Kurikulum 2013 dan Permasalahannya
Oleh : Galun Eka Gemini
Persoalan
dalam dunia pendidikan Indonesia dewasa ini mencuat kembali setelah munculnya
wacana pergantian kurikulum, dari kurikulum KTSP menuju kurikulum baru
(kurikulum 2013). Jika ditarik kebelakang, dinamika yang menimpa dunia
pendidikan ini bukan merupakan barang yang dianggap baru kemunculannya. Pada
era Reformasi saja tercatat, kurang lebih sudah tiga kali mengalami perubahan
kurikulum. Mulai dari kurikulum berbasis kompetensi (2004) sebagai pengganti
kurikulum produk Orde Baru (1994), selanjutnya menjadi kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP), dan sekarang menuju kurikulum 2013, kendati masih dalam
proses penggodokan.

Menyikapi
akan hal ini, berbagai pihak menanggapinya secara beragam. like and dislike menyeruak ke permukaan, baik dari khalayak umum
maupun yang datangnya dari para “pendekar pendidikan” itu sendiri sebagai
pelaksana dari kebijakan tersebut. Pada prinsipnya, perubahan pada sebuah
sistem muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan dari sistem sebelumnya atau kebutuhan
zaman (zeitgeist). Begitu pula perubahan
pada sistem pendidikan (wacana kurikulum 2013), dinilainya sebagai bahan
koreksi atas kurang efektipnya dari pelaksanaan kurikulum KTSP dan merupakan media
menuju pendidikan yang mencetak output
peserta didik dinamis dan lebih bermutu.
Mengutif
pendapat Prof. Adin Syamsudin Makmun, Guru Besar di Universitas Pendidikan
Indonesia. Wacana pergantian kurikulum dalam sistem pendidikan memang merupakan
hal yang wajar, mengingat perkembangan alam manusia terus mengalami perubahan.
Namun, dalam menentukan sistem yang baru diharapakan para pembuat kebijakan
jangan asal main rubah saja, melainkan harus menentukan terlebih dahulu
kerangka, konsep dasar maupun landasan filosofis yang mengaturnya (“PR”,
27/12/12).
Dampak
Sebagaimana
yang tertuang dalam draf kurikulum tersebut dimuat mengenai penyederhanaan mata
pelajaran untuk tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Pengurangan jumlah
bobot mata pelajaran yang termuat dalam draf kurikulum baru itu bertujuan untuk
mengurangi beban yang diemban oleh peserta didik/siswa. Kemudian penulis tergelitik
untuk mengajukan sederet pertanyaan, apakah landasan filosofisnya? seberapa
efektipkah dari rencana pelaksanaan kurikulum 2013?
Permasalahan
yang lebih mengejutkan dari wacana penerapan kurikulum 2013 yaitu mengenai penghilangan
mata pelajaran bahasa daerah (Sunda) yang biasa dimasukan kedalam mata
pelajaran Muatan Lokal (Mulok). Penghilangan bahasa daerah (Sunda) sebagai mata
pelajaran yang biasa kita temui mulai dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA,
dinilai akan mengubur dalam-dalam eksistensi bahasa dan kebudayaan lokal
masing-masing daerah yang ada di kepulauan Indonesia khususnya bahasa dan
budaya Sunda. Bahasa ibu eksis apabila penutur asli berusaha ngamumule dan mengamankannya sebagai
sebuah aset kebuadayaan nasional dan identitas bangsa.
Hilangnya
sebuah kebudayaan akan menjadikan suatu bangsa kehilangan jati dirinya. Pasalnya,
kebuadayaan lokal merupakan faktor yang selanjutnya membentuk kebudayaan
nasional, tidak akan ada kebudayaan nasional kalau tidak terdapat budaya lokal.
Secara subtansi, pernyataan diatas termuat dalam naskah Sunda kuno “Amanat
Galunggung”, yang berbunyi Hana nguni, hana mangke. Tan hana nguni, tan hana mangke (ada
dahulu, ada sekarang. Tak ada dahulu, tak akan nada sekarang).
Bahasa
daerah adalah fundamental bagi sebuah kebudayaan, dalam mengenali kebudayaan
setempat (local genius) dituntut
untuk menggunakan bahasa daerah sebagai sebuah pengantar, termasuk budaya
Sunda. Jika tidak menggunakan bahasa daerah dalam mengenali dan memahami sebuah
kebudayaan tertentu, ditakutkan akan berakibat kepada kerancuan dalam
penafsiran budaya itu. Menggunakan bahasa Indonesia saja tidaklah cukup menjadi
problem solving dari proses pengenalan
suatu kebudayaan. Bahasa daerah (Sunda) sebagai bahasa budaya sangat bermanfaat
untuk membentuk etika, moral bangsa yang berbudaya (“PR” 3/1/13). Apalagi ditengah-tengah
derasnya arus globalisasi/era kasajagatan
yang melanda negeri ini, dimana kebudayaan-kebudayaan yang bersifat lokal
relatif telah pupus keberadaannya yang seharusnya terus dijaga dan dilestarikan
sebagai sebuah kekayaan suatu bangsa.
Tidak
dimasukannya mata pelajaran bahasa daerah (Sunda) ke dalam draf kurikulum 2013 merupakan
genoside akan kebudayaan lokal serta
keberlangsungan para guru pemegang mata pelajaran tersebut. Artinya tidak
menutup kemungkinan para pendidik yang memegang mata pelajaran tersebut akan
terancam dari keprofesiannya. Ditambah lagi dengan adanya UU Permendiknas No.
18 Tahun 2007 yang menjelaskan bahwa seorang pendidik harus mengajar sesuai
dengan kemampuan, kompetensi dari bidang keilmuwannya. Dapat disimpulkan, aturan
itu tidak memberikan kesempatan kepada pendidik untuk mengajar diluar bidang
keilmuwannya.
Implikasi
lain yang akan muncul bila diterapkannya kurikulum 2013 mengenai aspek ilmu
pengetahuan yang secara lebih sempit akan di dapat oleh para peserta didik. Berbicara
pengintegrasian memang bukan berarti sebuah proses penghilangan sebuah materi.
Akan tetapi, dalam proses pengintegrasian disini tentunya telah menanggung
beberapa resiko yang tidak dapat ditampikan, pengintegrasian sebuah materi pelajaran
akan diikuti pula oleh proses pengurangan. Lebih-lebih ketika beberapa poin
materi yang dikurangi itu menyentuh ranah sosial/humaniora, yang mana sarat
dengan nilai diakronis dan sistematis, itu akan menjadikan adanya garis
keterputusan rentetan peristiwa (missing
ling) dari materi yang dipelajari siswa/peserta didik. Mungkin beda cerita
ketika materi yang mengalami pengurangan itu tergolong ke dalam sebuah materi
yang bersifat sinkronis dan tidak mempertimbangkan urutan waktu.
Selain
itu, dalam upaya pengintegrasian tidaklah cukup mengandalkan apakah materi
tersebut berhubungan dengan materi yang
lainnya atau tidak? yang harus diperhatikan disini adalah apakah ilmu tersebut
serumpun atau tidak? Pertimbangan tersebut diperlukan agar tidak membuat materi
yang diajarkan mengalami tumpang tindih, mengingat ruang lingkup, teknis, dan
metodologis disiplin ilmu memlilki beberapa perbedaan.
Sebenarnya,
yang lebih penting untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas tidak terpaku
pada kurikulum itu sendiri, buat apa kurikulumnya dibuat sempurna mungkin sedangkan
para pengajarnya tidak bisa membuat kelas dan proses pembelajaran itu efektip dan
apatis. Penulis menyoroti, agar lebih menekankan kepada pola interaksi antara
guru dengan siswa yang semestinya harus ditingkatkan lagi mengarah kepada
tingkat profesionalitas seorang pendidik. Kurikulum baru tidak menjamin proses
pendidikan lebih bermutu selama masih banyak terdapat seorang pendidik yang
pasif dan apatis.
Pernyataan
diatas, setidaknya dapat dijadikan sebagai jalan tengah dalam menanggapi hal
ini tanpa menghilangkan dan mengitegrasikan beberapa mata pelajaran di sekolah.
Keberhasilan proses pembelajaran lebih dititik beratkan oleh cara dan model
dari seorang pendidik itu sendiri yang dituntut harus kreatif, berwawasan
global namun bersendikan lokal. Dengan berbekal kemampuan itulah mutu
pendidikan dengan sendirinya akan mencapai tingkat kesuksesan. Semoga.!!!
Terbit
pada bulan Oktober 2014, di Majalah Bulanan, Aksioma.
Komentar
Posting Komentar