Sabtu, 19 September 2020

Tanggal 1 Juni  merupakan hari penting dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu hari lahirnya Pancasila: ideologi sekaligus dasar negara Republik Indonesia. Keberadaan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tentunya memiliki makna penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Karena begitu pentingnya, setiap 1 Juni,  pemerintah memperingatinya dan menetapkannya sebagai hari libur nasional.

Akan tetapi, pentingnya memperingati hari lahir Pancasila sesungguhnya tidak semata-mata cukup dengan mengingatnya saja. Lebih dari itu, sudah seharusnya kita dapat mengaktualisasikan spirit Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di masa seperti sekarang ini, ketika kita dihadapkan pada gempuran globalisasi, perang “urat saraf” sesama anak bangsa akibat perbedaan identitas atau pilihan politik, menguatnya etnosentrisme dan xenosentrisme daripada nasionalisme, menguatnya kapitalisme dan pasar bebas, juga beberapa sikap lain yang seolah-olah bangsa ini tidak memiliki nilai-nilai luhur yang selama ini dianut.

Namun, di luar itu, ada hal lain yang tak kalah pentingnya sehubungan dengan Pancasila ini, yaitu melacak bagaimana dinamika dan perjuangan para founding father kita ini dalam merumuskan dan melahirkan Pancasila. Yang pada gilirannya, meminjam istilah Agus Mulyana (PR, 31/05/17), Pancasila menjadi ideologi yang teruji sejarah. Karena pada perjalanannya mengalami beberapa ujian.

 

Dinamika dan Sejarahnya

Kelahiran Pancasila adalah produk sejarah yang tak terpisahkan dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Kelahiran Pancasila merupakan hasil pergulatan pemikiran para pendiri bangsa dengan berbagai dinamikanya. Pergulatan itu sudah muncul sejak masa pra-kemerdekaan, terutama pada masa pendudukan Jepang.

Janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia diwujudkan ke dalam pembentukan BPUPKI. Suatu badan yang mempersiapkan usaha-usaha kemerdekaan Indonesia. Dalam upaya persiapan itu, founding fathers yang tergabung dalam keanggotaan BPUPKI terlebih dahulu merumuskan dasar negara. Pada kondisi inilah perdebatan menyoal konsepsi dasar negara dimulai. Mereka dihadapkan pada pilihan: konsepsi apa yang cocok untuk negara ini? Apakah negara ini mau dijadikan sekuler atau Islam?

Perbedaan latar pendidikan dan aliran politik founding fathers kerap kali menjadi latar pergulatan dan perdebatan itu terjadi. Corak pemikiran para founding fathers Indonesia sejak masa pergerakan kebangsaan itu terdiri dari kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis agama (Islam).

Nasionalis sekuler dimaksudkan kepada golongan yang mendapatkan pendidikan barat atau pendidikan dari pemerintah Hindia Belanda. Maka dalam menyoal perumusan dasar negara, golongan itu tidak menghendaki dasar negara ini berasaskan pada agama tertentu. Sementara itu, golongan nasionalis agama menjadi kebalikannya. Mereka mengehendaki Indonesia menjadi negara agama (Darul Islam). Biasanya atau kecenderungannya, golongan nasionalis agama ini terlahir dari tradisi keislaman yang kental dan berasal dari kalangan pesantren (meski tidak semuanya).

Berbagai perdebatan dan pertentangan terjadi dalam perumusan dasar negara itu hingga melahirkan suatu konsepsi yang dikenal dengan “Piagam Jakarta” 22 Juni 1945. Hanya saja, sila pertama pada “Piagam Jakarta” ini mendapatkan protes dari golongan minoritas (non muslim dan masyarakat Indonesia timur). Mereka berpandangan sila pertama pada Piagam Jakarta itu tidak mengakomodir suara dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, perubahan pada sila pertama dilakukan, dari “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Tentu perubahan itu teramat penting dilakukan guna mengakomodir semua golongan dan kelompok masyarakat Indonesia. Dengan demikian, Pancasila dianggapnya sebagai “jalan tengah”, kalimatun sawa, antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis agama. Pun menjadi titik temu atas keragaman budaya, agama, ras, suku dan aliran politik yang tersebar di seantero Indonesia.

Ini membuktikan bahwa Pancasila – yang ditetapkan sebagai dasar negara pada Sidang PPKI 18 Agustus 1945 – itu bukan hanya milik satu golongan saja, tetapi menjadi ideologi yang merangkul semua golongan. Sehingga Pancasila menjadi ideologi yang “inklusif”. Yang mencerminkan karakteristik dan jati diri bangsa Indonesia. Dapat dibayangkan, andai saja perubahan sila pertama itu tidak dilakukan, disintegrasi akan mengiringi negara yang baru merdeka ini.

Keberadaan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara terus mengalami berbagai ujian. Pada awal kemerdekaan atau masa revolusi, selain dihadapkan pada perang fisik melawan Sekutu dan Belanda yang merongrong kedaulatan negara, bangsa ini dihadapkan pula pada konflik-konflik internal dalam negeri. Sebut saja pemberontakan PKI di Madiun 1948 dan DI/TII yang meletus di berbagai daerah di Indonesia (1949-1962). PKI dengan ideologi komunis-nya dan DI/TII dengan faham Islam-nya mencoba meruntuhkan ideologi Pancasila.

Ujian selanjutnya adalah ketika Bung Karno mengusulkan tiga konsepsi besar dalam sejarah konstitusi Indonesia, yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom). Terbentuknya tiga ideologi itu sebagai hasil pemilu 1955 dan hasil sidang konstituante 1957. Pertentangan kembali mengemuka. Founding fathers terbelah antara yang PKI dan anti-PKI. Konflik-konflik kepentingan dan ideologi pun tak terhindarkan sampai pada titik di mana terjadi krisis politik pada 1965; ditandai dengan terjadinya peristiwa G 30 S (Gestapu). Peristiwa berdarah yang memekatkan langit Indonesia saat itu dan melahirkan pula krisis ekonomi. Akibat dari peristiwa itu, secara politik, kekuasaan Orde Lama Presiden Soekarno lenyap dan berganti kepada Presiden Soeharto yang dikenal dengan pemerintahan Orde Baru. Beralihnya kekuasaan pada pemerintahan Orde Baru saat itu dianggap sebagai kemenangan Pancasila. Sebab kekuatan PKI dengan ideologi komunismenya yang semula cukup kuat telah binasa di bawah kuasa Orde Baru.

Alih-alih dalam rangka memurnikan Pancasila, maka di awal-awal pemerintahannya, Orde Baru menetapkan kebijakan asas tunggal Pancasila. Pancasila harus menjadi satu-satunya asas dalam berorganisasi maupun politik. Presiden Soeharto menerapkan asas tunggal Pancasila sebagai konsekuensi atas pengalaman sejarah yang terjadi selama pemerintahan Prseiden Soekarno (Orde Lama). Dasar historis itulah  yang memicu asas tunggal Pancasila diterapkannya. Dengan maksud agar stabilitas politik relatif terkendali.

Hanya saja, pada sisi lain dan praktiknya, penerapan asas tunggal Pancasila itu justru menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dikemudian hari. Yang pada prinsipnya justru mengerangkeng kehidupan sosial-politik masyarakat Indonesia. Atas nama Pancasila, pemerintah Orde Baru menghabisi lawan-lawan politiknya. Pancasila menjadi begitu “dimistifikasi” dan “disakralisasikan”. Akhirnya malah menciderai Pancasila itu sendiri. 

Namun terlepas dari itu pelajaran penting yang dapat kita tangkap atas beberapa kejadian dan peristiwa yang menguji “kesaktian” Pancasila itu adalah bahwa Pancasila sejak awal dirumuskan dan ditetapkannya hingga saat ini, tetap menjadi keyakinan bangsa dan masyarakat Indonesia. Untuk itu keberadaannya sampai sekarang tidak tergoyahkan meskipun sapuan badai begitu dahsyat. Semoga keperkasaan Pancasila terjaga bukan hanya hingga saat ini saja, melainkan abadi hingga “seribu” atau “jutaan” tahun kemudian. Selamat memperingati hari lahir Pancasila. ***


Terbit pada 2 Juni 2020, di Harian Umum Kabar Cirebon. 


Tahun 2003, Daniel Dhakidae – sejarawan jebolan Universitas Cornell, Amerika Serikat – berhasil menerbitkan buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Ditebitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku itu secara serius dan komprehensif mengupas bagaimana hubungan Cendikiawan Indonesia dengan pemerintahan Orde Baru.


Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru tergolong buku tebal, dengan jumlah 790 halaman, sehingga untuk membacanya memerlukan waktu yang relatif tidak singkat. Belum lagi dengan banyaknya pemakaian kata dan/atau istilah ‘asing’, membuat pembaca harus lebih khusyuk lagi dalam mencerna kalimat per-kalimatnya.

 

CSIS

Salah satu ‘kelompok’ yang dibicarakan dalam buku tersebut adalah CSIS – kependekan dari Centre Strategic for Internationale Studies. Didirikan pada 1 September 1971 oleh kelompok intelektual sipil dan militer. Dari kalangan sipil, tersebutlah, Harry Tjan Silalahi, Jusuf dan Sofjan Wanandi, Daoed Joesoef. Sementara dari kalangan militer, ada Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.


Organisasi itu tugasnya melakukan kajian-kajian yang kemudian dijadikan bahan masukan terhadap pemerintah yang bersifat strategis dalam bentuk studi akademi. Kedudukannya dalam pemerintahan bersifat independen, berada di luar struktur pemerintah. Meski demikian, hubungannya dengan pemerintah terjalin amat begitu erat. Nyaris tiap-tiap kebijakan pemerintah Orde Baru saat itu merupakan buah pikiran CSIS sebagai perumusnnya. Paling tidak CSIS turut andil di dalamnya. Karena itu, CSIS sering disebut-sebut sebagai “dapur”-nya Orde Baru. Keintiman tersebut dapat terbaca karena posisi Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani sebagai orang CSIS, pada satu sisi. Pada sisi lain, Ali dan Soedjono menduduki jabatan Aspri Presiden Soeharto dalam pemerintahan.


Relasi orang-orang CSIS dengan Soeharto (simbol Orde Baru) sebetulnya sudah cukup lama terjalin. Relasi itu bukan saja menempatkan Ali Moertopo dan Soedjono Homardani yang sama-sama aktif di militer bersama Soeharto sejak perang kemerdekaan. Akan tetapi, dalam konteks ini, hubungan persahabatan Harry Tjan atau Jusuf-Sofjan Wanandi sebagai kelompok intelektual sipil dengan Soeharto.


Adalah tragedi kelam G 30 S yang menjadi jembatan perkenalan Harry Tjan dkk, di CSIS dengan Soeharto, Ali Moertopo, atau elit militer Orba lainnya. Harry Tjan dan Wanandi bersaudara (Jusuf dan Sofjan) merupakan aktivis sekaligus intelektual muda Katolik. Garis perjuangan kelompok Katolik sama dengan kebanyakan rakyat Indonesia kala itu, yakni kontra-Komunis (PKI).


Bersama TNI AD (khususnya) yang dimotori Soeharto, mereka turut menyingkirkan PKI beserta “onderbouw”-nya. Kelompok Katolik itu tergabung dalam front Pancasila dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) bersama aktivis lainnya yang berbeda latar organisasi, namun satu tujuan untuk melawan PKI.


Keterlibatan Harry Tjan dan Wanandi bersaudara dalam menyingkirkan PKI salah satunya melalui aksi yang dikenal dengan Tritura. Aksi massa besar-besaran yang kemudian menyebabkan berakhirnya Presiden Soekarno. Keterangan barusan disampaikan panjang lebar oleh Jusuf Wanandi dalam memoarnya (2014), Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik 1965-1998.


Zaman berganti, kekuasaan pun beralih pada Soeharto. Singkat cerita, perjuangan Harry Tjan dan kelompok muda Katolik lainnya untuk Indonesia berlanjut di era pemerintahan Soeharto melalui CSIS. Jusuf Wanandi (2014) mengungkap alasan dirinya dan teman-temannya membentuk CSIS dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran pada pemerintah, namun dalam wadah yang lebih profesional dan independen.


Jusuf melanjutkan, CSIS mengambil posisi berada di luar pemerintah, supaya menjadi lembaga kredibel di mata masyarakat internasional. Kehadirannya diterima pemerintah dan dunia internasional, tapi tanpa menyensor kegiatan-kegiatan yang kami kerjakan.


Banyak peran yang dilakukan CSIS dalam panggung politik Orde Baru, misal saja, dalam upaya memulihkan hubungan Indonesia-Malaysia yang selama kepemimpinan Soekarno terlibat dalam satu konfrontasi, hingga tercetusnya organisasi ASEAN di Thailand pada 1967. Daripada itu, CSIS berperan juga dalam upaya pembebasan Irian Barat dan aneksasi timor-timor 1974-1975, misalnya.


Dari beberapa peran yang melibatkan CSIS dalam penentuan kebijakan Orde Baru, namun tak sedikit pula yang memandang CSIS terlibat dalam upaya mendeislamisasi peran politik umat Islam seperti yang dituduhkan George Aditjondro (Sembodo, 2009). Ia menyebut, “CSIS adalah jaringan yang dibuat Pater Beek, agen CIA yang ditugasi semula untuk menghancurkan Komunisme di Indonesia. Setelah Komunis tersingkir, mereka juga bercita-cita melenyapkan kekuatan kelompok Islam, karena baginya ancaman terbesar politik mereka setelah PKI lenyap adalah kelompok Islam”.


Itu yang kemudian sebagian orang atau pihak menghubungkan mereka “anti-Islam”, terlebih ketika terjadinya kerusuhan Tanjung Priok 1984 seperti di ungkap Sembodo. Sembodo (2009) menyebut, bahwa otak kerusuhan di Tanjung Priok adalah CSIS dan L.B. Moerdani. Kerusuhan itu disetting bagian dari upaya mendelegitimasi kekuatan umat Islam, sebagaimana yang sudah jauh-jauh hari dilakukan Ali Moertopo bersama Opsus dalam membatasi peran politik umat Islam.


Memang upaya itu menjadi salah satu agenda pemerintah Orde Baru di awal kekuasaannya. Mereka memandang setelah Komunisme lenyap, kekhawatiran sekaligus ancaman untuk bangsa ini adalah kekuatan kelompok Islam. Alasan itu mendasarkan pada faktor histori; pernah meletusnya pemberontakan DI/TII 1949-1962, juga sebagai upaya menegakkan Pancasila sebagai asas tunggal.


Merangkul Islam

Akan tetapi, sikap politik Soeharto yang mengabaikan peran politik umat Islam berputar sedemikian rupa, semula “menggebuk” Islam jadi merangkul Islam. Berubahnya sikap politik Soeharto itu, setidaknya saya melihatnya dipengaruhi oleh dua faktor.


Faktor eksternal, mendekatnya Soeharto pada kelompok Islam dipengaruhi karena pecahnya Revolusi Iran 1979. Suatu revolusi terbesar ketiga dalam catatan sejarah dunia pada periode kontemporer (setelah Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika). Ini menjadikan Soeharto khawatir memberikan efek domino pada negara-negara lain, termasuk menimpa Indonesia.


Terlebih, secara internal, umat Islam di Indonesia diperlakuan “kurang menyenangkan” sebelumnya. Mungkin saja Soeharto berpandangan, kelompok Islam bisa jadi bom waktu, yang dapat meletus sewaktu-waktu. Ditambah setelah kondisi di dalam negeri mengalami gejolak buntut dari Kerusuhan di Tanjung Priok 1984 dan Kerusuhan Talangsari pada 1989. 


Maka dalam upayanya merangkul kelompok Islam, Soeharto memutuskan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada umat Islam, seperti diperbolehkannya penggunaan jilbab bagi pelajar dan pegawai-pegawai kantoran. Kemudian, didirikannya Bank Muamalat. Dalam bidang organisasi keagamaan, Soeharto merestui pendirian ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) pada 7 Desember 1990. Bahkan ICMI menjadi lembaga “think-thank” Soeharto berikutnya, menggeser kelompok CSIS yang dipersona non-gratakan pada 1988 – seiring pudarnya pengaruh L.B. Moerdani.


Tak kalah penting lagi, di dalam tubuh militer (ABRI) pun terjadi restrukturisasi kepemimpinan. Pasca dimutasinya L.B. Moerdani beserta orang-orang dekatnya dalam pucuk pimpinan ABRI, Soeharto menempatkan jenderal-jenderal yang kental keislaman untuk menjadi pimpinan ABRI, sebagaimana Feisal Tanjung menjabat Panglima ABRI dan Rd. Dharsono sebagai KSAD.


Berubahnya sikap politik Soeharto seperti yang telah disebut di atas, konon, ini yang membuat “barisan sakit hati” terlibat dalam kerusuhan Mei 1998 hingga pada momentum Soeharto lengser keprabon. Benarkah demikian? Wallahu’alam Bishawab.


Tentu dibutuhkan proses pengkajian yang tidak sembarangan dan penuh kehati-hatian. Yang jelas, dalam konteks ini, memberikan keterangan bahwa posisi cendikiawan (sipil) telah memberikan daya tarik Soeharto, untuk turut berkontribusi dalam peroses kebijakan pemerintahannya. Keberadaan intelektual sipil mewarnai khasanah pembangunan di masa Orde Baru yang identik dengan militer. Dalam konteks ini juga, bahwa keberadaan mereka tidak berada pada posisi objek, melainkan subjek kebijakan.


Semoga sepenggal kisah mengenai Orde Baru yang ditulis pada momentum 22 tahun reformasi ini bermanfaat adanya dan kita dapat mengambil pelajaran dari tiap-tiap kejadian untuk kemudian kita jadikan cerminan di hari ini dan masa mendatang. Karena itulah esensi belajar dari sejarah.



Terbit pada 20 Mei 2020, di Harian Umum Kabar Cirebon 

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *