajahan’ Mataram
itu telah memberikan warna tersendiri dalam memupus pandangan budaya Sunda buhun terhadap perempuan. Keharusan
tunduk baik secara politik ataupun kultural kepada mataram selama ratusan tahun
(abad 17-18 M) disertai oleh terjadinya transformasi sosial, politik dan budaya
dari masyarakat egaliter menuju masyarakat feodal. Harus kita ketahui, bahwa
tradisi pada masyarakat feodal yang patriarki penempatan kuasa laki-laki lebih
mendominasi dibanding perempuan.
Kendati
demikian, yang harus dijelaskan juga di sini adalah penulis tidaklah bermaksud
untuk menyalahkan budaya salah satu pihak atau apalagi membandingkannya; mana
yang lebih unggul. Agak sedikit riskan juga ‘pendikotomian’ dua budaya tersebut
(Jawa-Sunda) karena menyangkut sukuisme. Jadi harap jangan dimasukkan ke dalam
hati, apalagi dalam dompet.
Tentu bagi penganut budaya patriarki
maupun matriarki sendiri masing-masing memiliki alasan atau landasan filosofisnya
mengapa tradisi itu dilahirkan. Sebab ciri
mah sa-bumi, cara mah sa-desa, tiap-tiap daerah memiliki adat-budaya
sendiri. Penulis percaya pada penganut budaya patriarki sekalipun, upaya
‘membatasi’ peran perempuan pada sektor publik pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk
mendiskreditkan perempuan tetapi sebagai bentuk memuliakan juga melindungi kaum
perempuan hingga pada simpulan spiritual-genetis bahwa mbok kuwi pangeran katon,
ibu itu Tuhan yang tampak. Dengan kata lain, perempuan (ibu) bernilai
spiritual tinggi, maka kesakralannya harus di jaga dan di tata. Wallahul muwafiq ila aqwaamittoriq. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar