Jumat, 20 November 2015

Tanggapan Atas Artikel Tia D. Nurcahya dalam Jurnal Patanjala

Oleh: Galun Eka Gemini


Digging up the past merupakan slogan yang sangat popular di kalangan arkeolog. Ini mewakili semangat mereka untuk mengungkap masa lalu melalui usaha penemuan dan penggalian situs-situs bersejarah. Hasilnya adalah sebuah rekonstruksi kehidupan atau peradaban manusia di masa lalu yang diharapkan bisa memuat pelajaran untuk di masa sekarang (past) dan masa depan (future).

Masa kini adalah kesinambungan dari masa lalu dan masa depan adalah kesinambungan dari masa sekarang atau saat ini. Sejarah sebagai sumber inspirasi dan sumber informasi yang otentik sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan obyektif dari peristiwa dan kehidupan di masa lalu.

Dalam konteks hari ini, salah satu yang harus diintensifkan adalah mengenai penulisan sejarah berorientasikan lokalitas atau sering disebut sejarah lokal. Ini sangat berguna bagi upaya memperkaya khazanah keilmuan sejarah, di satu sisi. Pada sisi lain, dengan memahami sejarah lokal, kita akan mengetahui berbagai aktifitas yang dilakukan para leluhur kita dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Oleh karenanya, sudah seharusnya masyarakat diperkenalkan atau mengenal keberadaan lingkungannya: mulai dari yang ber-skala desa, kecamatan, hingga nasional (baca: negara), bahkan dunia internasional.   

Sejarah lokal disini bukan sejarah lokal tradisi, semisal babad, hikayat, lontar, tambo, ataupun lainnya. Melainkan sejarah yang menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah di regionalitas tertentu. Misalkan melalui batasan-batasan geografis atau keberadaan suku yang mendiami tempat tersebut, atau yang menurut Moh. Ali (2005:155) disebut sebagai sejarah daerah.

Pada kesempatan ini, penulis sangat mengapresiasi langkah yang telah dilakukan oleh Tia Dwi Nurcahya dalam menekuni dan merekonstruksi kajian sejarah lokal di Kabupaten Majalengka. Peristiwa sejarah yang belum terungkap sebelumnya. Banyak orang yang menjustifikasi bahwa Kabupaten Majalengka bukanlah konservatorium penelitian sejarah dan budaya. Berbeda dengan wilayah tetangganya, Cirebon. Sebuah daerah yang kaya dan sarat akan peninggalan sejarah-budaya. Kekayaan nilai sejarah-budayanya memantik para peneliti, ilmuwan, dan akademisi berbondong-bondong untuk menjadikannya laboratorium penelitian–sejarah dan budaya–mulai peneliti lokal hingga peneliti dari luar Indonesia.

Dalam konteks di Majalengka, penulis menduga, permasalahan ini disebabkan lantaran perjalanan, perkembangan dan dinamika di Kabupaten Majalengka relatif statis, bukanlah merupakan kota maju, kaya akan peninggalan sejarah dan budaya-nya. Sekalipun terdapat sebuah peristiwa yang menarik untuk diteliti, tapi adakalanya miskinnya sumber menjadi permasalahan baru yang muncul sehingga rekonstruksi sejarah tidak bisa dilakukan. Namun, kenyataan itu terkikis sedikit demi sedikit dan dapat dipecahkan oleh saudara Tia Dwi Nurcahya – pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat. Tia melakukan peneltian (kajian) tentang Gerakan Protes Haji Sarip di Kabupaten Majalengka 1947. Sebuah persitiwa sejarah lokal yang terjadi dalam kurun revolusi kemerdekaan Indonesia (1949-1947).

Hasil Rekonstruksi
Hasil risetnya itu kemudian ia ajukan ke Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung menghasilkan tulisan ilmiah yang dimuat di dalam Jurnal Patanjala (Volume 6, No. 3 September 2014) di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung. Tulisan ilmiah ini terasa cukup kredibel. Sebab, secara teknis, penelitian ini bukan hanya bersumber dari studi literatur, tetapi juga diperkuat oleh sumber primer (primary sources) – sumber yang sezaman berupa; arsip, juga informasi yang diperoleh dari beberapa pelaku sejarah (oral history) yang masih hidup sebagai narasumbernya.

Tulisan ilmiah ini dipaparkan Tia secara kritis dan komprehensif dengan menerapkan konsep dan teori. Konsep yang digunakan adalah konsep revolusi yang dipadukan dengan teori konflik ala Karl Marx sebagai alat analisisnya, sehingga sisi keilmiahan tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Tia memaparkan, gerakan protes yang digaungkan oleh Haji Sarip di Kabupaten Majalengka dimaksudkan sebagai kritik sekaligus bentuk kekecewaan dirinya terhadap pemerintah Republik Indonesia dalam menyikapi kebijakan India Rice (politik pengiriman beras kepada India). Suatu kebijakan yang dipandangnya nyeleneh, tidak berpihak kepada rakyat. Sebab, saat itu, rakyat sedang mengalami kesusahan, kelangkaan bahan pokok sebagai akibat dari diterapkannya blockkade ekonomi oleh Belanda tahun 1946. Lebih jauh lagi, Tia menyatakan faktor yang mendasari Haji Sarip melakukan gerakan protes terhadap pemerintah dikarenakan adanya persaingan elit setempat dan perbedaan garis ideologi yang di anut antara pihak pemerintah dengan Haji Sarip. Haji Sarip menganut ideologi sosialisme-komunisme yang berasaskan sama rasa-sama rata sedangkan pemerintah menerapkan Pancasila sebagai asas politiknya. (Hal. – 494).

Latar belakang peristiwa meletusnya gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip di Kabupaten Majalengka 1947 yang telah diulas di atas secara singkat dalam tulisan ilmiah ini terdapat pada sub-bab pertama di dalam pembahasan. Sub-bab kedua mendeskripsikan mengenai riwayat hidup Haji Sarip. Terakhir, sub-bab ketiga dalam pembahasan menjelaskan mengenai jalannya peristiwa: propaganda, aksi protes, dan akhir peristiwa.
    
Dalam melancarkan gerakannya, Haji Sarip membangun organisasi kelasykaran – yang diberi nama Barisan Banteng – sebagai kendaraan politiknya. Bertumpu pada asas ideologi sosialisme-komunisme, anggota Barisan Banteng ini umumnya berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah yaitu petani dan buruh yang secara sosiologis mengharapkan adanya suatu perubahan sosial. Oleh karenanya, Haji Sarip memusatkan gerakannya di wilayah Majalengka bagian Utara: Jatiwangi, Palasah, Ligung, Leuwimunding, Dawuan, dan Jatitujuh. Mengingat di wilayah-wilayah tersebut merupakan lumbung para petani dan buruh (pabrik gula). Bahkan, secara keanggotaan, anggota Barisan Banteng tersebar sampai wilayah Indramayu, dan Kuningan. (Hal. – 495).

Di akhir tulisan ini, Tia menyimpulkan bahwa gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip merupakan perlawanan sosial yang disebabkan beragam faktor seperti: sebagai kritik atas kebijakan India rice, persaingan para elit setempat, dan perbedaan ideologi. Kedua, gerakan protes Haji Sarip tidak meninggalkan bekas yang berarti bagi masyarakat Majalengka dikarenakan jalannya peristiwa tersebut berlangsung singkat, setelah dengan kilat dapat dilumpuhkan oleh aparat keamanan setempat (TNI-Polri). Disamping itu, karena ketiadaan pemimpin yang mampu mengagitasi masyarakat Majalengka pasca ditangkapnya Haji Sarip oleh aparat pemerintah menyebabkan peristiwa ini tidak berlangsung lama. (Hal. – 500).

Tulisan ini sangat tepat dibaca oleh khalayak, terutama para civitas akademik yang membutuhkan dan masyarakat (pituin) Majalengka khususnya. Melalui tulisan ini masyarakat Majalengka dapat mengenali dan memahami peristiwa sejarah (lokal) yang terjadi di Kabupaten Majalengka yang ke depannya diharapkan dapat memberikan fungsi edukatif. Peristiwa masa lampau begitu banyak menyimpan pelajaran yang berharga sehingga rekonstruksi mengenai gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip di Kabupaten Majalengka ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam proses edukasi.

3 komentar:

  1. Mantap kang tulisanya. Gaya penuturanya dan isinya sangat berisi. Saya suka dan kagum gaya penulisan akang.

    BalasHapus
  2. Hatur nuhun kang atas kunjungannya ke blog saya yang sederhana ini, sekaligus rasa kagum yang telah akang kucurkan. Salam Silaturahmi.Rahayu _/\_

    BalasHapus
  3. Hatur nuhun kang galun tos di posting dina blog....
    mudah mudahan bermanfaat...

    BalasHapus

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *