Oleh : Galun Eka Gemini
Sejak era Soeharto berkuasa, institusi militer tidak luput dari sejarah kelam rezim Orde Baru dan dijadikan sebagai kepanjangan politik Orde Baru, hubungan pemerintah dengan militer saat itu tidak ubahnya seperti hubungan antara orang tua dengan anak sehingga tidak jarang fungsi militer sebagai subjek atau penentu arah kebijakan-kebijakan pemerintah. Sikap TNI (ABRI pada saat itu) telah mencerminkan perannya menjadi distori, dengan kata lain sering melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menyimpang dari tugas pokonya. Tindakan tersebut terbukti dengan seringnya melakukan tindakan-tindakan yang dianggap melanggar nilai-nilai kemanuasian (HAM) apalagi yang berhubugan dengan masalah sosial-politik. Ditambah lagi dengan keterlibatannya dalam urusan sosial, politik dan ekonomi (bisnis) yang kesemuanya itu telah dianggap sebagai pencideraan demokrasi. Kemunculan militer di panggung politik negara apabila mengutif kata-kata dari seorang pakar militer yaitu Amos Parlmutter, merupakan sikap ketidakpuasan dan ketidak percayaan dari para birokrat sipil dalam mengatur sebuah pemerintahan.
Sejak era Soeharto berkuasa, institusi militer tidak luput dari sejarah kelam rezim Orde Baru dan dijadikan sebagai kepanjangan politik Orde Baru, hubungan pemerintah dengan militer saat itu tidak ubahnya seperti hubungan antara orang tua dengan anak sehingga tidak jarang fungsi militer sebagai subjek atau penentu arah kebijakan-kebijakan pemerintah. Sikap TNI (ABRI pada saat itu) telah mencerminkan perannya menjadi distori, dengan kata lain sering melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menyimpang dari tugas pokonya. Tindakan tersebut terbukti dengan seringnya melakukan tindakan-tindakan yang dianggap melanggar nilai-nilai kemanuasian (HAM) apalagi yang berhubugan dengan masalah sosial-politik. Ditambah lagi dengan keterlibatannya dalam urusan sosial, politik dan ekonomi (bisnis) yang kesemuanya itu telah dianggap sebagai pencideraan demokrasi. Kemunculan militer di panggung politik negara apabila mengutif kata-kata dari seorang pakar militer yaitu Amos Parlmutter, merupakan sikap ketidakpuasan dan ketidak percayaan dari para birokrat sipil dalam mengatur sebuah pemerintahan.
Kurang
lebih 12 tahun peristiwa reformasi yang digaungkan oleh sebagian besar rakyat
Indonesia sudah berlalu. Salah satu yang menjadi tuntutan reformasi pada tahun
1998 menjelang kejatuhan Soeharto sebagai penguasa pemerintah di Indonesia
adalah adanya tuntutan untuk diadakannya restrukturisasi
TNI. Dari segi politis, tuntutan tersebut dilontarkan untuk menghapuskan peran
militer dalam berpolitik dan bisnis, menciptakan iklim demokratisasi di Indonesia
serta mewujudkan proposionalisme TNI sebagai instrumen negara. TNI dipandang
merupakan salah satu pilar tegaknya kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia,
dengan demikian perlunya menjaga bahkan meningkatkan sikap profesionalisme
dalam menjalankan tugasnya.
Era
reformasi merupakan titik awal untuk menjadikan TNI sebagai instrumen negara
yang bersikap professional. Secara umum, tujuan adanya gerakan masyarakat dalam
reformasi di sektor pertahanan-keamanan berupa transformasi kebijakan-kebijakan
dan institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang dinilai otoriter
menuju sistem baru yang demokratis sehingga aktor-aktor keamanan termasuk TNI
menjadi institusi profesional, akuntabel serta menghormati HAM.
Mengenai peran dan
fungsi TNI di era reformasi sudah diatur dalam UU No 3 tahun 2002, peraturan
tentang peran dan tugas TNI lebih lanjut diperkuat dengan dikeluarkannya UU No
34 Tahun 2004 tentang TNI, sebagai, ”tentara yang terlatih, terdidik,
diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan
dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang
menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum
nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi”.
Secara normatif, gerakan masyarakat untuk merubah paradigma, peran dan
tugas TNI telah diatur berdasarkan TAV MPR No VI tentang pemisahan struktur
TNI-POLRI dan TAV MPR No VII tahun 2000 tentang peran TNI-POLRI. Namun, pada
prakteknya belum terealisasikan secara maksimal dan menyeluruh. Hambatannya
terdapat pada aspek yang sejak dulu oleh aparat TNI emban yaitu belum dihapuskannya
tentang doktrin Dwifungsi ABRI secara total. konsep Dwifungsi ABRI oleh
sebagian aparat militer masih mereka anut sebagai dasar
justifikasi keterlibatan TNI di berbagai bidang sosial, politik dan ekonomi.
Pada tahun 2002,
Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Undan-Undang No 3 tentang
pertahanan negara. Kendati memiliki beberapa kelemahan, UU ini secara normatif
telah memberi pijakan dalam menata sektor pertahanan. Hal itu terlihat dari
keharusan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan umum pertahanan negara dan
pembentukan Dewan Pertahanan Negara, akan tetapi dalam implementasinya kedua
hal itu belum terwujud. Untuk terus mewujudkan sikap profesionalisme yang
ditujukan terhadap kaum militer, pada perkembangannya Presiden Megawati
mengeluarkan kembali UU TNI No 34 tahun 2004. Berdasarkan landasan hukum
tersebut, dijelaskan adanya keharusan bagi TNI untuk patuh pada tata nilai-nilai
demokrasi dan HAM, pelarangan untuk berpolitik, pengambilalihan bisnis TNI dan
lain-lain. Aturan yang tertuang dalam UU tersebut, secara aplikatif baru
terealisasikan pada masa pemerintahan Presiden SBY. Hal itu terbukti salah
satunya dengan hilangnya fraksi
TNI-POLRI di DPR maupun MPR. Hilangnya keterlibatan militer dalam kancah
perpolitikan Indonesia baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun
nasional berarti hilangnya pula konsep Dwifungsi atau dominasi militer dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia.
Kegiatan TNI dalam
politik praktis, bisnis dan lain sebagainya dipermulaan abad ke-21 diatur
dengan pengecualian harus di pensiunkan terlebih dahulu. Sikap tersebut bertujuan
untuk menjaga kredibilitas TNI sebagai alat pemerintah yang profesional. Penutupan
hak politik bagi TNI yang masih aktif merupakan upaya meningkatkan partisipasi
politik rakyat, sehingga dalam segi politik tidak sama sekali diberi ruang
gerak dan dituntut untuk bersikap independen. Disamping itu, tertutupnya ruang
gerak politik bagi kaum militer merupakan sebagai upaya untuk menciptakan
kepercayaan diri bagi orang-orang sipil dalam mengurusi pemerintahan dengan
menjalankan program-programnya yang dinilai berkulturkan demokrasi, bukan
otoriter atau militerian.
Lahirnya UU TNI No 34 tahun
2004 diharapkan dapat dijadikan sebagai parameter oleh aparat TNI dalam
menjalankan fungsinya sesuai dengan kode etik, falsafah hidup yang terkandung dalam
Pancasila. Selain itu, dapat dijadikan sebagai alat kontrol TNI agar tidak
melakukan penyimpangan-penyimpangan di luar kewenangannya. Dengan demikian
peran dan fungsi TNI terhadap masyarakat dapat dirasakan sesuai dengan tuntutan
masyarakat di era reformasi serta menjunjung tinggi supermasi sipil. Di lain
pihak sikap tersebut pun dapat mendorong pula terciptannya tatanan masyarakat
Indonesia yang demokratis dan berorientasi pada keutuhan bangsa dan negara.
Dari uraian tersebut bila
di implementasikan secara menyeluruh dan utuh, akan membentuk TNI sebagai
komponen negara yang memiliki jati diri sebagai tentara rakyat, tentara
pejuang, dan tentara professional. Secara fungsi pun dapat berperan sebagai
alat perekat persatuan dan kesatuan bangsa yang tergelar dari Sabang sampai
Marauke. Makna lain dari itu adalah sebagai upaya merubah bahkan menghilangkan stigma
buruk di mata rakyat Indonesia maupun dunia Internasional bahwa Indonesia
merupakan negara yang demokratis bukan negara junta militer.
Terbit pada 5 Oktober 2013, di Surat Kabar Harian Sinar Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar