Oleh: Galun Eka Gemini
Pengantar
Pengantar
Pertama-tama--sebelum memulai ke pembahasan--yang harus penulis kemukakan terlebih dahulu adalah bahwa tulisan ini sebetulnya dideduksi dari hasil perkuliahan penulis selama ini, tepatnya sewaktu menempuh studi pada program Pascasarjana (S-2) di Fakultas Ilmu Budaya, Konsentrasi Ilmu Sejarah, Universitas Padjadjaran (Unpad) dan juga bersumber dari kajian atas bacaan-bacaan penulis dari beberapa literatur: buku, artikel, jurnal; dan internet. Jadi bukan berdasar kajian induktif hasil penelitian lapangan.
Awalnya ketertarikan penulis terhadap kajian ini (seputar dunia pesantren), selain pernah menempuh mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, juga bermula dari hasil obrolan-obrolan santai bersama rekan-rekan dari PMII Komisariat UPI, terutama Sahabat M. Ilham Gilang yang kala itu (antara tahun 2013-2015) pernah juga menjadi teman “satu atap” sewaktu kami berdua diberikan amanah oleh Sekum LP. Ma’arif--Dr. Agus Mulyana--untuk menjadi kuncen kantor PW. LP. Ma’arif (di Komp. Kiara Sari Asri, Jl. Terusan Kiara Condong-Bandung).
Kembali pada ruanglingkup dari tulisan ini, khusus di sub-bab kedua pembahasan: “Peran Pesantren sebagai Pusat Perlawanan”, secara spasial penulis menjadikan wilayah Priangan Timur sebagai sampel/kajian identifikasi bahasan, meskipun tidak semuanya pesantren-pesantren yang ada di Priangan Timur penulis tulis atau paparkan satu persatu. Ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, sumber, juga waktu penulis mulai dari proses heuristik sumber, mengkaji, juga menuliskannya. Adapun yang dimaksud Priangan Timur di sini adalah hanya tertuju pada Kota Banjar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Garut saja. Artinya, minus Ciamis, Sumedang, Bandung Raya, bahkan kalau sekarang; berikut Pangandaran bila dilihat secara peta administratif wilayah kabupaten di Priangan Timur. Kendati demikian, penulis yakin adanya pemaparan salah satu pesantren yang secara spasial ada di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Kota Banjar, itu sudah dapat dikatakan merepresentasikan wilayah Priangan Timur.
Penulis menyadari tulisan ini tidaklah sempurna dan komprehensif, “tak ada gading yang tak retak”, barangkali itulah pepatah yang cocok disematkan untuk tulisan ini. Oleh karenanya, penulis akui tak pelak lagi masih banyak kekurangan dari sana-sini. Dengan demikian, penulis terbuka segala saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca guna perbaikan dan “penyempurnaan” kualitas tulisan ini dapat terwujud.
Sejarah dan Peran Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai teori
masuknya Islam ke Indonesia, demikian yang tercatat dalam buku-buku sejarah
Indonesia selama ini. Begitu pula mengenai ragam pendapat para ahli tentang
saluran-saluran proses penyebaran Islam di Indonesia, seperti melalui
pendidikan atau dakwah misalnya.[1]
Dalam konteks ke-Indonesiaan, pesantren difahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional. Sebab, keberadaan
pesantren diperkirakan muncul seiring masuknya gelombang
agama Islam
ke Indonesia, sekaligus dianggap salah satu lembaga pendidikan
tertua yang ada di Indonesia jika disandingkan dengan lembaga pendidikan
lainnya (Junus, 1960: 9). Pemahaman itu disandarkan kepada perjalanan sejarah
pendidikan di Indonesia.
Peran pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan
kehadirannya menempati posisi penting dalam penyebaran agama Islam. Dikatakan
demikian, karena kegiatan pembinaan
calon-calon guru agama atau ustadz, kyai-kyai, atau ulama-ulama hanya terjadi
di lingkungan pesantren yang pada akhirnya akan ditularkan kembali kepada
masyarakat luas (Kusdiana, 2104: 2).[2]
Itulah sebabnya,
pesantren dikatakan sebagai saksi utama
dalam proses penyebaran Islam di Indonesia maupun dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan keagamaan masyarakat.
Di samping itu, peran dan eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah ada sejak lama mampu
mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia, sosial-budaya
masyarakat Islam, maupun politik bangsa Indonesia di satu
sisi.
Pada sisi lain, pesantren
bukan hanya membangun tradisi ilmiah-keilmuan dengan kyai atau ajengan sebagai sentral intelektual,
tetapi juga mampu membangun tradisi sosial-budaya yang memposisikan masyarakat
bukan hanya objek, melainkan sebagai subjek yang kelak secara bersamaan telah
berhasil membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia,
terutama dalam aspek keagamaan dan pendidikan.
Secara etimologis, pesantren berasal dari kata “santri” yang diberi
awalan “pe” di depan dan akhiran “an”, berarti asrama tempat tinggal para
santri. Pandangan serupa keluar dari KH. Abdurahman Wahid (2001: 17), secara
teknis pesantren adalah tempat tinggal santri. Sedangkan, pengertian santri dan
asal usul kata santri itu sendiri menurut pandangan beberapa para ahli
sebagaimana yang dikutip oleh Dhofier (2011: 41) antara lain: Jhons menyatakan,
kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara itu,
C.C. Berg berpendapat santri berasal dari istilah “shastri” diambil dari bahasa India, yang berarti orang yang
mengetahui dan cakap pada kitab-kitab suci agama Hindu. Kata “shastri” berasal dari kata “shastra” yang berarti buku-buku suci,
buku-buku tentang keagamaan, atau buku-buku ilmu pengetahuan.
Terlepas dari perdebatan kedua ahli tersebut, jelas bahwa dari aspek
etimologi pendapat Jhons dan C.C. Berg, keduanya memiliki kesamaan prinsip
bahwa kata santri ditujukan terhadap pihak yang menggeluti tentang kitab-kitab
suci keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Keberadaan pesantren di Pulau Jawa pada umumnya berada di luar kota–yang jauh dari tempat keramaian; di luar pemukiman
penduduk yang sudah ada sebelumnya (pinggiran desa) atau di daerah pegunungan.
Demikian juga Lubis et.al., dalam
bukunya (2011: 29-30) menyatakan, pesantren lebih dimaknai sebagai sebuah
komunitas independen yang tempatnya jauh, berada di daerah pegunungan dan
berasal dari lembaga pendidikan jenis pra-Islam, yakni mandala atau paguron.
Namun di beberapa daerah, seperti di daerah Sukabumi, ada pesantren yang sejak
masa kolonial telah berdiri di dalam kota, di antaranya: Pesantren Cipoho; dan
Pesantren Gunung Puyuh, yang keduanya berada di dalam Kotamadya Sukabumi
(Iskandar, 2001: 91).
Sementara itu, Karel A. Steenbrink secara tegas menyatakan bahwa
pendidikan model pesantren berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam
di Indonesia berlangsung, model pendidikan ala pesantren telah dipergunakan
secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Indonesia, terutama di Jawa. Setelah Islam
masuk dan tesebar di Jawa, model semacam itu kemudian diambil oleh Islam
(Steenbrink, 1986: 20-21; Lubis, et.al.,
2011: 30). Oleh karenanya, K.H. Syarif Rahmat mengumpamakan lembaga pendidikan–sejenis
pesantren, mandala, atau asrama
–diibaratkan sebuah wadah atau gelas, dan ajaran keagamaan bagian dari isi
gelas itu sendiri. Setelah pengaruh Islam masuk ke Indonesia, maka gelas yang
awalnya berisi “ajaran Hindu”, kemudian
diganti dengan isi yang baru, yakni agama Islam (Rahmat, 2014: dalam acara
Damai Indonesia dengan tema ”Wajah Islam Nusantara”) [di akses 28 Februari
2015].
Uraian di atas semakin dipertegas oleh Maarif (1985: 56) yang menyebut, bahwa pola dan
sistem pembelajaran yang diterapkan di pesantren merupakan hasil persilangan
antara sistem pembelajaran dari budaya Hindu dengan mengkonversi nilai-nilai dan ajaran ke-Islaman. Perbedaannya, pesantren diperuntukan bagi semua masyarakat yang
berasal dari berbagai lapisan dan pranata sosial, dari masyarakat kelas atas
hingga kelas bawah, dari golongan elit hingga cacah (egaliter). Sedangkan
lembaga pendidikan pada masa Hindu lebih diperuntukan bagi masyarakat kelas
atas atau kaum priyayi saja, sehingga terkesan bersifat memihak[3].
Studi mengenai pesantren pernah dilakukan juga oleh Zamarkhasy Dhofier. Dhofier
(2011: 83) menyebutkan,
pesantren sebagai lembaga pendidikan terdiri dari lima unsur, di antaranya: kyai
(guru); santri (siswa); pondok[4] atau kobong; mesjid;
dan pengajaran kitab-kitab klasik atau seringkali dikenal dengan sebutan kitab kuning. Adapun
kelima unsur yang telah diurai barusan, kyai dan santri merupakan unsur yang
paling esensial dalam pondok pesantren. Hubungan kyai dan santri seperti dua
variabel yang bersifat komplementer atau saling melengkapi, santri belajar di
bawah bimbingan kyai atau ajengan dan
santri secara tidak langsung menjadi penghubung
kyai dengan penduduk kampung luar pesantren dan sekaligus menjadi semacam alat
promosi kyai dan pesantrennya (Iskandar, 2001: 93).
Selama menempuh proses belajar, para santri menetap dan
tinggal bersama kyai untuk beberapa waktu yang telah
ditentukan, biasanya dalam waktu relatif lama. Santri tidak hanya dididik untuk melek ilmu agama saja, tetapi juga
mendapatkan pengajaran tentang jiwa kepemimpinan, kemandirian, cinta tanah air,
kejujuran, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, dan sikap positif lainnya.
Besar kecilnya pesantren bukan diukur oleh luas atau sempitnya tanah
pondok pesantren, namun didasarkan kepada banyak atau sedikitnya jumlah santri
yang bermukim di pesantren tersebut. Menurut Dhofier (2011: 79), di Indonesia
kategorisasi pesantren di bagi ke dalam tiga kelompok, di antaranya: pesantren
besar; pesantren menegah; dan pesantren kecil. Pesantren besar biasanya
memiliki santri lebih dari 2.000 yang berasal dari berbagai kota, bahkan
provinsi. Pesantren sedang/menengah banyaknya santri berjumalah 1.000 sampai
2.000 orang. Sedangkan pesantren kecil umumnya memiliki santri berjumlah kurang
dari 1.000 orang dan pengaruhnya terbatas pada tingkat kabupaten/kota.
Adapun secara garis besar, kategorisasi santri masih menurut Dhofier
(2011: 89) terdiri dari dua kelompok: pertama, santri mukim. Santri mukim
adalah santri yang menetap di pesantren dalam jangka waktu tertentu, biasanya
relatif lama. Santri mukim biasanya
memiliki tanggung-jawab untuk mengurusi kehidupan pesantren sehari-hari,
termasuk mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar; Kedua, santri kalong. Santri kalong adalah santri yang
tidak menetap di pesantren, kebanyakan mereka berasal dari penduduk sekitar
pesantren. Namun secara rutinitas, santri kalong
tetap secara rutin mengikuti proses pembelajaran yang telah dijadwalkan,
kemudian setelah selesai proses kegiatan belajar mereka pulang ke rumahnya.
Setelah santri-santri menimba ilmu agama dan dirasa
telah cakap, mereka kembali ke tempat asalnya, ia akan menjadi pembawa dan
penyebar ajaran Islam yang diperolehnya. Tidak sedikit
pula diantara mereka kemudian mendirikan pondok-pondok pesantren. Tradisi semacam ini seolah sudah menjadi kebiasaan, bahkan “keharusan” seorang
santri apabila telah tamat menimba ilmu agama. Hal tersebut bertujuan guna
menyebarkan Islam yang berkelanjutan dan merata hingga ke daerah-daerah
lainnya. Alasan lainnya sebagai bentuk dharma baktinya terhadap masyarakat –
daerah di mana ia tinggal dalam upaya memantapkan kualitas keagamaan masyarakat
tersebut.
Pola dan sistem pendidikan di pesantren pada mulanya
dibuat sesederhana mungkin, tidak mempunyai
kurikulum terperinci, kalender akademik, memberi gelar
atau sertifikat/ijazah sebagaimana yang terdapat pada pola
dan sistem pendidikan saat ini. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem sorogan,dan bandungan, atau wetonan[5].
Hakikat dari sistem pengajaran ini
adalah penghapalan yang titik akhirnya dari segi metodologis cenderung mengarah
kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu (Usman, t.th. : 16). Dengan kata lain, itu ditafsirkan oleh
sebagian pihak sebagai sikap “bertaklid”, yaitu mengikuti apa yang telah diajarkan
dan dipraktekan oleh kyai atau orang-orang sebelumnya, sehingga terbatas pada
apa yang telah diberikan oleh kyai. Kurikulumnya pun sepenuhnya ditentukan
oleh kyai (Iskandar, 2001 : 2).
Pola dan ciri khas lainnya yang mencerminkan pesantren di Indonesia,
bila ditinjau dari aspek teo-kultural adalah cenderung bersifat terbuka,
fleksibel, dan toleran. Ilmu dan pengetahuan antara intelektual quotient (iq), emosional quotient (eq), dan spiritual quotient (sq) yang tertanam kuat menjadi modal dalam
perjalanannya pesantren dapat mampu menjaga dan mempertahankan keberlangsungan
dirinya (survival system) dan
melahirkan masyarakat yang berkualitas dan dinamis, sehingga tidak terlihat
kaku dan kering (Usman, t.th. : 1).
Meminjam istilah Hasan Hanafi (Imanulhaq, 2014: 1) hal itu sengaja
dikembangkan guna melahirkan pemikiran yang progresif-transformatif dalam upaya
membangun masyarakat agar lebih fleksibel, sehingga jauh dari watak
ektrem-radikal dalam menyikapi berbagai persoalan hidup; sosial,
politik-kebangsaan. Selain itu, karena watak tradisi yang toleran, maka
pesantren diharapkan mampu menjembatani berbagai persoalan secara harmonis.
Kenyataan seperti itu menunjukan bahwa pesantren tidak hanya mampu
menampilkan aspek ke-Islaman saja, namun
sebagai representasi dari kebudayaan Indonesia asli. Islam Indonesia (plural,
ber-bhineka), bukan orang Indonesia yang secara kebetulan beragama Islam.
Artinya, pesantren telah menjadi identitas nasional-Indonesia. Pandangan mata masyarakat terhadap pesantren
harus dilihat dari dua sisi; sisi keagaman, dan sisi ke-Indonesiaan.
Pesantren sebagai Pusat Perlawanan: Kajian
Identifikasi Beberapa Pesantren di Priangan Timur
Pada uraian
sebelumnya telah dibahas mengenai sejarah dan peranan
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dalam upaya menyebarluaskan dan
membangun kehidupan beragama dalam masyarakat. Pada bagian ini, akan diurai
mengenai peran pesantren sebagai basis perlawanan atas penindasan yang
dilakukan pihak kolonial (Belanda dan Jepang) yang terjewantahkan melalui
perlawanan-perlawanan terhadap keduanya.
Hasil penelusuran sejarah Islam dan politik di Indonesia, ketika
sultan-sultan sudah tidak memiliki kekuatan politik lagi karena dikalahkan oleh
penjajah, ulama sebagai sentral figur masyarakat menggantikan posisi sultan
atau raja dalam menggalang kekuatan rakyat untuk melawan penjajah. Pusat
kekuatan politik pun yang semula berada di keraton atau istana berpindah ke
pesantren-pesantren. Dalam hal ini pesantren menjadi basis perlawanan.
Pernyataan itu diamini oleh Suryanegara (1996: 130), bahwa pesantren dijadikan
medan pembinaan santri yang disiapkan untuk mengadakan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial-Belanda ataupun pemerintahan militer Jepang.
Pandangan Kartodirjo dalam salah satu karya penelitiannya[6]
yang dikutif Dhofier (2011: 39) menekankan aspek-aspek kehidupan politik
pesantren, karena perhatiannya menyangkut peranan pesantren dalam
gerakan-gerakan protes di pedesaan Indonesia akhir abad ke-19 dan permualaan abad
ke-20. Gambaran-gambaran semacam itu mengarahkan pandangan kyai untuk
menyimpulkan bahwa lembaga-lembaga pesantren telah menekankan pentingnya
perjuangan politik dibandingkan dengan yang lainnya. Gerakan Islam yang
terbesar dengan latar belakang pesantrennya ialah Nahdlatul Ulama (NU). Di
samping NU masih ada gerakan-gerakan Islam konservatif lokal, seperti Perti
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah),
Al-Washliyah (Nahdlatul Wathan) di
Lombok, dan Persatuan Umat Islam (PUI) di Majalengka-Jawa Barat (Maarif, 1985:
56).
Sebuah penilaian yang pantas terhadap pengalaman dan kegiatan politik
Islam yang dilakukan pada masa kolonial-Belanda dan pendudukan Jepang, bahkan
masa revolusi kemerdekaan sekalipun. Islam telah “ber-tiwikrama” sebagai kekuatan pembebas dan menjadi tumpuan
masyarakat. Islam ditempatkan menjadi jalan keluar yang ampuh pada saat
itu guna melawan ketidakadilan dan
penindasan yang dilakukan oleh pihak penjajah. Islam dipandang juga sebagai
pelopor dasar perubahan sosial.
Dilatari semangat jihad fisabilillah
melandasi mereka tidak gentar dalam menghadapi kekuatan kaum penjajah yang
sebenarnya lebih kuat secara politik, bahkan militer. Namun baginya, perang
melawan ke-kufuran dan membela bangsa
merupakan harga mati yang harus diperjuangkan.
Tidak heran maka ketika periode kemerdekaan beredar luas slogan-slogan
yang dinisbatkan sebagai hadist nabi: “Hubbul
wathan minal iman”, artinya cinta kepada tanah air merupakan sebagian dari
iman.
Clifford Geertz dalam Islam: Observed Religious Development in Morocoo
and Indonesia (Suryanegara, 1996: 131) menyebutkan periode abad ke-19,
antara tahun 1820 - 1880 di Indonesia telah terjadi empat kali perlawanan besar
yang dimotori oleh golongan santri dan ulama, di antaranya:
Pertama di Sumatera Barat (1821-1828). Namun dalam konteks ini Geertz
tidak menyebutkan pemberontakan santri tersebut sebagai Perang Paderi –
sebagaimana yang dikenal luas oleh masyarakat selama ini melalui buku-buku teks
sejarah Indonesia – hanya saja disebutkan meletusnya pemberontakan santri di
Sumatera Barat disebabkan oleh perbedaan keyakinan antara golongan ulama dan
santri dengan kaum adat dalam memahami sebuah agama (Islam).
Kedua di Jawa Tengah (1825-1830). Dalam pemberontakan santri di Jawa
Tengah ini, Geertz tidak menyebutkan nama Pangean Diponegoro sedikit pun.
Tetapi Geertz mengamini bahwa pemberontakn ini dilakukan oleh para santri
sebagai akibat adanya gerakan Imam Mahdi yang melancarkan perang sabil terhadap
imperialis Belanda.
Ketiga, di Barat Laut Jawa pada 1840 dan 1880. Di sini Geertz tidak
menyebutkan nama daerah dan tokoh ulama yang memimpin pemberontakan tersebut,
hanya dijelaskan tentang tindakan para ulama yang memimpin pemberontakan santri
tersebut dalam upaya mengahancur-hancurkan rumah-rumah orang Eropa dan Pamong Praja[7].
Keempat terjadi di Aceh pada 1873-1903. Dalam hal ini Geertz tetap tidak
menyebutkan tokoh ulama yang memipin pemberontakan santri di Aceh ini, tetapi meyebutkan bahwa pemberontakan
ini berhasil mengacaukan imperialis Belanda selama ± 30 tahun.
Pernyataan Gertz di atas barangkali dapat dijadikan sebagai kenyataan
sejarah dalam merubah citra masyarakat terhadap pesantren yang selama ini telah
tersebar luas, bahwa pesantren selalu identik dengan kalangan tertinggal, kaumkolot, atau memberikan penilaian-penilaian lainnya yang bersifat
negatif. Suka ataupun tidak, pesantren telah memberikan kontribusi dan
sumbangsih yang sangat besar dalam upaya pencapaian kemerdekaan bangsa ini.
Pesantren
pernah menjadi tempat pergerakan para pejuang
untuk memerdekakan bangsa Indonesia yang tertinggal dari sisi ekonomi,
pendidikan, dan berbagai ilmu pengetahuan. Di mana ada pusat penjajah bercokol,
tak jauh dari tempat itu pesantren ada; kyai dan santrinya menjadi penggerak untuk duduk sebagai pihak yang paling depan dalam melakukan perlawanan.
Maraknya berbagai bentuk perlawanan yang berbasis di pesantren-pesantren
di Indonesia seperti yang sudah disebut Geertz tadi membuat pemerintah kolonial
mewaspadai[8]
dan mengontrol secara ketat setiap aktivitas yang dilakukan oleh kelompok Islam
(pesantren), lebih-lebih dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mendorong
orang-orang Islam untuk melaksanakan Ibadah Haji. Oleh karena itu, pemerintah
Belanda mengeluarkan banyak peraturan yang mempersulit, bahkan melarang kaum
muslimin untuk menunaikan ibadah haji (Yatim, 2008: 253).
Banyaknya haji-haji yang bermukim bertahun-tahun lamanya di Mekkah,
kemudian berkenalan dan belajar ilmu keagamaan yang sebenarnya berbeda dengan Islam yang berada di Indonesia. Dapat diperkirakan bahwa
di antara para haji yang kembali ke tanah air banyak menjadi penganut Islam
yang lebih ortodoks dan “fanatik” dengan cita-cita keagamaan dan politik
Pan-Islamisme yang cenderung bersifat militan, radikal, secara tegas menyatakan
permusuhan terhadap penguasa kolonial yang dianggapnya sebagai bangsa kafir,
anti-Belanda (Benda, 1985: 42). Tidak sedikit pula mereka yang membawa ajaran
ortodoks, lambat laun merubah atau menggantikan kedudukan Islam sinkretik yang selama
ini menjadi khas Islam di Indonesia.
Perubahan-perubahan drastis dalam bidang sosial-keagamaan, dan politik
yang dialami Indonesia secara singkat pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad
ke-20 membuat tugas-tugas administrasi pemerintah kolonial-Belanda menjadi
lebih kompleks. Masalah-masalah yang ditimbukan kaum fanatik agama atau
berbagai perlawanan-perlawanan yang dipimpin oleh golongan elite agama tidak
bisa dipandang sebelah mata, karena telah berhasil membuat kewalahan pemerintah
kolonial-Belanda misalnya.
Dalam upaya menghadapi kondisi seperti itu, kemudian pemerintah kolonial-Belanda
mengeluarkan kebijakan untuk mengangkat penghulu sebagai pegawai negeri.
Otoritas penghulu yaitu membantu bupati untuk mengawasi umat Islam. Gubernur
Jenderal secara rahasia diinstruksikan oleh Raja Belanda untuk mengambil
tindakan yang diperlukan guna memelihara tugas pengawasan yang dilakukan oleh
para bupati terhadap ulama pribumi tersebut (Suminto, 1985: 3).
Pada 1925, untuk menjalankan fungsi pengawasannya tehadap perkembangan
pesantren, mubalig, dan kegiatan dakwah lainnya, pemerintah kolonial-Belanda
mengeluarkan kebijakan peraturan undang-undang bagi guru atau ustadz yang
dikenal dengan Ordonansi Guru[9].
Kemudian diikuti pula dengan penerapan Ordonansi Pengawasan Sekolah pada 1932.
Harus difahami juga karena pertumbuhan sekolah yang didirikan oleh organisasi
Islam – Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan yang lainnya – saat itu, tumbuh
seperti jamur di musim penghujan. (Suryanegara, 1996: 258).
Kendatipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
kolonial-Belanda dalam rangka menjinakan golongan Islam, namun hal itu tidak
menghentikan langkah gerak kaum muslim Indonesia untuk mengadakan perlawanan.
Misalnya yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari di Jawa Timur, KH. Zaenal Mustafa[10]
di Pesantren Sukamanh Tasikmalaya, KH. Marzuki di Pesantren Miftahul Huda
Citangkolo- Kota Banjar, KH. Syaikhuna
Badruzzaman Pesantren Al-Falah Biru Garut.
Nama-nama yang telah disebut barusan, tentunya hanyalah sebagian contoh
saja dari peran pesantren sebagai pusat perlawanan, terutama
pesantren-pesantren di Priangan. Karena sesugguhnya banyak pesantren lainnya
baik yang tersebar di Priangan secara khususnya ataupun di Indonesia umumnya
yang telah menorehkan sejarah, berperan aktif dalam perang kemerdekaan.
KH. Hasyim Ashari adalah pendiri Pesantren Tebuireng di Jombang Jawa
Timur. Selain itu ia juga tercatat sebagai Pendiri organisasi Islam terbesar di
Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama. Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan
Jepang, KH. Hasyim Asy’ari telah
menjadikan pesantrennya bukan hanya sebagai pusat pendidikan saja, tetapi juga
sebagai pusat perlawanan dalam menghadapi kekuatan penjajah. Kesadarannya
terhadap persoalan politik muncul karena menyaksikan sekaligus merasakan
berbagai tekanan-tekanan yang disebabkan oleh kaum penjajah di Indonesia.
Pada mulanya, sikap kontra KH. Hasyim Asy’ari terhadap pemerintah kolonial-Belanda tidak terlalu menampakan diri
secara terbuka. Pemerintah kolonial-Belanda pun tidak menjadikannya sebagai
musuh utama yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya. Keterlibatan KH. Hasyim Asy’ari dalam aktifitas politik mulai nyata dan
diperhitungkan oleh pemerintah kolonial-Belanda ketika ia bersama KH. Wahab
Hasbullah dan KH. Bisri Sanuri mendirikan organisasi Islam bernama Nahdlatul
Ulama.
Terbentuknya Nahdlatul Ulama yang didirikan pada 31 Januari 1926 awalnya
bercorak organisasi sosial-keagamaan, ialah untuk melindungi praktik dan
pemikiran keagamaan muslim Indonesia yan berbeda dengan praktik dan pemikiran
keagaman muslim Timur Tengah, khususnya Arab Saudi yang fundamentalis (Zada,
dan Sjadzili (ed.), 2010: 4) . Namun pada perkembangannya banyak melakukan
aktifitas-aktifitas politik kebangsaan.
Secara taktis, K.H. Hasyim Asy’ari melalui Nahdlatul Ulama-nya menetapkan
pendekatan akomodatif terhadap pemerintah Belanda, meskipun terkadang ia juga menunjukan
sikap penentangannya terhadap pemerintah kolonial-Belanda dengan mengeluarkan
fatwa-fatwa dan kecaman yang dinilai membahayakan dan memicu kemarahan
pemerintah kolonial-Belanda. Sebagai contoh, KH. Hasyim Asy’ari dengan
kyai-kyai NU lainnya melancarkan perlawanan atas penerapan Ordonansi Haji yang
diputuskan oleh pemerintah kolonial-Belanda. Penetapan aturan tersebut dinilai
telah memberatkan para jama’ah haji yang bermukim di Mekkah, karena diwajibkan
untuk membayar pajak haji. Penolakan tersebut sampai pada tuntutannya bahwa
Belanda harus mencabut peraturan tersebut dan membebaskan para jama’ah haji
untuk tidak membayar pajak tersebut. Tuntutan itu disuarakan oleh KH. Hasyim
Asy’ari dan kyai-kyai NU lainnya saat Muktamar NU yang diselenggarakan di
Cirebon - Jawa Barat pada 1938 (Moesa 2007: 114).
Sewaktu awal pendudukan Jepang 1942, KH. Hasyim Asy’ari ditangkap oleh
Pemerintahan Militer Jepang bersama K.H. Mahfudz Siddiq (Madinier, 2013: 47).
Kemudian ditahan dan di penjarakan Jombang[11].
Ia ditahan karena sikap penolakannya dan mengeluarkan fatwa haram mengenai seikerei, membungkukan badan Sembilan
puluh derajat menghadap matahari sebagai bentuk pengormatan kepada Dewa
Matahari dan Kaisar Jepang. Saat itu ia tengah berusia 70 tahun.
Tidak lama kemudian, setelah adanya upaya perundingan yang dilakukan
oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Wahid Hasyim – Keduanya
tidak ada henti-hentinya melakukan dialog dengan Shaiko Sikikan, Panglima Besar tentara Jepang yang berkedudukan di
Jakarta – ia dibebaskan sekitar bulan Agustus 1942 (Ricklef, 2008: 436).
Perlawanan fisik secara terbuka sewaktu masa pendudukan Jepang dilakukan
juga oleh KH. Zaenal Mustafa di Tasikmalaya - Jawa Barat. KH. Zaenal Mustafa
merupakan pendiri Pesantren Sukamanah-Tasikmalaya. Ia merupakan ulama
independen dan pelindung rakyat, sehingga ia sangat disegani oleh santri
sekaligus masyarakat sekitarnya, di samping karena kharismanya yang begitu
kentara. KH. Zaenal Mustafa menerapkan kedisiplinan dan mewajibkan santrinya untuk
belajar silat sebagai benteng pertahanan diri (Lubis, 2006: 120). Di lapangan
inilah, ia mulai bergerak maju menuju titik yang sama seperti yang
dicita-citakan oleh ulama-ulama pejuang terdahulu (Dipenogoro, Imam Bonjol,
Teuku Umar, Panglima Polim, dan lain-lain), yakni menyingkirkan kaum penjajah
dari Indonesia.
K.H. Zaenal Mustafa dalam menyesuaikan pengaruh gerakannya, ia memilih
Nahdlatul Ulama[12]
sebagai saluran gerakannya sejak tahun 1933. Melalui organisasi inilah, ia
memperluas pandangannya untuk melihat kekejaman dan berbagai tekanan-tekanan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial-Belanda, sehingga sampai tahun 1940
membuat ia lebih meningkatkan lagi aktifitas dakwahnya. Dalam setiap dakwahnya,
KH. Zaenal Mustafa seringkali melancarkan kecaman-kecaman dan kritikan-kritikan
pedas terhadap pemerintah kolonial-Belanda. Akibatnya, pada tanggal 17 November
1941 ia ditangkap dan dipenjarakan di penjara Sukamiskin selama 53 hari. Tujuan
penangkapan ini adalah agar KH. Zaenal Mustafa bersikap lunak terhadap
pemerintah kolonial-Belanda. Namun sebaliknya, ia malah besikap lebih keras
lagi (non-kooperatif) terhadap pemerintahan tersebut. Ia dibebaskan sekitar
bulan Januari 1942, namun untuk kedua kalinya ia ditangkap kembali oleh
pemerintah kolonial-Belanda. Kali ini ia dipenjarakan di penjara Ciamis.
Sekitar sebulan kemudian dibebaskan oleh pemerintah Jepang pada tanggal 31
maret 1942 (Suryanegara, 1996: 271).
Pada masa pendudkan Jepang, Pesantren Sukamanah telah memiliki enam buah
pondok, yaitu Pondok Galunggung, Pondok Tawakal, Pondok Sukasenag, Podok
Sukapura, Pondok Salamet, dan Pondok Tasik.
Terhitung sampai tahun 1944, pesantren ini memliki sekitar 1500 orang
yang terdiri dari santri mukim dan santri kalong (Lubis, 2006: 119).
Perlawanannya terhadap Jepang sebenarnya bermula semenjak Jepang
menerapkan sistem romusha. Jepang
mewajibkan rakyat untuk bekerja tanpa diberi imbalan atau hak yang layak
sebagaimana mestinya, sehingga dianggap menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat.
Tujuan Jepang memberlakukan sistem romusha
adalah mengharapkan hasil kerja (penyerahan padi) tersebut untuk dijual dengan
tinggi , hasilnya akan digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dalam
menghadapi Sekutu saat Perang Dunia II. Selain itu, adanya penerapan sistem ini
sebagai upaya untuk melemahkan potensi kekuatan umat Islam Indonesia. Dalam hal
ini Jepang mengamalkan teori kelaparan
Josue de Castro, hunger as a
weapon of war – kelaparan dimaknai sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan
dalam peperangan (Suryanegara, 2010: 88).
Kebiadaban-kebiadaban yang dilakukan Jepang diperparah dengan menerapkan
kebijakan seikerei, yang mengharuskan
rakyat Indonesia membungkukan diri Sembilan Puluh derajat mengarah pada
matahari sebagai simbol penghormatan kepada Dewa Matahari (agama Sinto) dan
Kaisar Jepang. Kebiasaan-kebiasan yang dilakukan oleh orang Jepang tersebut,
tentunya mendapat penolakan keras dari umat Islam Indonesia – termasuk di
Singaparna Tasikmalaya yang dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa – karena dianggap
menyekutkan Allah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kurasawa (1993: 458)
menyebutkan, Perlawanan ini merupakan kerusuhan terbesar pertama di Jawa yang
bersifat anti-Jepang.
Di Kota Banjar, terdapat Pesantren Citangkolo
(sekarang: Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar) berlokasi di Desa Kujangsari Kec.
Langensari Kota Banjar - Jawa Barat. Pesantren ini didirikan pada 1911 oleh KH
Marzuki, seorang kyai yang berasal dari Kebumen Jawa Tengah. Pada awal
pendirianya, aset yang ada di pesantren ini hanya sebuah mushola. Enam tahun
kemudian, baru lah pesantren ini mulai mendirikan masjid permanen (1917), yang
kemudian diresmikan oleh pemerintah kolonial-Belanda pada 1926. Lalu, pada
1937, pesantren ini mulai membangun kobong
sebagai tempat belajar dan tempat tinggal para santri (Lubis, et.al.,2011: 43).
Pada masa pemerintahan militer Jepang dan revolusi
kemerdekaan, pesantren ini terlibat aktif dalam upaya melakukan perjuangan,
sehingga aktivitas Pesanten Caitangkolo ini banyak terganggu. Sikap
perlawanannya, bermula ketika diterapkannya suatu kebijakan oleh pemerintah
militer Jepang yang membatasi setiap aktivitas politik maupun keagamaan dengan
memata-matai berbagai setiap aktivitas di dalmnya. Hal ini membuat Pesantren
Citangkolo tidak luput dari target pengawasan pemerintah militer Jepang.
Kehidupan di Pesantren Citangkolo seperti la
yahya wala yamut, untuk tidak dikatakan berhenti sama sekali (Kusdiana,
2014: 159).
Buntut dari penerapan aturan yang diterapan pemerintah
militer Jepang itu, membuat pesantren ini terkekang dalam melakukan setiap
aktivitasnya, maka pesantren Citangkolo pun memberikan perlawanannya terhadap
pemerintah militer Jepang. Lebih dari itu, perlawanan yang dilakukan oleh
Pesantren Citangkolo pun berlanjut hingga era revolusi kemerdekaan.
Pada masa revolusi fisik, KH. Marzuki – selaku pendiri
Pesantren Citangkolo –tercatat pernah aktif dan menjadi bagian dari Lasykar
Hizbullah. Hal ini dilatari oleh prinsip ta’
muruna bil ma’ruf wa tanha anil munkar dan hubbul wathan minal iman. Baginya, segala bentuk penjajahan harus
diusir dari negara ini dan rakyat wajib membela negara-nya. Dengan demikian
boleh dikatakan, Pesanren Citangkolo lebih banyak berperan sebagai basis
perlawanan dalam upaya melawan pendudukan pemerintah militer Jepang di
Indonesia. Bahkan, KH. Marzuki tercatat pernah terlibat pada peristiwa Bandng
Lautan Api (Lubis, et al., 2011: 43;
Kusdiana, 2014: 159-160).
Di wilayah Priangan Timur lainnya, ada Pesantren
Al-Falah Biru[13]
yang berada di Tarogong Kabupaten Garut. Pesantren Al-Falah Biru merupakan
kelanjutan dari Pesantren
Biru yang didirikan pada tahun 1749 oleh Embah Penghulu (Embah Kyai Akmaludin).
Beliau adalah penghulu Timbanganten/Garut dan memiliki menantu Raden Kyai
Fakaruddin seorang ulama dari Tanjung Singuru Garut. Kedua tokoh ulama ini
merupakan sesepuh kampung Biru yang berperan dalam penyebaran agama Islam di
wilayah Garut (Arifin, 2012.
dalam “Selayang Pandang Pesantren Al-Falah Biru”. Tersedia di http://biru-garut.blogspot.com”) [di akses 17 April 2015] .
Setelah Kyai Akmaludin meninggal dunia, Pesantren Biru
dipimpin dan dikelola oleh Kyai Fakaruddin, Kyai Abdul Rosyid, Kyai Irfan, Kyai
Abdul Qoim, Kyai Muhammad Adra’ie (Ama Biru). Setelah masa Raden Bagus Kyai
Muhammad Adra’ie berakhir, kemudian dipindahkan ke Kampung Tarikolot dan
ditambahkan namanya menjadi “Al-Falah” yang pimpin oleh putranya bernama Kyai
Muhammad Asnawi Faqieh (Bani Faqieh). Setelah itu dilanjutkan oleh Syaikhuna
Badruzzaman dan Kyai Bahrudin (Kusdiana, 2014: 123).
Pada periode kepemimpinan Syaikhuna
Badruzzaman[14] antara masa pra-kemerdekaan sampai masa revolusi fisik, pesantren ini aktif dalam
kegiatan keorganisasian keagamaan Al-Muwafaqoh dan
menjadi pusat perlawanan rakyat. Pada zaman Jepang, beliau membentuk pasukan
Hizbullah dan Sabilillah melalui sistem kholwat[15]
dan “hijrah”. Gerakan kholwat dilakukan melalui riyadlah atau tarbiyah ruhani dalam upaya memantapkan tauhid (Muhsin, 2011: 52).
Pada 1943 pasukan Hizbullah
berhasil menguasai logistik Jepang di Kp.
Malayu Samarang sehingga kunci logistiknya Hotel Malayu[16]
diserahkan oleh 8 utusan Jepang kepada Syaikhuna
Badruzzaman. Dua tahun kemudian, pada 1945 dua tentara Jepang
menyerahkan diri kepada Syaikhuna Badruzzaman dan
mengganti nama yaitu, Abu bakar
dan Kholid. Ia kemudian ditugaskan Syaikhuna Badruzzaman untuk memberikan
pelatihan-pelatihan
militer pada pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
Kehadiran Pesantren Al-Falah Biru pada
masa revolusi kemerdekaan semakin
menunjukkan peranannya dalam melakukan perlawanan terhadap sekutu. Secara
diam-diam pesantren menjadi tempat untuk mengatur strategi perjuangan. Keterlibatan
santri pesantren Al-Falah Biru dalam perjuangan sangat berkaitan erat dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Garut. Secara khusus keterlibatan santri
Al-Falah Biru di antaranya pengambilalihan markas
logistik Jepang di Hotel Malayu, penghadangan pasukan Belanda di Cidadali
Samarang, pertempuran di Kubang dan penyerangan Belanda ke pesantren Al-Falah
Biru. Hal demikian mengakibatkan Peantren Al-Falah Biru
dijadikan sebagai target serangan mortir Belanda pada waktu itu.
Aktifitas
pembelajaran di pesantren terus berlangsung meskipun mengalami beragam gangguan
dari tentara Belanda. Pada tahun 1947 pesantren sempat mengalami pengeboman dan
pengepungan yang dilakukan oleh Belanda karena mencurigai keberadaan pesantren
sebagai basis perlawanan rakyat. Tidak hanya itu,
sosok Syaikhuna Badruzzaman pun saat itu menjadi bulan-bulanan pihak Sekutu
karena tindakan-tindakannya yang menentang keras kehadiran pihak Sekutu (Arifin, 2012. dalam “Riwayat KH. Syaikhuna Badruzzaman”. Tersedia di http://biru-garut.blogspot.com”) [di akses 17 April 2015] .
Keadaan demikian memaksa KH. Syaikhuna Badruzzaman
melakukan politik hijrah, yakni mengungsi, dan menghindari dari kepungan
pasukan tentara Belanda untuk menyusun kembali kekuatan baru dan menyusun
kekuatan barisan rakyat dari satu tempat ke tempat lain, dengan menempuh
perjalanan panjang, dari beberapa wilayah yang saling berjauhan (Muhsin Z,
2011: 53).
Pada mulanya hijrah dilakukan antar desa dan kecamatan
di lingkungan Kabupaten Garut. Kemudian gerakan hijrah berkembang antar
kabupaten, bahkan antar provinsi sekalipun pernah dilakukannya. Hal yang
menarik dalam hijrah ini adalah di setiap tempat yang disinggahi apabila akan
diserang oleh pasukan tentara Belanda, tidak lama sebelum serangan datang, KH.
Badruzzaman dan beberapa murid-muridnya telah terlebih dahulu meninggalkan
tempat itu. KH. Badruzzaman seolah sudah mengetahui terlebih dahulu kejadian
yang akan menimpa dirinya dan para murid-muridnya (waspada permana tingal).
Bila diurutkan,wilayah perjuangan K.H. Badruzzaman
dilihat dari medan gerilyanya seperti yang dikutif dari Mumuh Muhsin Z. (2011:
55-56) adalah sebagi berikut:
I.
Periode Penjajahan kolonial-Belanda: sekitar 1930-an
beliau hijrah ke:
1)
Majenang (Jawa Tengah);
2)
Cikalong;
3)
Taraju (Tasikmalaya).
II.
Periode Pendudukan Jepang: pada 1942-1945 beliau
hijrah ke Majenang.
III. Periode Revolusi Kemerdekaan antara1945-1947, beliau
hijrah ke daerah-daerah/kampung-kampung di lingkungan Kabupaten Garut:
1)
Kampung Leuceun;
2)
Kampung Lamping;
3)
Kampung Cidadali;
4)
Kampung Talaga;
5)
Kampung Ciherang;
6)
Kampung Cibodo;
7)
Kampung Madur;
8)
Kampung Pasir Halang;
9)
Kampung Nunggal;
10)
Danau Kamojang
(berbatasan dengan Kab. Bandung);
11)
Kawah Kamojang
(berbatasan dengan Kab. Bandung);
12)
Situ Danau
Kamojang (berbatasan dengan Kab. Bandung);
13)
Kampung
Jelekong Kab. Bandung;
14)
Padalarang;
15)
Cikalong;
16)
Jakarta;
17)
Lampung.
IV.
Periode tahun 1947-1962
1) Gunung Gede;
2) Gunung Galunggung;
3) Parentas, Singaparna;
4) Majalaya;
5) Padalarang.
Demikian
sekilas tentang gambaran umum pesantren sebagai pusat perlawanan dalam upaya memperjuangkan
atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan tersebut barangkali tidak terlalu besar peranannya dalam konteks sejarah
nasional, namun berbagai perjuangan
yang digelorakan oleh para santri tersebut
memiliki nilai historis tersendiri bagi kelompok-kelompok
Islam di pesantren. Tentunya peranan santri ini merupakan hasil nyata
pembinaan yang dilakukan terhadap santri di pesantren sebagai objek pembentukan
karakter tertentu sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren.
Memperhatikan
peranan beberapa kyai yang disebut di atas tadi, tampak begitu kuat dalam menggerakkan
pesantren tentunya tidak terlepas dari analisis mengenai peranan kyai
di pesantren. Kyai adalah pemimpin non-formal
sekaligus pemimpin spiritual, posisinya sangat dekat dengan kelompok masyarakat
lapisan bawah di desa-desa. Sebagai pemimpin masyarakat, kyai
memiliki jemaah komunitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang
erat dan ikatan budaya paternalistik. Kyai
menjadi seseorang yang dituakan oleh masyarakat atau menjadi bapak masyarakat
terutama masyarakat desa. Petuah-petuahnya yang memilki daya pikat luar biasa bagi masyarakat memudahkan
baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorganisasi.
(Depdiknas, 2000: 40).
Kepercayaan
masyarakat yang begitu tinggi terhadap kyai
didukung potensinya memecahkan berbagai problem--sosiologis, psikis, kultural, politik, religius--menempatkan kyai pada posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan
politik di masyarakat.
Daftar Sumber
Sumber Buku
Benda, Harry J. 1980.
Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam
Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. (Terj.) Daniel Dhakidae.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Depdiknas. 2000.
Peranan
Elit Agama pada Masa Revolusi Indonesia. Jakarta: Prima Utama.
Dhofier, Zamakhasary. 2011.
Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai: Cetakan Kesembilan. Jakarta:
LP3S.
Imanulhaq, Maman. 2014.
Pergulatan Islam, Kebudayaan, dan Modernitas.
Disampaikan dalam Pidato Kebudayaan Pelantikan PW LESBUMI NU Jabar.
Iskandar,
Muhammad. 2001.
Para
Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Junus,
Mahmud. 1960.
Sedjarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Djakarta: Pustaka Mahmudiah.
Kurasawa,
Aiko. 1993.
Mobilisasi
Dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial Pedesaan Jawa 1942-1945,
terjemahan Hermawan Sulistyo. Jakarta : Gramedia.
Kusdiana, Ading. 2014.
Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya
di Wilayah Priangan (1800-1945). Bandung: Humaniora.
Lubis, Nina Herlina dkk., 2011.
Sejarah
Perkembangan Islam di Jawa Barat. Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia
Cabang Jawa Barat.
-------. 2006.
9
Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985.
Islam
dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Cetakan
Pertama.
Jakarta: LP3ES.
Madinier, Remy. 2013.
Partai Masyumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam
Integral. Bandung: Mizan.
Moesa Ali Maschan. 2007.
Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS.
Muhsin, Mumuh Z. 2011.
Perjuangan
K.H. Syaikhuna Badruzzaman dalam Merebut, Mempertahankan, dan Mengisi
Kemerdekaan (1900 – 1972). Jatinangor: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Unpad.[E-Book].
Ricklefs, M.C. 2008.
Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008: Cetakan Pertama. Jakarta: Serambi.
Suminto. 1985.
Politik
Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES.
Suryanegara, Ahmad Mansyur. 1996.
Menemukan Sejarah: Wacana Pegerakan Islam di
Indonesia. Bandung:
Mizan.
Wahid, Abdurrahman. 2001.
Menggerakan
Tradisi: Esai-esai Pesantren: Cetakan Pertama. Yogyakarta: KIS.
Yatim, Badri. 2008.
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Zada, Khamami, dan A. Fawaid Sjadzili (ed.). 2010.
Nahdlatul Ulama: Dinamika
ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Kompas.
Sumber
Internet
Arifin,
A. Tajul. 2006
“Selayang Pandang Pesantren Al-Falah Biru”.
Tersedia di http://biru-garut.blogspot.com.
Diakses 14 Maret 2015.
Sumber
Visual
Rahmat, Syarif. 2015.
Acara Damai Indonesia dengan tema ”Wajah Islam Nusantara”) [di akses 28
Februari 2015].
[1] Selain
melalui pendidikan, masih terdapat lima saluran-saluran masuknya Islam ke
Indonesia, antara lain: (1) Perdagangan. Pada taraf permulaan, proses
Islamisasi terjadi melalui perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan abad
ke-7 hingga ke-16 M membuat para pedagang-pedagang Muslim–Arab, Persia, dan India–turut
ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan
Timur Benua Asia; (2) Perkawinan. Secara ekonomi, para pedagang Muslim memilki
status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan kaum pribumi, hal ini membuat
penduduk pribumi tertarik kepada para saudagar-saudagar Muslim itu, tak
terkecuali putri-putri bangsawan. Sebelum melakukan perkawinan, mereka (penduduk
pribumi) diIslamkan terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan
mereka semakin meluas; (3) Tasawuf. Pengajar tasawuf atau sufi istilah lainnya,
mengajarkan ajaran (ke-Islaman) dengan mengkombinasikannya dengan ajaran-ajaran
agama terdahulu yang sudah lama dianut oleh masyarakat tersebut, sehingga agama
Islam ini mudah diterima dan dimengerti. Belum lagi dengan cara-cara
penyampaiannya yang dilakukan secara ramah dan tidak memaksa; (4) saluran Islam
lainnya dilakukan melalui kesenian. Kesenian yang paling terkenal pada masa itu
ialah kesenian wayang yang di motori oleh Sunan Kalijaga. Melalui kesenian
itulah Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dengan mengubah cerita-cerita
pewayangan dengan cerita-cerita yang bernafaskan ke-Islaman (dakwah); (5)
Terakhir adalah melalui saluran politik. Di Maluku dan Sulawesi Selatan
misalya, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam
terlebih dahulu. Pengaruh dan kewibawaan seorang raja sangat membantu
tersebarnya agama Islam di daerah ini. Proses penyebaran Islam semacam itu biasa
juga disebut bersifat top down. Selain
itu, proses Islamisasi melalui saluran politik dilakukan juga dengan cara penaklukan
kerajaan-kerajan no-Islam oleh kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak menaklukan
Kerajaan Majapahit di Jawa. Kendatipun demikian, saluran Islamisasi dengan cara
penaklukan ini kurang begitu kentara dalam penyebaran Islam di Indonesia. (Yatim,
2008: 201-203).
[2] Pigeaud dan de Graf menyatakan bahwa pada awal
abad ke-16 pesantren merupakan jenis pusat Islam kedua, setelah mesjid
(Pigeaud: 1974; Lubis dkk, 2011: 29 )
[3]
Dalam tradisi ajaran Hindu dikenal sistem kasta
sosial, bereda dengan tradisi yang terdapat pada agama Islam yang lebih
bersifat egaliter atau tidak mengenal kasta sosial. Barangkali cara pandang
semacam ini yang menjadi salah satu faktor perbedaan dalam kehidupan sosial
masyarakat, termasuk dalam sistem
pendidikannya. Kendatipun demikian, namun di
pesantren ini biasanya
seorang anak menak/priyayi
diperlakukan agak istimewa dibanding dengan anak-anak dari golongan rakyat
biasa seperti diberikan guru yang khusus. Walaupun dalam pergaulan sehari-hari,
anak menak berbaur dengan santri-santri dari golongan rakyat biasa. Pada saat
liburan santri-santri rakyat biasa tidak pulang ke rumahnya, tetapi ia bekerja
di sawah atau lading tetangga
di sekitar Pesantren untuk mendapatkan makan. Sedangkan anak menak diperbolehkan pulang ke
rumahnya menemui keluarganya.
Bagi
anak menak sebagai calon pemimpin rakyat di masa depan, pesantren tidak hanya
berfungsi untuk mencari ilmu agama saja. Di Pesantren mendapat tempaan mental
pula. Agar kelak ia menjadi seorang pemimpin
yang mampu menghadapi berbagai persoalan yang menimpanya (Alisyahbana, 1954: 16; Mulyana, 2000: 13).
[4] Istilah pondok
berasal dari kata funduq, dalam bahasa
Arab berarti hotel atau asrama (Dhofier, 2011: 41).
[5] Proses pengajaran yang dilakukan secara individual ini sering disebut sorogan. Hakikatnya metode pengajaran
semacam ini berupa hapalan, biasanya hapalan surat-surat yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan kitab-kitab bahasa Arab. Selain sorogan, metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren
menggunakan sistem bandungan atau wetonan. Dalam sistem ini seorang santri
yang berkelompok–minimal terdiri dari 5 orang santri–mendengarkan pemaparan
seorang kyai yang membaca, menerangkan, dan menerjemahkan materi ke-Islaman dan
ada pula buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Metode pengajaran seperti ini
sering juga disebut kelas musyawarah
atau pengajaran kelompok.
[7] Sebenarnya,
pemberontakan ini merupakan respon dari umat Islam Banten yang berusaha melepaskan
diri dari penerapan sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial
Belanda pada 1830-1870. Pemberontakan yang dimotori oleh santri ini terjadi pada
1834, 1836, 1842, dan 1849, kemudian bangkit lagi pada 1880 dan 1888.
[8] Menurut
Badri Yatim (2008: 254) dalam rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah
Belanda mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi bangsa Indonesia,
terutama untuk kalangan bangsawan. Sikap tersebut bertujuan untuk me-westernisasikan
penduduk pribumi. Dalam pandangan Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah
ke arah dunia modern itu. Para lulusan sekolah ala Belanda diharapkan menjadi partner dalam kehidupan sosial-budaya.
Snouck Hurgronje memang menginginkan kesatuan Indonesia dan Belanda ke dalam
satu ikatan Pax-Neerlandica. Maka
dari itu, dalam lembaga pendidikan ala Belanda tersebut, bangsa Indonesia harus
bisa mengikuti dan berasosiasi dengan kebudayaan Belanda. Menurutnya,
pendidikan ala Belanda (barat) adalah alat yang paling ampuh untuk mengalahkan pengaruh
dan kekuatan Islam di Indonesia (Perhatikan juga Kusdiana, 2013: 2).
[10] KH. Zaenal Mustafa dilahirkan di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang;
Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasimalaya. Sewaktu kecil KH.
Zaenal Mustafa bernama Umri dan sering uga dipanggil Hudaemi (Lubis, 2006:
118).
[11] Menurut
KH. Said Aqil Siradj dalam “Film Dokumenter Perjuangan Nahdlatul Ulama”
(koleksi pribadi), Jepang memenjarakan KH. Hasyim Asy’ari selama 1 bulan.
Selama ditahan, beliau mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh Jepang,
sehingga tangan kanannya mengalami gangguan (patah).
[12] Menurut Yusuf Abdulah (Dosen Unisba), KH. Zaenal Mustafa adalah alumnus
Pesantren Tebuireng Jombang. Itulah sebabnya kenapa ia memilih Nahdlatul Ulama
sebagai landasan oranisasinya. Pernyataan ini diperkuat oleh keterangan dari
KH. M. Dahlan yang merupakan Ketua I PBNU, 5 September 1966 (Suryanegara, 1996:
271).
[14] KH.
Badruzzaman diperkirakan lahir sekitar 1900-an. Ia adalah anak kelima dari
sembilan bersaudara. Sebagai pewaris darah biru santri, ia mendapatkan belajar
tentang keislaman bermula dari ayahnya (KH. Asnawi Faqieh) Garut. Kemudian ia
belajar pada KH. R. Qurtubi (Pesantren Pangkalan), selanjutnya kepada KH.
Bunyamin (kakaknya) di Ciparay Bandung, ke pesantren Cilenga Tasikmalaya, dan
Pesantren Balerente Cirebon (Lubis dkk., 2011: 119).
[15] Cara untuk
meningkatkan mental para pejuang melalui serangkaian kegiatan spiritual
yang
diiringi dengan amalan-amalan (wirid) tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar