Oleh: Galun Eka Gemini
Digging up the
past
merupakan slogan yang sangat popular di kalangan arkeolog. Ini mewakili
semangat mereka untuk mengungkap masa lalu melalui usaha penemuan dan penggalian
situs-situs bersejarah. Hasilnya adalah sebuah rekonstruksi kehidupan atau
peradaban manusia di masa lalu yang diharapkan bisa memuat pelajaran untuk di
masa sekarang (past) dan masa depan (future).
Masa
kini adalah kesinambungan dari masa lalu dan masa depan adalah kesinambungan
dari masa sekarang atau saat ini. Sejarah sebagai sumber inspirasi dan sumber
informasi yang otentik sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat sebagai
sebuah kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan obyektif dari peristiwa
dan kehidupan di masa lalu.
Dalam
konteks hari ini, salah satu yang harus diintensifkan adalah mengenai penulisan
sejarah berorientasikan lokalitas atau sering disebut sejarah lokal. Ini sangat
berguna bagi upaya memperkaya khazanah keilmuan sejarah, di satu sisi. Pada
sisi lain, dengan memahami sejarah lokal, kita akan mengetahui berbagai
aktifitas yang dilakukan para leluhur kita dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan. Oleh karenanya, sudah seharusnya masyarakat diperkenalkan atau
mengenal keberadaan lingkungannya: mulai dari yang ber-skala desa, kecamatan,
hingga nasional (baca: negara), bahkan dunia internasional.
Sejarah
lokal disini bukan sejarah lokal tradisi, semisal babad, hikayat, lontar,
tambo, ataupun lainnya. Melainkan sejarah yang menceritakan peristiwa-peristiwa
sejarah di regionalitas tertentu. Misalkan melalui batasan-batasan geografis
atau keberadaan suku yang mendiami tempat tersebut, atau yang menurut Moh. Ali
(2005:155) disebut sebagai sejarah daerah.
Pada
kesempatan ini, penulis sangat mengapresiasi langkah yang telah dilakukan oleh Tia
Dwi Nurcahya dalam menekuni dan merekonstruksi kajian sejarah lokal di
Kabupaten Majalengka. Peristiwa sejarah yang belum terungkap sebelumnya. Banyak
orang yang menjustifikasi bahwa Kabupaten Majalengka bukanlah konservatorium
penelitian sejarah dan budaya. Berbeda dengan wilayah tetangganya, Cirebon.
Sebuah daerah yang kaya dan sarat akan peninggalan sejarah-budaya. Kekayaan
nilai sejarah-budayanya memantik para peneliti, ilmuwan, dan akademisi
berbondong-bondong untuk menjadikannya laboratorium penelitian–sejarah dan
budaya–mulai peneliti lokal hingga peneliti dari luar Indonesia.
Dalam
konteks di Majalengka, penulis menduga, permasalahan ini disebabkan lantaran perjalanan,
perkembangan dan dinamika di Kabupaten Majalengka relatif statis, bukanlah
merupakan kota maju, kaya akan peninggalan sejarah dan budaya-nya. Sekalipun
terdapat sebuah peristiwa yang menarik untuk diteliti, tapi adakalanya
miskinnya sumber menjadi permasalahan baru yang muncul sehingga rekonstruksi
sejarah tidak bisa dilakukan. Namun, kenyataan itu terkikis sedikit demi
sedikit dan dapat dipecahkan oleh saudara Tia Dwi Nurcahya – pria kelahiran
Kuningan, Jawa Barat. Tia melakukan peneltian (kajian) tentang Gerakan Protes Haji Sarip di Kabupaten
Majalengka 1947. Sebuah persitiwa sejarah lokal yang terjadi dalam kurun
revolusi kemerdekaan Indonesia (1949-1947).
Hasil Rekonstruksi
Hasil
risetnya itu kemudian ia ajukan ke Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
Bandung menghasilkan tulisan ilmiah yang dimuat di dalam Jurnal Patanjala (Volume 6, No. 3 September 2014) di
bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pelestarian Nilai
Budaya Bandung. Tulisan ilmiah ini terasa cukup kredibel. Sebab, secara teknis,
penelitian ini bukan hanya bersumber dari studi literatur, tetapi juga diperkuat
oleh sumber primer (primary sources)
– sumber yang sezaman berupa; arsip, juga informasi yang diperoleh dari beberapa
pelaku sejarah (oral history) yang
masih hidup sebagai narasumbernya.
Tulisan
ilmiah ini dipaparkan Tia secara kritis dan komprehensif dengan menerapkan
konsep dan teori. Konsep yang digunakan adalah konsep revolusi yang dipadukan
dengan teori konflik ala Karl Marx sebagai alat analisisnya, sehingga sisi keilmiahan
tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Tia
memaparkan, gerakan protes yang digaungkan oleh Haji Sarip di Kabupaten
Majalengka dimaksudkan sebagai kritik sekaligus bentuk kekecewaan dirinya
terhadap pemerintah Republik Indonesia dalam menyikapi kebijakan India Rice (politik pengiriman beras
kepada India). Suatu kebijakan yang dipandangnya nyeleneh, tidak berpihak
kepada rakyat. Sebab, saat itu, rakyat sedang mengalami kesusahan, kelangkaan
bahan pokok sebagai akibat dari diterapkannya blockkade ekonomi oleh Belanda
tahun 1946. Lebih jauh lagi, Tia menyatakan faktor yang mendasari Haji Sarip
melakukan gerakan protes terhadap pemerintah dikarenakan adanya persaingan elit
setempat dan perbedaan garis ideologi yang di anut antara pihak pemerintah
dengan Haji Sarip. Haji Sarip menganut ideologi sosialisme-komunisme yang
berasaskan sama rasa-sama rata sedangkan pemerintah menerapkan Pancasila
sebagai asas politiknya. (Hal. – 494).
Latar
belakang peristiwa meletusnya gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip di Kabupaten
Majalengka 1947 yang telah diulas di atas secara singkat dalam tulisan ilmiah
ini terdapat pada sub-bab pertama di dalam pembahasan. Sub-bab kedua
mendeskripsikan mengenai riwayat hidup Haji Sarip. Terakhir, sub-bab ketiga
dalam pembahasan menjelaskan mengenai jalannya peristiwa: propaganda, aksi
protes, dan akhir peristiwa.
Dalam
melancarkan gerakannya, Haji Sarip membangun organisasi kelasykaran – yang
diberi nama Barisan Banteng – sebagai kendaraan politiknya. Bertumpu pada asas
ideologi sosialisme-komunisme, anggota Barisan Banteng ini umumnya berasal dari
kalangan masyarakat kelas bawah yaitu petani dan buruh yang secara sosiologis
mengharapkan adanya suatu perubahan sosial. Oleh karenanya, Haji Sarip memusatkan
gerakannya di wilayah Majalengka bagian Utara: Jatiwangi, Palasah, Ligung, Leuwimunding,
Dawuan, dan Jatitujuh. Mengingat di wilayah-wilayah tersebut merupakan lumbung
para petani dan buruh (pabrik gula). Bahkan, secara keanggotaan, anggota Barisan
Banteng tersebar sampai wilayah Indramayu, dan Kuningan. (Hal. – 495).
Di
akhir tulisan ini, Tia menyimpulkan bahwa gerakan protes yang dilakukan Haji
Sarip merupakan perlawanan sosial yang disebabkan beragam faktor seperti: sebagai
kritik atas kebijakan India rice,
persaingan para elit setempat, dan perbedaan ideologi. Kedua, gerakan protes
Haji Sarip tidak meninggalkan bekas yang berarti bagi masyarakat Majalengka
dikarenakan jalannya peristiwa tersebut berlangsung singkat, setelah dengan
kilat dapat dilumpuhkan oleh aparat keamanan setempat (TNI-Polri). Disamping
itu, karena ketiadaan pemimpin yang mampu mengagitasi masyarakat Majalengka
pasca ditangkapnya Haji Sarip oleh aparat pemerintah menyebabkan peristiwa ini
tidak berlangsung lama. (Hal. – 500).
Tulisan ini
sangat tepat dibaca oleh khalayak, terutama para civitas akademik yang
membutuhkan dan masyarakat (pituin)
Majalengka khususnya. Melalui tulisan ini masyarakat Majalengka dapat mengenali
dan memahami peristiwa sejarah (lokal) yang terjadi di Kabupaten Majalengka yang
ke depannya diharapkan dapat memberikan fungsi edukatif. Peristiwa masa lampau
begitu banyak menyimpan pelajaran yang berharga sehingga rekonstruksi mengenai
gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip di Kabupaten Majalengka ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam proses edukasi.
Mantap kang tulisanya. Gaya penuturanya dan isinya sangat berisi. Saya suka dan kagum gaya penulisan akang.
BalasHapusHatur nuhun kang atas kunjungannya ke blog saya yang sederhana ini, sekaligus rasa kagum yang telah akang kucurkan. Salam Silaturahmi.Rahayu _/\_
BalasHapusHatur nuhun kang galun tos di posting dina blog....
BalasHapusmudah mudahan bermanfaat...