Oleh Galun Eka Gemini
PENDAHULUAN
Manusia
merupakan mahluk bermasyarakat, itulah fakta yang ada. Masyarakat terbentuk
atas dorongan dari manusia itu sendiri. Terkait dengan itu, dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat, manusia dihadapkan dengan norma dan hukum khususnya di
negara Republik Indonesia.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi hukum, baik hukum lisan
maupun hukum tertulis. Maka dari itu, Indonesia disebut sebagai negara hukum.
Secara normatif, hukum memliki fungsi represif. Artinya bertujuan sebagai
pengendali/kontrol, alat stabilitas dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara
dari perilaku-perilaku warganya yang dianggap menyimpang.
Kendati
demikian, sekalipun Indonesia dikenal sebagai negara hukum, tidak berarti bahwa
Indonesia merupakan negara yang aman, tertib, dan jauh dari perilaku-perilaku
yang dinilai menyimpang dari norma/aturan/hukum. Salah satu perilaku menyimpang
yang banyak kita jumpai bahkan dinilai “kronis” di Indonesia adalah fenomena korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang terus menggerogoti wajah republik ini. Perilaku korupsi,
kolusi, dan nepotisme di Indonesia
boleh dikatakan sudah menuju ketahap
budaya karena korupsi sepertinya sudah menjadi virus yang telah mendarah daging
hingga menjadi sangat sulit untuk diberantas.
Pada
umumnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan
menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara.
Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak memihak kepentingan bersama
(egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum, dan terlebih melanggar
aturan agama.
Alasan
inilah yang mendasari penulis untuk membahas permasalahan mengenai perilaku korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang dewasa ini menjadi trending topic tiada henti-hentinya di Indonesia.
PENDEKATAN - PENDEKATAN
1. Pendekatan Historis
Perkembangan peradaban
dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Modernisasi
ternyata pada perkembangannya bukan hanya membawa dampak yang bersifat positif,
bahkan sebaliknya. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi menyentuh semua
sendi kehidupan baik yang bersifat positif maupun negatif tampak lebih nyata.
Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti
perkembangan zaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih
dan bervariatif. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan
senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu
menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring
dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan
dunia maya (cybercrime), tindak
pidana pencucian uang (money laundering),
tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak
pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini, khususnya Indonesia
adalah tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sesungguhnya fenomena
korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia
sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini
sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan
bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia zaman penjajahan yaitu
dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada
penguasa setempat serta keruntuhan VOC sebagai penguasa pada waktu itu yang
disebabkan oleh perilaku yang sama, yaitu korupsi.
Kemudian setelah perang
dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di negara yang
sedang berkembang, negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini
sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak
langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon
Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak
revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak
mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan
masalah korupsi.
Titik klimaks dari
perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia terjadi pada tahun 1998
yang dikenal dengan “Peristiwa Reformasi Indonesia 1998.” Salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya peristiwa reformasi 1998, adalah perilaku korupsi
yang menggila dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroniknya. Betapa besar dampak
yang ditimbulkan dari perilaku ini sehingga menyebabkan terjadinya krisis
moneter. Maka dari itu pada era reformasi, perilaku ini menjadi agenda penting
yang harus diperhatikan sebagai monster yang mengancam keutuhan negara Republik
Indonesia.
2 Pendekatan Sosiologis
Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Apapun bentuk pemerintahannya, dalam prakteknya itu sangat rentan
akan tindak korupsi di dalamnya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi yang muncul di
bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi
atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.
Di dalam bidang studi
ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa
perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling
sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa
perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar
secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang
juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi merupakan sikap
dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam
melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas
tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori,
sebagai contoh kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang
saudara bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi tetapi orang lain, manajer
tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah
mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri,
sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME SERTA RUANG LINGKUPNYA
1. Pengertian Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Korupsi
Secara epistimologi, korupsi
berasal dari bahasa Latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere, yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency International adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
§ Perbuatan
melawan hukum;
§ Penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana;
§ Memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
§ Merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat
beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
§ Penggelapan
dalam jabatan;
§ Pemerasan
dalam jabatan;
§ Ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
§ Menerima
gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Menurut Black’s Law
Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain
secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan
kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Menurut
Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas
korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan
pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum,
dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar
biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.
Kumorotomo berpendapat bahwa “korupsi adalah
penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi
dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut
Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan
yang tidak mengandung kekerasan (non-violence)
dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),
ketidakjujuran (deceit) dan
penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Kolusi
Kolusi adalah suatu
kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara
negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
Di
dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat
beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama.
Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana
keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan
mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi
berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
kolusi merupakan sikap
dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam
melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau
fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Nepotisme
Nepotisme adalah
tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan kata lain, nepotisme berarti lebih memilih saudara atau
teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini
biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang
manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang
yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah
karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi
terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari
pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal
dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad
Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup yang telah mengambil janji
“chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan
kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya
sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya
menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan
“dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja,
mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian
menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi
Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik
kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III.
Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun
dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus
Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada
tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk
mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan
pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan
seorang Kardinal.
2. Pengertian Penyimpangan Sosial
Secara sosiologis
dan generally prilaku
menyimpang atau penyimpagan sosial dapat diartikan sebagai setiap
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik
dalam sudut pandang kemanusiaan (agama)
secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian dari pada makhluk sosial.
Menurut arti bahasa
yang termuat dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (KLBI), perilaku menyimpang diterjemahkan sebagai
tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan
yang mengacu pada norma-norma dan hukum
yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti itu atau penyimpangan perilaku
atau bisa disebut juga perilaku menyimpang terjadi karena ketika seseorang mengabaikan
norma, aturan, atau tidak mematuhi patokan baku, berupa produk hukum baik yang
tersirat maupun tersurat dan berlaku di tengah masyarakat. Sehingga
perilaku-pelakunya sering disematkan dengan istilah-istilah negatif, yang
notabene dianggap kontraproduktif
dengan aturan yang sudah ditetapkan atau terdapat di dalam norma-norma maupun
hukum agama dan negara. Adapun definisi prilaku menyimpang menurut para
ahli sosiaologi ialah ;
1.
James Vander Zanden
Perilaku meyimpang ialah Perilaku
yang dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas toleransi oleh
sejumlah besar orang.
2.
Robert M. Z. Lawang
Perilaku
menyimpang ialah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dan menimbulkan usaha dari
mereka yang berwenang untuk memperbaiki hal tersebut.
3.
Bruce J. Cohen
Perilaku
menyimmpang ialah Setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (
tidak bisa bersosialisasi/beradaptasi ) dengan kehendak-kehendak masyarakat.
4.
Paul B. Horton
Perilaku menyimpang ialah setiap
perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau
masyarakat.
Jadi
dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa prilaku menyimpang (deviasi
sosial) adalah semua bentuk perilaku penabrakan terhadap norma-norma sosial
yang ada. Perilaku penyimpangan dapat terjadi di mana saja, baik dalam lingkung
keluarga, sekolah maupun di masyarakat. artinya, secara konteks perilaku
menyimpang bersifat menyeluruh tidak memandang lingkungan yang satu dengan yang
lainnya.
3. Sanksi Bagi Pelaku Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (Koruptor)
Secara normatif, korupsi, kolusi, dan
nepotisme merupakan perilaku yang menyimpang, dan dianggap melawan hukum.
Setiap pelanggaran yang melawan hukum sesungguhnya membawa sanksi atau hukuman
yang ditujukan kepada pelanggarnya. Bentuk hukuman terhadap para koruptor di
sebuah negara itu berbeda-beda, misal ada yang berupa penjara, suntik mati,
hukum pancung, dan lain-lain. Di Indonesia, bentuk hukuman yang diberikan
terhadap para koruptor berupa hukuman penjara. Terlepas masalah lama tidaknya
waktu tahanan tergantung kepada seberapa besarnya uang negara yang dikorupsi.
Fokus
kepada masalah sanksi terhadap koruptor di Indonesia, berdasarkan analisis
penulis hukuman yang ditujukan kepada para koruptor masil lemah, artinya belum
memberikan efek jera sehingga perilaku tidak terpuji ini seolah-olah tidak bisa
diredam bahkan dianggap sudah menjadi “trend” bagi masyarakat tepatnya para
pejabat yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan secara politis.
Faktor lain yang menyebabkan ketidak
efektifan dalam pemberian sanksi ini, diakibatkan oleh para aparatur negaranya
pun yang relatif masih banyak memiliki mental korup. Artinya, para penegak
hukum yang seharusnya menindak dan memberi sanksi terhadap para koruptor pada
kenyataannya malah “melindungi” koruptor itu sendiri. Hal seperti ini
mengingatkan kita terhadap kasus penahanan Artalita Suryani yang di tahan di
Lembaga Pemasyarakatan, akan tetapi ruang tahanannya disulap dengan uang
pelican bak seperti hotel bintang lima. Contoh lain terkait dengan ini adalah kasus
yang menimpa gayus tambunan aktor mafia pajak yang dikatakan menjadi tersangka
dan telah mendekam di sel penjara, namun mengapa bisa sel penjara yang menjadi
tempat para pelaku kejahatan seharusnya di tahan, bagi gayus sel itu hanya
sebagai tempat peristirahatan. Dia bahkan dapat dengan leluasa bergerak bebas
meninggalkan penjara dan jalan-jalan ke singapura serta bali. Yang perlu
dipersalahkan disini adalah hukumnya atau implementasi dari hukum tersebut yang
dimana terdapat orang-orang kurang bertangung jawab dalam melaksankan tugas
negara.
Menurut Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Saldi Isra, mengusulkan agar pelaku
tindak pidana korupsi dihukum dengan berbagai hukuman yang menyebabkan pelaku
jatuh miskin. Sebab, hukuman penjara yang lama ternyata belum berpengaruh
signifikan terhadap perilaku korupsi. Bagi pelaku yang memiliki uang banyak,
hukuman dua tiga tahun penjara tidak masalah. Setelah keluar dari penjara, ia
masih tetap bisa menggunakan kekayaan dan kekuasaannya untuk mengulangi
perbuatan. Oleh karena itu, salah satu alternatif hukuman yang dianggap
menimbulkan efek jera adalah pemiskinan pelaku. “Miskinkan pelaku korupsi,”
ujarnya.
Selanjutnya masih
menurut Saldi Isra, sudah menjadi psikologis orang Indonesia lebih malu jatuh
miskin daripada masuk penjara. “Sudah menjadi psikologi orang Indonesia takut
miskin.” Jika pelaku hanya masuk penjara dan membayar sejumlah denda dan uang
pengganti, pelaku yang punya kekayaan berlimpah tidak akan terpengaruh. Efek
pemidanaan tidak akan seperti yang diharapkan. Jika pemiskinan yang dipilih,
Saldi yakin dampaknya akan lebih terasa. “Akan beda dampaknya dengan pola hukuman
yang dilakukan saat ini.”
4. Dampak dari Perilaku Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme
Sebagaimana yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya, perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme memiliki
implikasi yang sangat urgen bagi pertumbuhan sebuah negara. Secara
umum, implikasi yang ditanggung akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat
tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. Selanjutnya menyebabkan mandetnya pertumbuhan negara dan
mengakibatkan kehancuran (instabilitas) bagi negara.
Disadari bahwa permasalahan korupsi
merupakan persoalan nasional yang harus diprioritaskan penanganannya. Dampak
korupsi telah muncul berbagai persoalan antara lain :
1.
Bidang Politik (Demokrasi)
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Didalam
dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahanyang baik (good governance)dengan
cara menghancurkan proses formal. Singkatnya, menyebabkan runtuhnya lembaga dan nilai- nilai demokrasi. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas
dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi disistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi dipemerintahan publik menghasilkan
ketidak-seimbangan dalam pelayananmasyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis
kemampuan institusi daripemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, danpejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan
nilaidemokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2.
Bidang Ekonomi
Korupsi juga mempersulit
pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos
manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yangmenyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya
mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan
distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke
proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek
korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga
mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau
aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan
terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa
salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama
di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri. Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang
sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan
kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum,
dan lain-lain.
3.
Bidang Kesejahteraan Negara
Bidang Kesejahteraan
NegaraKorupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancamanbesar bagi
warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas.Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat
peraturan yangmelindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaankecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya
mengembalikanpertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besarkepada kampanye pemilu mereka.
Selanjutnya Mc Mullan
menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong
perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan dampak korupsi
diatas adalah sebagai berikut :
1.
Tata ekonomi seperti larinya modal
keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.
Tata sosial budaya seperti revolusi
sosial, ketimpangan sosial.
3.
Tata politik seperti pengambil alihan
kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah,
ketidakstabilan politik.
4.
Tata administrasi seperti tidak efisien,
kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber
negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan
represif.
5. Upaya Pemberantasan Perilaku Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme
Berbicara
mengenai perilaku korupsi sesungguhnya merupakan tanggung jawab semua warga
negara dalam mencari pemecahan serta pemberantasannya, karena pada hakikatnya
buah dari perilaku tersebut akan merugikan semuanya tidak tertuju pada satu
golongan, individu, ataupun kelompok. Namun peran pemerintah sebagai wadah atau
pihak yang sangat bertanggung jawab harus dimaksimalisasikan. Pemerintah dituntut
harus memfasilitasi dan merealisasikannya dalam rangka pemberantasan korupsi,
seperti contoh dengan mendirikan sebuah badan yang bertanggung jawab untuk
memberantas korupsi.
Di
Indonesia, badan atau lembaga yang bertanggung jawab dalam pemberantasan
korupsi dikenal dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi
“martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
1. Membangun
kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2. Mendorong
pemerintah melakukan reformasi publik dengan mewujudkan good governance.
3. Membangun
kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan
keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu
aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
Selain
itu, Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1). Upaya Pencegahan (Preventif)
a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan
mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal,
informal dan agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip
keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana
dan memiliki tanggung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai
dan ada jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin
kerja yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki
tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang
mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi
organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta
jawatan di bawahnya.
2).
Upaya Penindakan (Kuratif):
Upaya
penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan diberikan
peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa
contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam kasus Bank Century.
b. Kasus korupsi kakak-beradik, Anggodo dan Anggoro Widodo
terkait korupsi Radiokom.
c. Dugaan Korupsi yang ditujukan kepada Komjen Susno Duadjo
terkait dana pengamanan dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat pada tahun 2008.
d. Menahan Nazrudin, Angelina Sondakh, dan Anas Urbaningrum
terkait proyek Hambalang Bogor.
e. Menahan Luthfi Hasan Ishak, Presiden PKS dalam kasus
impor daging sapi, dst.
3).
Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan
berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat
luas.
4).
Upaya
Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
a. Indonesian Corruption Watch (ICW) adalah organisasi
non-pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di
Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan
praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah
gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas
korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi
internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman
sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang
bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang
terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai
kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun,
Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya,
Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
DAFTAR SUMBER
· Sumber Buku
Hartanti, Evi. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika:
Jakarta.
Simanjuntak, B. (1981).
Pengantar Kriminologi dan Pantologi
Sosial. Tarsino: Anonym.
· Sumber Internet
Anonym.
(2009). Sanksi Pemiskinan Pelaku Korupsi
Bisa jadi Alternatif. [Online]. Tersedia di http://www.hukumonline.com [diakses tanggal 18 Mei 2013].