Oleh Galun Eka Gemini
Pendahuluan
MASA PEMERINTAHAN KH. ABDURRAHMAN WAHID
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PEMERINTAHAN KH. ABDURRAHMAN
WAHID
Daftar Sumber
Sumber Buku
.jpg)
Pada awal tahun 1998 rezim Orde Baru sudah tidak mampu membendung arus
Reformasi yang bergulir begitu cepat. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan
diri dari singgasananya pada
tanggal 21 Mei 1998, pemerintahan Indonesia beralih dari tangan Soeharto kepada
wakilnya yakni B.J. Habibie. Presiden B.J.Habibie segera melakukan langkah-langkah pembaruan
sebagaimana yang
menjadi tuntutan
Reformasi. Pemerintahan
B.J. Habibie tidak begitu lama berkuasa di Indonesia, dikarenakan hanya
meneruskan pemerintahan Soeharto yang mundur di tengah jalan. Berdasarkan
Sidang Istimewa MPR bulan Oktober 1999 memutuskan KH. Abdurahmman Wahid
terpilih sebagai Presiden Indonesia menggantikan B.J. Habibie. Pemerintahan
Indonesia selanjutnya beralih ke tangan KH. Abdurahmman Wahid atau yang sering
disapa dengan sebutan Gus Dur.
Pada awal kepemimpinannya, Abdurrahman Wahid menampilkan energi yang luar biasa,
tekad untuk menggulingkan unsur-unsur yang dinilai otoriter semasa pemerintahan Soeharto menuju sistem yang lebih demokratis serta kesediaannya untuk berfikir kreatif, pembawaan yang sederhana sehingga banyak pihak mengaguminya. Pemerintahan Abdurrahman Wahid menunjukkan gabungan dari harapan, janji,
visi, kebingungan, dan kekecewaan. Hal tersebut mengingat kepada kondisi
kesehatannya yang buruk dan kekuatan-kekuatan politik yang bersatu
menentangnya, namun Gusdur menampilkan energi yang luar biasa tekad yang kuat
untuk menggulingkan unsur-unsur sentralistik semasa pemerintahan Soeharto menjadi modal untuk menjawab tuntutan masyarakat di
era Reformasi. Selain itu
Abdurrahman wahid mendorong pluralisme dan keterbukaan menuju tatanan demokratis. Dia memperbolehkan umat Cina Konfusius untuk
melakukan perayaan sacara terbuka, yang sebelumnya tidak diperbolehkan.
Maka
dari itu peneliti tertarik untuk membahas mengenai sistem pemerintahan Indonesia pada masa KH.
Abdurahmman Wahid tahun 1999-2001 dan mengangkatnya ke dalam sebuah penelitian berbentuk ‘makalah’. Adapun
periodasasi yang penulis pakai yaitu antara tahun 1999-2001. Kurun waktu
tersebut, merupakan masa KH. Abdurahmman Wahid menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia yang ke-4.
MASA PEMERINTAHAN KH. ABDURRAHMAN WAHID
KH. Abdurahmman Wahid dan
Pemikirannya
KH. Abdurahmman Wahid (Gus
Dur) lahir di Jombang pada tanggal 4 Agustus 1940, anak dari pasangan KH. Wahid
Hasyim dan Solichah. Kakeknya bernama KH. Hasyim Asy’ari, ia merupakan pendiri
salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya
(KH. Wahid Hayim) merupakan seorang ulama, negarawan sekaligus politikus yang
hidup pada masa pergerakan sampai era Soekarno. Bila dilihat secara
genealogisnya, Gus Dur merupakan keturunan dari orang yang memiliki “darah
biru” dan religius. Maka tidak aneh pula jika mulai usia dewasa sampai akhir
hayatnya, Gus Dur meniru jejak kakek dan ayahnya menjadi seorang ulama,
negarawan, politikus, bahkan sastrawan/penulis.
Jenjang pendidikan yang
dilalui oleh Gus Dur tidak banyak berbeda dengan kebanyakan anak di daerah
asalnya. Pendidikannya diawali dengan jenjang Sekolah Dasar (SD) tahun
1948-1954 di Jakarta, kemudian melanjutkannya ke Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama (SMEP) pada tahun 1954-1957 di Yogyakarta. Setelah lulus dari SMEP, Gus
Dur banyak menghabiskan waktunya dengan belajar memperdalam agamanya, ia
menjadi santri di beberapa pesantren terkemuka di Indonesia. Pertama ia menjadi
santri di pesantren Tegalrejo, Magelang dari tahun 1957-1959. Pada tahun
1959-1963, kemudian ia belajar di pesantren Bachrul Ulum Tambak Beras, Jombang
(Jawa Timur). Setelah itu kurang lebih satu tahun, ia terus melanjutkan belajar
memperdalam agamanya di pesantren Krapyak, Yogyakarta sampai tahun 1964.
Selama menjadi santri, ia
bukan haja belajar mengaji dan memperdalam ilmu-ilmu agama tetapi juga senang
membaca karya-karya sastra dan buku-buku yang bernuansakan politik dan
dimanifestasikannya ke dalam bentuk tulisan, yang selanjutnya membawa kariernya
menjadi seorang penulis disamping ulama dan politikus. Latar belakang
pendidikan Gus Dur selain dia menimba ilmu di dalam negeri, Gus Dur pun pernah
menimba ilmu di luar negeri seperti di Kairo, Mesir pada tahun 1964. Lalu di
Bagdad - Irak, di tempat inilah Gus Dur banyak mengenal kajian ilmu sastra,
kebudayaan Arab, filsafat Barat, dan teori-teori ilmu sosial seperti karya
Emile Durkheim.
Pada perkembangannya
selanjutnya, sekembalinya ia belajar dari luar negeri, Gus Dur pun “kembali ke
barak”. Dunia pesantren yang telah membesarkannya pada awalnya membuat dia
kembali ke habitatnya untuk menjadi seorang Dosen dan menjabat Dekan di salah
satu Universitas Islam yang ada di Jombang. Selanjutnya ia dipercaya untuk
menjadi Sekretaris umum di pesantren Tebuireng. Karirnya kian berkembang setelah
ia diajak oleh temannya menjadi seorang peneliti sekaligus fungsionaris pada
sebuah lembaga penelitian penerangan dan pendidikan ekonomi sosial (LP3ES) di
Jakarta. Sejak itu Gus Dur berada di
Jakarta, akan tetapi dunia pesantren yang menjadi landasannya tetap ia
pertahankan dengan mendirikan sebuah pesantren di Ciganjur, Jakarta.
Lingkungan pesantren beraliran
NU dan pendidikan luar yang melekat pada dirinya telah membentuk karakteristik
Gus Dur menjadi seorang Ulama yang berfikiran toleran, plural, demokratis, bahkan
cenderung radikal. Gagasan pemikirannya yang liberal pada perkembangannya menuai banyak pro-kontra (Like and dislike) dan tidak sedikit orang yang menganggapnya
sebagai perbuatan yang “nyeleneh”. Namun sosok Gus Dur seperti ini kendati background ulama yang melekatnya, pada
awal reformasi di Indonesia tahun 1998 sangat dinantikan kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan sedang mengalami multikrisis. Karir
politiknya melejit sebagai anggota MPR dan mengantarkannya menjadi orang nomor
satu di Indonesia pada bulan Oktober 1999.
Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena
pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang
sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang
pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat
dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu
pelaksanaan pemilihan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang
tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga
undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1
Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga undang-undang itu antara lain UU nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik, UU nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum, dan UU nomor 4 tahun 1999 tentang susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk
berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang
politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112
partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian
banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum.
Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan
dengan cukup ketat. Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga
yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari
partai-partai politik peserta pemilihan umum. Banyak pengamat menyatakan bahwa
pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya
pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara
berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar
partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan,
Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Hasil
pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil perolehan suara
dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara
partai peserta pemilihan umum.
Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan
jumlah anggota DPR dan MPR, maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum
MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang
Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi
Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban
Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara
menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban
itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik
Indonesia. Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh
fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra.
Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh
karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu,
Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden
yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden
Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil
Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil
Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada
tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Kemenangan PDI-P di bawah
pimpinan Megawati Soekarno Putri tidak serta merta mengantarkan orang nomor
satu di tubuh PDI-P ini untuk menjadi Presiden, argumentasi rasioanlnya,
mengingat kondisi masyarkat Indonesia pada waktu sedang tidak stabil dan sangat
mendambakan iklim reformis yang demokratis sehingga menjadikan KH. Abdurahmman
Wahid terpilih menjadi Presiden sebagai poros tengah. Alasan lain tidak
diangkatnya Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden pada waktu itu,
dikarenakan kekuatan Golkar yang masih mendominasi, mengingat PDI-P dengan
GOlkar mempunyai hubungan politik relatif panas. Maka dari itu, poros tengah
sangat dijunjung tinggi untuk menghindari bertumpahan darah (chaos) yang akan lebih mengacaukan
situasi politik Indonesia.
Masa Kepresidenan sampai Kejatuhan Pemerintahan
KH. Abdurahmman Wahid
Pada awal kepemimpinannya, Gus
Dur banyak melakukan perubahan-perubahan penting dalam sistem pemerintahan
Indonesia. Reformasi di segala sektor yang menjadi tuntutan masyarakat satu
persatu direalisasikannya. Tahun 1999 Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah
kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB,
Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam
kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan.
Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim
Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen
Sosial yang korup. Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota
ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada
bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Cina. Setelah satu bulan berada
dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan
Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan
November.
Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan
karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia
masih berada di Amerika Serikat. Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah
Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan
Israel. Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini
menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih
lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri
Serambi Mekah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di
provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan
pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. 2. Tahun 2000
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss
untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam
perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Gus Dur melakukan
perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis,
Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga
mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan
Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi
Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77,
sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid
sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan,
dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang
dikunjunginya. Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai
meminta Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator
Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap
rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor
Timur terhadap Wiranto. Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara
dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun,
Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur.
Upaya Gus Dur dalam menata
pemerintahan Indonesia dari aspek kemiliteran yaitu dengan memisahkan POLRI
dari struktur ABRI (sekarnag TNI). Militer yang menjadi sumber kekuatan
pemerintahan Orde Baru, secara sistematis dilemahkan. Berdasarkan Keppres No 89
tahun 2000, kedudukan POLRI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berubah yang semula di bawah ABRI menjadi di
bawah Presiden. Lahirnya keputusan Presiden ini selanjutnya di pertegas oleh
ketetapan MPR tahun 2000. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus
2000 kemudian menetapkan dua buah TAP MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000
tentang tentang Pemisahan TNI dan POLRI serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang
Peran TNI dan POLRI
Selanjutnya pada bulan April 2000, Gus
Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan
Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Gus Dur adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi,
meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Hal ini memperburuk
hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P. Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur
mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan
kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal
tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan. Gus Dur juga
mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme
dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan
kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi
Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun
2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon
Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad,
duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti. Dalam usaha mereformasi militer
dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu,
yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan
Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra,
yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI
mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika
Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke
Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid
meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil
mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal
Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG)
melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit
pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya
terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan
uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan
Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana
tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Gus Dur seperti Megawati, Akbar Tanjung dan Amien Rais masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan
menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota
MPR. Selama pidato, Gus Dur menyadari
kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas.
Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada
awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi
Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan
kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan
ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru
lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota
Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di
Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas
bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh
Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama,
bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera
bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia. Ia
dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi
serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di
seluruh Indonesia. Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa
dengan Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah
Amien Rais. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai
presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan
Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati
melindungi Gus Dur, sementara Akbar Tanjung menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 DPR
menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.
Tahun 2001 dan akhir kekuasaan Pada Januari 2001, Gus
Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan
larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan
juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan
terakhirnya ke luar negeri sebagai Presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia. Pada pertemuan
dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan
kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran
DPR jika hal tersebut terjadi. Pertempuan tersebut menambah gerakan anti-Gus Dur. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur.
Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden
dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota
ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan
protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun
menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk
berbicara dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukan
dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka
siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai Presiden hingga mati. Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi
dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar
Gus Dur mundur.
Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot
dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan
kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada
saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal
ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian
menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya
Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus. Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri
Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang
Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur
memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle
kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan
bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000
tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara
sebagai bentuk penunjukan kekuatan.
Gus Dur
kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR,
(2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam
waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan
terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan
dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya
dengan Megawati Sukarnoputri.
Kelebihannya
Kelebihan sistem Pemerintahan Abdurrahman Wahid a)
Sukses melakukan kesepahaman dengan GAM. Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur
mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan
kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepakatan dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar
persetujuan. b) Sukses membawa Indonesia ke Forum Ekonomi Dunia. Pada Januari
2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri ke Swiss untuk menghadiri
Forum Ekonomi Dunia c) Sukses melaksanakan persamaan hak menyatakan pendapat di
muka umum. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, orang bebas mengemukakan
pendapatnya di muka umum. Presiden Abdurrahman Wahid memberikan ruang bagi
siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum
maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi
atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari
pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal
ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997
tentang Kepolisian Republik Indonesia. d) etnis Tioghoa yang berpuluh-puluh
tahun dikekang diberikan kebebasan sama seperti orang pribumi. e) Jadwal ketat kunjungan ke luar negeri menghasilkan
banyak mitra luar negeri. Di bulan April, Presiden Abdurahmman Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan
menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77. f) Sukses menggulingkan unsur-unsur sentralistis dan hierarkis yang represif (menindas) semasa pemerintahan Soeharto. g) Sukses mengurangi dukungan bagi kaum separatis GAM
di Aceh. h)
Memisahkan POLRI dari struktur TNI, sehingga POLRI tidak lagi terkesan bersifat
militeristik.
Kekurangannya
Kekurangan Sistem Pemerintahan Abdurrahman Wahid a)
Semaraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. b) Munculnya berbagai reaksi negatif dari rakyat atas usul Presiden
Abdurrahman Wahid mengenai pembatalan Ketetapan MPRS Tahun 1966 mengenai
pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme. c) Kesulitan ekonomi semakin meluas. d)
Kerusuhan antar etnis terus berlanjut.
Kerusuhan terutama berbahaya adalah pembunuhan antara umat Islam dan Kristen di
Maluku yang menewaskan lebih dari seribu orang sepanjang tahun 1999. e) Di
Aceh, kekerasan antar kaum separatis dan aparat
keamanan terus terjadi. f) Pemecatan terhadap beberapa menteri yang memunculkan
berbagai pro dan kontra di masyarakat. Seperti Gus Dur memecat Menteri Negara
Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang
diberikan Abdurahmman
Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus
korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Pada bulan
Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari
kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan
Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden,
berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan
Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur
mundur. DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR
pada 1 Agustus. Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator
Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya
dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. g) berusaha membuka
hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim
Indonesia. h) Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate
dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa
$4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur
mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun
uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal
ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate.
Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya
sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di
Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini
disebut skandal Bruneigate. i) Gus
Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah
bendera Indonesia yang menimbulkan kritik dari berbagai pihak bahkan Megawati
dan Akbar juga mengkritik Gus Dur karena hal ini. j) Pada 24 Desember 2000,
terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya
di seluruh Indonesia.
Sumber Buku
Finaldin, T. dan Sali Iskandar. (2006). Presiden RI dari Masa ke Masa. Bandung:
Jabar Education and Entrepreneur Center.
Nasir, M. (2004). Konflik Presiden Versus Polri Di Era Transisi Demokrasi. Jakarta:
Pusat Studi Politik Madani Institute.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Soenanto,
H. (2009). Proses Hukum Pemisahan POLRI dari ABRI Hingga UU POLRI.
Jakarta: Nurul Izzah Pres.
Syafiie, I.
dan Azhari. (2005). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Sumber Internet
Anonym. (2009). Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
[Online] Tersedia di www.wikipedia.com [diakses tanggal 20 Januari 2013].
Anonym. (2009). Kekurangan dan Kelebihan
pemerintahan Gus Dur. [Online]
Tersedia di www.google.com [diakses tanggal 20 Januari 2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar