Oleh: Galun Eka Gemini
Terbit pada 21 Oktober 2016, di Surat Kabar Harian Tribun Jabar.
Hari ini adalah tahun ke-2
diperingatinya Hari Santri Nasional. Setelah sebelumnya pada 22 Oktober 2015, Presiden
Joko Widodo (baca: pemerintah Republik Indonesia) resmi menetapkan tanggal 22
Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun
2015 – selanjutnya disingkat HSN. Penetapan tanggal 22 Oktober menjadi HSN itu
diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi. Berita ini langsung tersebar ke
seluruh wilayah di Indonesia dan disambut positif oleh sebagian besar rakyat
Indonesia, terutama respon dari kaum santri di pesantren. Lalu, mengapa tanggal
tersebut ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional ? apa makna dari penetapan
Hari Santri Nasional ?
Peringatan itu bukan tanpa sebab. HSN adalah peringatan kepada momentum
disepakatinya resolusi jihad 22 Oktober 1945 – yang pernah dicetuskan Hadlratussyaikh Hasyim
Asy’ari dan para ulama lainnya
tentang Resolusi Jihad di Surabaya. Resolusi jihad memberikan
gambaran bahwa umat Islam dengan penuh keyakinan dan kemauan siap tempur
membela dan menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Dari itu pula, resolusi jihad adalah sebuah fatwa yang
menempatkan perjuangan membela Islam dan Indonesia sebagai jihad fi sabilillah. Fatwa tersebut di antaranya berbunyi: (1)
hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang
ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap
orang Islam; (2) hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan
Belanda-Sekutu beserta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya
orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh (Bizawie, 2014:
205).
Konstalasi politik
Indonesia—dalam geografi Surabaya—usai tercetusnya resolusi jihad diwarnai
dengan ketegangan dan sesekali baku-tembak antara para pejuang dengan pihak
Belanda-Sekutu. Ekses lanjutan peristiwa ini sampai pada peristiwa 10 November,
pertempuran di Surabaya. Suatu pertempuran terbesar di permulaan revolusi
kemerdekaan, hingga pasukan Sekutu menyebut para pejuang rakyat Indonesia di
Surabaya sebagai “Pasukan Neraka”.
Sebagaimana kita ketahui, sejak zaman penjajahan Belanda,
perjuangan yang dimotori para ulama-santri telah timbul dan terus dilestarikan
secara turun-temurun dilingkungan pesantren. Misal, muncul sederet nama yang popular dari
kalangan ulama pesantren
seperti Hadlratussyaikh
Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Mahfudz Sidiq, K.H. Mashum, K.H.
Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Abdul Halim (PUI) dan sebagainya. Mereka adalah para
tokoh Islam yang berdarah Merah Putih. Mereka terlibat aktif dalam perjuangan melawan pemerintah
kolonial Belanda. Ini pula yang
melatari munculnya idiom Islam sebagai kekuatan pembebas dan sumber ancaman potensial bagi Belanda. Sebuah
perlawanan
yang bersumber dari lingkungan pesantren dengan menjadikan ajaran Islam sebagai
way of live-nya dalam menata
pandangan politiknya.
Dalam konteks di Jawa
Barat, perlawanan untuk mengangkat
senjata yang digaungkan oleh ulama-santri juga terlihat dalam perlawanan K.H.
Zaenal Mustafa dari Pesantren Sukamanah Tasikmalaya melawan fasisme Jepang pada
25 Februari 1944. Meski sudah banyak yang menyebutkan dan mengetahui kisah ini,
tetapi tidak ada salahnya bila saya sebut kembali sebagai bahan renungan kita
semua untuk menohok perjuangan yang dimotori ulama-santri di wilayah Jawa
Barat. Kenapa harus perlawanan Pesantren Sukamanah? Besarnya sumbangan yang
diberikan oleh K.H. Zaenal Mustafa dengan perlawanan Pesantren Sukamanah
terhadap perjuangan mempercepat terwujudnya Indonesia merdeka, alasan inilah yang
mendasari perlawanan Pesantren Sukamanah sebagai representasi perlawanan
ulama-santri di Jawa Barat. Bahkan, kepeloporan K.H.
Zaenal Mustafa dalam memimpin perlawanan Pesantren Sukamanah, kerapkali
digadang-gadang sebagai prolog munculnya perlawanan-perlawanan di daerah lain,
seperti: perlawanan K.H. Abbas Cirebon dalam melawan Jepang, perlawanan petani
dan ulama-santri di Indramayu, perlawanan K.H. Ruchiyat Cipasung, yang
pesantrennya pernah diberondong Belanda pada revolusi kemerdekaan Indonesia,
hingga perlawanan Supriyadi di Blitar. Dengan kata lain, perlawanan K.H. Zaenal
Mustafa dan para santrinya di Pesantren Sukamanah telah memberikan efek domino bagi
wilayah-wilayah lainnya untuk melakukan hal serupa, Jawa Barat khususnya dan
Indonesia pada umumnya.Tidak salah bila Holk. H. Dengel (2011) menyebut kaum
ulama-santri sebagai salah satu katalisator munculnya nasionalisme dan tegaknya
NKRI. Justifikasi historis tersebut, dilontarkan pula oleh dr. Soetomo–salah
satu pendiri organisasi Boedi Oetomo–yang menyebut: Pesantren adalah konservatorium patriotisme
dan nasionalisme Indonesia. Andai kata tidak ada pesantren, andai kata
tokoh-tokoh Indonesia hanya mendapatkan pendidikan barat, kiranya sulit
mengajak mereka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.Sayang, dalam historiografi Indonesia belum
banyak kajian komprehensif yang mengisahkan perjuangan para ulama-santri dalam
merebut dan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Kisah perjuangan ulama-santri
yang telah mereka torehkan terhenti dan hanya tersebar secara lisan dari
generasi ke generasi. Dengan kata lain, peran sentral ulama-santri dalam
catatan-catatan sejarah Indonesia masih cenderung “termarjinalkan”. Berbagai
kajian pada tingkat lokal maupun nasional mengenai perjuangan kemerdekaan yang
muncul belakangan ini tidak banyak menyebutkannya, dan sebagian lagi bahkan
mengabaikannya. Sebaliknya, eksistensi kelompok netral agama/nasionalis sekuler
mendapatkan perhatian yang lebih dalam penulisan sejarah Indonesia.Itu pula salah satu pemicu Zainul Milal Bizawie melakukan
penelitian mengenai kiprah sentral ulama-santri dalam menegakkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hasil penelitian itu kemudian ia
dokumentasikan ke dalam bentuk buku dengan judul Laskar Ulama – Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan
Indonesia (1945-1949).Dalam buku tersebut terbagi ke dalam enam bagian yang sangat penting untuk
diketahui publik. Pertama,
pemaparan tentang konsep-konsep yang diterapkan dalam penelitian ini. Tujuannya,
memandu para pembaca dalam memahami kajian ini; kedua, dipaparkan sekilas secara kronologis plot cerita kiprah
ulama-santri masa pra-revolusi kemerdekaan sejak kedatangan bangsa-bangsa
kolonial; ketiga, dipaparkan lebih
jauh pergerakan ulama-santri melawan kolonial yang bermuara pada terbentuknya
Lasykar Hizbullah; bagian keempat,
dikupas secara mendetail bagaimana jihad para ulama-santri dilaksanakan setelah
tercetusnya resolusi jihad; bagian kelima,
mengupas berbagai pertempuran guna menegakkan dan mempertahnakan kemerdekaan
Indonesia. Bahkan, eskalasinya lebih rumit lagi lantaran diiringi dengan
berbagai strategi diplomasi; Keenam, adalah
mengisahkan tentang ulama, pesantren, dan bambu runcing. Banyak kisah-kisah
heroik yang hingga saat ini diceritakan di kalangan santri.Menariknya lagi,
Zainul menyertakan kisah tentang karomah dan kehebatan para
kyai serta “kesaktian” bambu runcing yang telah mendapatkan do’a dari para
kyai. Kisah-kisah irasional tapi telah berubah menjadi realitas sejarah. Kisah-kisah
tersebut telah menjadi mistifikasi perjuangan yang membangkitkan para pejuang
untuk tidak pantang mundur. Ulama-santri dan pesantren menjadi simbol
perlawanan, juga peran pesantren sebagai basis-basis perlawanan terhadap
kolonial (Bizawie, 2014: xx).Bahasan dalam buku setebal
420 halaman ini terasa cukup kredibel dan komprehensif. Sebab, secara teknis,
penelitian ini bukan hanya menggunakan studi literatur, tetapi juga diperkuat
oleh sumber primer (primary sources) berupa;
arsip, juga informasi yang diperoleh dari beberapa pelaku sejarah (oral history) yang masih hidup sebagai
narasumbernya.Buku ini tepat dibaca
oleh khalayak masyarakat Indonesia terutama generasi muda Indonesia dan umat
Islam (kalangan pesantren) itu sendiri. Bagi generasi muda, sudah selayaknya
kaum muda menjadikan buku ini sebagai referensi dalam membangun politik kebangsaan
kerakyatan sebagai wujud tanggung jawab memperkokoh NKRI.
Bagi umat Islam, kehadiran buku ini menjadi
‘pupuk’ untuk membangkitkan semangat juang umat Islam untuk membangun negeri
ini ke arah yang lebih baik. Nilai-nilai yang sudah dibangun para ulama-santri
sejak zaman pra-kemerdekaan sangat layak dikembangkan menjadi nilai-nilai
luhur perjuangan bangsa dewasa ini. Di
antaranya: keberanian melawan kepentingan penjajah (baca: asing dan aseng). Sebagaimana
yang dinishbatkan dalam hadis nabi: Hubul
wathan minal iman, berarti cinta kepada tanah air adalah sebagian dari
iman. Wallahul muwafiq ila aqwaamittoriq.
Terbit pada 21 Oktober 2016, di Surat Kabar Harian Tribun Jabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar