Minggu, 22 Januari 2017

Sejarah (Singkat) dan Peran Pesantren dalam Masyarakat


Oleh: Galun Eka Gemini

Pengantar
Pertama-tama--sebelum memulai ke pembahasan--yang harus penulis kemukakan terlebih dahulu adalah bahwa tulisan ini sebetulnya dideduksi dari hasil perkuliahan penulis selama ini, tepatnya sewaktu menempuh studi pada program Pascasarjana (S-2) di Fakultas Ilmu Budaya, Konsentrasi Ilmu Sejarah, Universitas Padjadjaran (Unpad) dan juga bersumber dari kajian atas bacaan-bacaan penulis dari beberapa literatur: buku, artikel, jurnal; dan internet. Jadi bukan berdasar kajian induktif hasil penelitian lapangan.
Awalnya ketertarikan penulis terhadap kajian ini (seputar dunia pesantren), selain pernah menempuh mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, juga bermula dari hasil obrolan-obrolan santai bersama rekan-rekan dari PMII Komisariat UPI, terutama Sahabat M. Ilham Gilang yang kala itu (antara tahun 2013-2015) pernah juga menjadi teman “satu atap” sewaktu kami berdua diberikan amanah oleh Sekum LP. Ma’arif--Dr. Agus Mulyana--untuk menjadi kuncen kantor PW. LP. Ma’arif (di Komp. Kiara Sari Asri, Jl. Terusan Kiara Condong-Bandung).
Kembali pada ruanglingkup dari tulisan ini, khusus di sub-bab kedua pembahasan: “Peran Pesantren sebagai Pusat Perlawanan”, secara spasial penulis menjadikan wilayah Priangan Timur sebagai sampel/kajian identifikasi bahasan, meskipun tidak semuanya pesantren-pesantren yang ada di Priangan Timur penulis tulis atau paparkan satu persatu. Ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, sumber, juga waktu penulis mulai dari proses heuristik sumber, mengkaji, juga menuliskannya. Adapun yang dimaksud Priangan Timur di sini adalah hanya tertuju pada Kota Banjar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Garut saja. Artinya, minus Ciamis, Sumedang, Bandung Raya, bahkan kalau sekarang; berikut Pangandaran bila dilihat secara peta administratif wilayah kabupaten di Priangan Timur. Kendati demikian, penulis yakin adanya pemaparan salah satu pesantren yang secara spasial ada di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Kota Banjar, itu sudah dapat dikatakan merepresentasikan wilayah Priangan Timur.
Penulis menyadari tulisan ini tidaklah sempurna dan komprehensif, “tak ada gading yang tak retak, barangkali itulah pepatah yang cocok disematkan untuk tulisan ini. Oleh karenanya, penulis akui tak pelak lagi masih banyak kekurangan dari sana-sini. Dengan demikian, penulis terbuka segala saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca guna perbaikan dan “penyempurnaan” kualitas tulisan ini dapat terwujud.

Sejarah dan Peran Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai teori masuknya Islam ke Indonesia, demikian yang tercatat dalam buku-buku sejarah Indonesia selama ini. Begitu pula mengenai ragam pendapat para ahli tentang saluran-saluran proses penyebaran Islam di Indonesia, seperti melalui pendidikan atau dakwah misalnya.[1]
Dalam konteks ke-Indonesiaan, pesantren difahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional. Sebab, keberadaan pesantren diperkirakan muncul seiring masuknya gelombang agama Islam ke Indonesia, sekaligus dianggap salah satu lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia jika disandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya (Junus, 1960: 9). Pemahaman itu disandarkan kepada perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia.
Peran pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan kehadirannya menempati posisi penting dalam penyebaran agama Islam. Dikatakan demikian,  karena kegiatan pembinaan calon-calon guru agama atau ustadz, kyai-kyai, atau ulama-ulama hanya terjadi di lingkungan pesantren yang pada akhirnya akan ditularkan kembali kepada masyarakat luas (Kusdiana, 2104: 2).[2] Itulah sebabnya, pesantren dikatakan sebagai saksi utama dalam proses penyebaran Islam di Indonesia maupun dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan keagamaan masyarakat.
Di samping itu, peran dan eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah ada sejak lama mampu mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah bangsa Indonesia, sosial-budaya masyarakat Islam, maupun politik bangsa Indonesia di satu sisi. Pada sisi lain, pesantren bukan hanya membangun tradisi ilmiah-keilmuan dengan kyai atau ajengan sebagai sentral intelektual, tetapi juga mampu membangun tradisi sosial-budaya yang memposisikan masyarakat bukan hanya objek, melainkan sebagai subjek yang kelak secara bersamaan telah berhasil membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, terutama dalam aspek keagamaan dan pendidikan.
Secara etimologis, pesantren berasal dari kata “santri” yang diberi awalan “pe” di depan dan akhiran “an”, berarti asrama tempat tinggal para santri. Pandangan serupa keluar dari KH. Abdurahman Wahid (2001: 17), secara teknis pesantren adalah tempat tinggal santri. Sedangkan, pengertian santri dan asal usul kata santri itu sendiri menurut pandangan beberapa para ahli sebagaimana yang dikutip oleh Dhofier (2011: 41) antara lain: Jhons menyatakan, kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara itu, C.C. Berg berpendapat santri berasal dari istilah “shastri” diambil dari bahasa India, yang berarti orang yang mengetahui dan cakap pada kitab-kitab suci agama Hindu. Kata “shastri” berasal dari kata “shastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku tentang keagamaan, atau buku-buku ilmu pengetahuan.
Terlepas dari perdebatan kedua ahli tersebut, jelas bahwa dari aspek etimologi pendapat Jhons dan C.C. Berg, keduanya memiliki kesamaan prinsip bahwa kata santri ditujukan terhadap pihak yang menggeluti tentang kitab-kitab suci keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Keberadaan pesantren di Pulau Jawa pada umumnya berada di luar kota–yang jauh dari tempat keramaian; di luar pemukiman penduduk yang sudah ada sebelumnya (pinggiran desa) atau di daerah pegunungan. Demikian juga Lubis et.al., dalam bukunya (2011: 29-30) menyatakan, pesantren lebih dimaknai sebagai sebuah komunitas independen yang tempatnya jauh, berada di daerah pegunungan dan berasal dari lembaga pendidikan jenis pra-Islam, yakni mandala atau paguron. Namun di beberapa daerah, seperti di daerah Sukabumi, ada pesantren yang sejak masa kolonial telah berdiri di dalam kota, di antaranya: Pesantren Cipoho; dan Pesantren Gunung Puyuh, yang keduanya berada di dalam Kotamadya Sukabumi (Iskandar, 2001: 91). 
Sementara itu, Karel A. Steenbrink secara tegas menyatakan bahwa pendidikan model pesantren berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia berlangsung, model pendidikan ala pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu  di Indonesia, terutama di Jawa. Setelah Islam masuk dan tesebar di Jawa, model semacam itu kemudian diambil oleh Islam (Steenbrink, 1986: 20-21; Lubis, et.al., 2011: 30). Oleh karenanya, K.H. Syarif Rahmat mengumpamakan lembaga pendidikan–sejenis pesantren, mandala, atau asrama –diibaratkan sebuah wadah atau gelas, dan ajaran keagamaan bagian dari isi gelas itu sendiri. Setelah pengaruh Islam masuk ke Indonesia, maka gelas yang awalnya berisi “ajaran Hindu”,  kemudian diganti dengan isi yang baru, yakni agama Islam (Rahmat, 2014: dalam acara Damai Indonesia dengan tema ”Wajah Islam Nusantara”) [di akses 28 Februari 2015]. 
Uraian di atas semakin dipertegas oleh Maarif (1985: 56) yang menyebut, bahwa pola dan sistem pembelajaran yang diterapkan di pesantren merupakan hasil persilangan antara sistem pembelajaran dari budaya Hindu dengan mengkonversi nilai-nilai dan ajaran ke-Islaman. Perbedaannya, pesantren diperuntukan bagi semua masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan dan pranata sosial, dari masyarakat kelas atas hingga kelas bawah, dari golongan elit hingga cacah (egaliter). Sedangkan lembaga pendidikan pada masa Hindu lebih diperuntukan bagi masyarakat kelas atas atau kaum priyayi saja, sehingga terkesan bersifat memihak[3].
Studi mengenai pesantren pernah dilakukan juga oleh Zamarkhasy  Dhofier. Dhofier  (2011: 83) menyebutkan, pesantren sebagai lembaga pendidikan terdiri dari lima unsur, di antaranya: kyai (guru); santri (siswa); pondok[4] atau kobong; mesjid; dan pengajaran kitab-kitab klasik atau seringkali dikenal dengan sebutan kitab kuning. Adapun kelima unsur yang telah diurai barusan, kyai dan santri merupakan unsur yang paling esensial dalam pondok pesantren. Hubungan kyai dan santri seperti dua variabel yang bersifat komplementer atau saling melengkapi, santri belajar di bawah bimbingan kyai atau ajengan dan santri secara tidak langsung menjadi penghubung kyai dengan penduduk kampung luar pesantren dan sekaligus menjadi semacam alat promosi kyai dan pesantrennya (Iskandar, 2001: 93).  
Selama menempuh proses belajar, para santri menetap dan tinggal bersama kyai untuk beberapa waktu yang telah ditentukan, biasanya dalam waktu relatif  lama. Santri tidak hanya dididik untuk melek ilmu agama saja, tetapi juga mendapatkan pengajaran tentang jiwa kepemimpinan, kemandirian, cinta tanah air, kejujuran, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, dan sikap positif  lainnya.
Besar kecilnya pesantren bukan diukur oleh luas atau sempitnya tanah pondok pesantren, namun didasarkan kepada banyak atau sedikitnya jumlah santri yang bermukim di pesantren tersebut. Menurut Dhofier (2011: 79), di Indonesia kategorisasi pesantren di bagi ke dalam tiga kelompok, di antaranya: pesantren besar; pesantren menegah; dan pesantren kecil. Pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2.000 yang berasal dari berbagai kota, bahkan provinsi. Pesantren sedang/menengah banyaknya santri berjumalah 1.000 sampai 2.000 orang. Sedangkan pesantren kecil umumnya memiliki santri berjumlah kurang dari 1.000 orang dan pengaruhnya terbatas pada tingkat kabupaten/kota.
Adapun secara garis besar, kategorisasi santri masih menurut Dhofier (2011: 89) terdiri dari dua kelompok: pertama, santri mukim. Santri mukim adalah santri yang menetap di pesantren dalam jangka waktu tertentu, biasanya relatif lama. Santri mukim biasanya memiliki tanggung-jawab untuk mengurusi kehidupan pesantren sehari-hari, termasuk mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar; Kedua, santri kalong. Santri kalong adalah santri yang tidak menetap di pesantren, kebanyakan mereka berasal dari penduduk sekitar pesantren. Namun secara rutinitas, santri kalong tetap secara rutin mengikuti proses pembelajaran yang telah dijadwalkan, kemudian setelah selesai proses kegiatan belajar mereka pulang ke rumahnya.
Setelah  santri-santri menimba ilmu agama dan dirasa telah cakap, mereka kembali ke tempat asalnya, ia akan menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam yang diperolehnya. Tidak sedikit pula diantara mereka kemudian mendirikan pondok-pondok pesantren. Tradisi semacam ini seolah sudah menjadi kebiasaan, bahkan “keharusan” seorang santri apabila telah tamat menimba ilmu agama. Hal tersebut bertujuan guna menyebarkan Islam yang berkelanjutan dan merata hingga ke daerah-daerah lainnya. Alasan lainnya sebagai bentuk dharma baktinya terhadap masyarakat – daerah di mana ia tinggal dalam upaya memantapkan kualitas keagamaan masyarakat tersebut.
Pola dan sistem pendidikan di pesantren pada mulanya dibuat sesederhana mungkin, tidak mempunyai kurikulum terperinci, kalender akademik, memberi gelar atau sertifikat/ijazah sebagaimana yang terdapat pada pola dan sistem pendidikan saat ini. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem sorogan,dan bandungan, atau wetonan[5]. Hakikat dari sistem pengajaran ini adalah penghapalan yang titik akhirnya dari segi metodologis cenderung mengarah kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu (Usman, t.th. : 16). Dengan kata lain, itu ditafsirkan oleh sebagian pihak sebagai sikap “bertaklid”, yaitu mengikuti apa yang telah diajarkan dan dipraktekan oleh kyai atau orang-orang sebelumnya, sehingga terbatas pada apa yang telah diberikan oleh kyai. Kurikulumnya pun sepenuhnya ditentukan oleh  kyai (Iskandar, 2001 : 2).
Pola dan ciri khas lainnya yang mencerminkan pesantren di Indonesia, bila ditinjau dari aspek teo-kultural adalah cenderung bersifat terbuka, fleksibel, dan toleran. Ilmu dan pengetahuan antara intelektual quotient (iq), emosional quotient (eq), dan spiritual quotient (sq) yang tertanam kuat menjadi modal dalam perjalanannya pesantren dapat mampu menjaga dan mempertahankan keberlangsungan dirinya (survival system) dan melahirkan masyarakat yang berkualitas dan dinamis, sehingga tidak terlihat kaku dan kering (Usman, t.th. : 1).
Meminjam istilah Hasan Hanafi (Imanulhaq, 2014: 1) hal itu sengaja dikembangkan guna melahirkan pemikiran yang progresif-transformatif dalam upaya membangun masyarakat agar lebih fleksibel, sehingga jauh dari watak ektrem-radikal dalam menyikapi berbagai persoalan hidup; sosial, politik-kebangsaan. Selain itu, karena watak tradisi yang toleran, maka pesantren diharapkan mampu menjembatani berbagai persoalan secara harmonis.
Kenyataan seperti itu menunjukan bahwa pesantren tidak hanya mampu menampilkan  aspek ke-Islaman saja, namun sebagai representasi dari kebudayaan Indonesia asli. Islam Indonesia (plural, ber-bhineka), bukan orang Indonesia yang secara kebetulan beragama Islam. Artinya, pesantren telah menjadi identitas nasional-Indonesia.  Pandangan mata masyarakat terhadap pesantren harus dilihat dari dua sisi; sisi keagaman, dan sisi ke-Indonesiaan.

Pesantren sebagai Pusat Perlawanan: Kajian Identifikasi Beberapa Pesantren di Priangan Timur  
Pada uraian sebelumnya telah dibahas mengenai sejarah dan peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dalam upaya menyebarluaskan dan membangun kehidupan beragama dalam masyarakat. Pada bagian ini, akan diurai mengenai peran pesantren sebagai basis perlawanan atas penindasan yang dilakukan pihak kolonial (Belanda dan Jepang) yang terjewantahkan melalui perlawanan-perlawanan terhadap keduanya.
Hasil penelusuran sejarah Islam dan politik di Indonesia, ketika sultan-sultan sudah tidak memiliki kekuatan politik lagi karena dikalahkan oleh penjajah, ulama sebagai sentral figur masyarakat menggantikan posisi sultan atau raja dalam menggalang kekuatan rakyat untuk melawan penjajah. Pusat kekuatan politik pun yang semula berada di keraton atau istana berpindah ke pesantren-pesantren. Dalam hal ini pesantren menjadi basis perlawanan. Pernyataan itu diamini oleh Suryanegara (1996: 130), bahwa pesantren dijadikan medan pembinaan santri yang disiapkan untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial-Belanda ataupun pemerintahan militer Jepang.
Pandangan Kartodirjo dalam salah satu karya penelitiannya[6] yang dikutif Dhofier (2011: 39) menekankan aspek-aspek kehidupan politik pesantren, karena perhatiannya menyangkut peranan pesantren dalam gerakan-gerakan protes di pedesaan Indonesia akhir abad ke-19 dan permualaan abad ke-20. Gambaran-gambaran semacam itu mengarahkan pandangan kyai untuk menyimpulkan bahwa lembaga-lembaga pesantren telah menekankan pentingnya perjuangan politik dibandingkan dengan yang lainnya. Gerakan Islam yang terbesar dengan latar belakang pesantrennya ialah Nahdlatul Ulama (NU). Di samping NU masih ada gerakan-gerakan Islam konservatif lokal, seperti Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Al-Washliyah (Nahdlatul Wathan) di Lombok, dan Persatuan Umat Islam (PUI) di Majalengka-Jawa Barat (Maarif, 1985: 56).
Sebuah penilaian yang pantas terhadap pengalaman dan kegiatan politik Islam yang dilakukan pada masa kolonial-Belanda dan pendudukan Jepang, bahkan masa revolusi kemerdekaan sekalipun. Islam telah “ber-tiwikrama” sebagai kekuatan pembebas dan menjadi tumpuan masyarakat. Islam ditempatkan menjadi jalan keluar yang ampuh pada saat itu  guna melawan ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh pihak penjajah. Islam dipandang juga sebagai pelopor dasar perubahan sosial.
Dilatari semangat jihad fisabilillah melandasi mereka tidak gentar dalam menghadapi kekuatan kaum penjajah yang sebenarnya lebih kuat secara politik, bahkan militer. Namun baginya, perang melawan ke-kufuran dan membela bangsa merupakan harga mati yang harus diperjuangkan.  Tidak heran maka ketika periode kemerdekaan beredar luas slogan-slogan yang dinisbatkan sebagai hadist nabi: “Hubbul wathan minal iman”, artinya cinta kepada tanah air merupakan sebagian dari iman.
Clifford Geertz dalam Islam: Observed Religious Development in Morocoo and Indonesia (Suryanegara, 1996: 131) menyebutkan periode abad ke-19, antara tahun 1820 - 1880 di Indonesia telah terjadi empat kali perlawanan besar yang dimotori oleh golongan santri dan ulama, di antaranya:
Pertama di Sumatera Barat (1821-1828). Namun dalam konteks ini Geertz tidak menyebutkan pemberontakan santri tersebut sebagai Perang Paderi – sebagaimana yang dikenal luas oleh masyarakat selama ini melalui buku-buku teks sejarah Indonesia – hanya saja disebutkan meletusnya pemberontakan santri di Sumatera Barat disebabkan oleh perbedaan keyakinan antara golongan ulama dan santri dengan kaum adat dalam memahami sebuah agama (Islam).
Kedua di Jawa Tengah (1825-1830). Dalam pemberontakan santri di Jawa Tengah ini, Geertz tidak menyebutkan nama Pangean Diponegoro sedikit pun. Tetapi Geertz mengamini bahwa pemberontakn ini dilakukan oleh para santri sebagai akibat adanya gerakan Imam Mahdi yang melancarkan perang sabil terhadap imperialis Belanda.
Ketiga, di Barat Laut Jawa pada 1840 dan 1880. Di sini Geertz tidak menyebutkan nama daerah dan tokoh ulama yang memimpin pemberontakan tersebut, hanya dijelaskan tentang tindakan para ulama yang memimpin pemberontakan santri tersebut dalam upaya mengahancur-hancurkan rumah-rumah orang Eropa dan Pamong Praja[7]. 
Keempat terjadi di Aceh pada 1873-1903. Dalam hal ini Geertz tetap tidak menyebutkan tokoh ulama yang memipin pemberontakan santri di Aceh  ini, tetapi meyebutkan bahwa pemberontakan ini berhasil mengacaukan imperialis Belanda selama ± 30 tahun.
Pernyataan Gertz di atas barangkali dapat dijadikan sebagai kenyataan sejarah dalam merubah citra masyarakat terhadap pesantren yang selama ini telah tersebar luas, bahwa pesantren selalu identik dengan kalangan tertinggal, kaumkolot, atau memberikan penilaian-penilaian lainnya yang bersifat negatif. Suka ataupun tidak, pesantren telah memberikan kontribusi dan sumbangsih yang sangat besar dalam upaya pencapaian kemerdekaan bangsa ini.
Pesantren pernah menjadi tempat pergerakan para pejuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia yang tertinggal dari sisi ekonomi, pendidikan, dan berbagai ilmu pengetahuan. Di mana ada pusat penjajah bercokol, tak jauh dari tempat itu pesantren ada; kyai dan santrinya menjadi penggerak untuk duduk sebagai pihak yang paling depan dalam melakukan perlawanan.
Maraknya berbagai bentuk perlawanan yang berbasis di pesantren-pesantren di Indonesia seperti yang sudah disebut Geertz tadi membuat pemerintah kolonial mewaspadai[8] dan mengontrol secara ketat setiap aktivitas yang dilakukan oleh kelompok Islam (pesantren), lebih-lebih dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mendorong orang-orang Islam untuk melaksanakan Ibadah Haji. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengeluarkan banyak peraturan yang mempersulit, bahkan melarang kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji (Yatim, 2008: 253).
Banyaknya haji-haji yang bermukim bertahun-tahun lamanya di Mekkah, kemudian berkenalan dan belajar ilmu keagamaan yang sebenarnya berbeda dengan Islam yang berada di Indonesia. Dapat diperkirakan bahwa di antara para haji yang kembali ke tanah air banyak menjadi penganut Islam yang lebih ortodoks dan “fanatik” dengan cita-cita keagamaan dan politik Pan-Islamisme yang cenderung bersifat militan, radikal, secara tegas menyatakan permusuhan terhadap penguasa kolonial yang dianggapnya sebagai bangsa kafir, anti-Belanda (Benda, 1985: 42). Tidak sedikit pula mereka yang membawa ajaran ortodoks, lambat laun merubah atau menggantikan kedudukan Islam sinkretik yang selama ini menjadi khas Islam di Indonesia.
Perubahan-perubahan drastis dalam bidang sosial-keagamaan, dan politik yang dialami Indonesia secara singkat pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 membuat tugas-tugas administrasi pemerintah kolonial-Belanda menjadi lebih kompleks. Masalah-masalah yang ditimbukan kaum fanatik agama atau berbagai perlawanan-perlawanan yang dipimpin oleh golongan elite agama tidak bisa dipandang sebelah mata, karena telah berhasil membuat kewalahan pemerintah kolonial-Belanda misalnya.
Dalam upaya menghadapi kondisi seperti itu, kemudian pemerintah kolonial-Belanda mengeluarkan kebijakan untuk mengangkat penghulu sebagai pegawai negeri. Otoritas penghulu yaitu membantu bupati untuk mengawasi umat Islam. Gubernur Jenderal secara rahasia diinstruksikan oleh Raja Belanda untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna memelihara tugas pengawasan yang dilakukan oleh para bupati terhadap ulama pribumi tersebut (Suminto, 1985: 3).
Pada 1925, untuk menjalankan fungsi pengawasannya tehadap perkembangan pesantren, mubalig, dan kegiatan dakwah lainnya, pemerintah kolonial-Belanda mengeluarkan kebijakan peraturan undang-undang bagi guru atau ustadz yang dikenal dengan Ordonansi Guru[9]. Kemudian diikuti pula dengan penerapan Ordonansi Pengawasan Sekolah pada 1932. Harus difahami juga karena pertumbuhan sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam – Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan yang lainnya – saat itu, tumbuh seperti jamur di musim penghujan. (Suryanegara, 1996: 258).
Kendatipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah kolonial-Belanda dalam rangka menjinakan golongan Islam, namun hal itu tidak menghentikan langkah gerak kaum muslim Indonesia untuk mengadakan perlawanan. Misalnya yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari di Jawa Timur, KH. Zaenal Mustafa[10] di Pesantren Sukamanh Tasikmalaya, KH. Marzuki di Pesantren Miftahul Huda Citangkolo- Kota Banjar,  KH. Syaikhuna Badruzzaman Pesantren Al-Falah Biru Garut.
Nama-nama yang telah disebut barusan, tentunya hanyalah sebagian contoh saja dari peran pesantren sebagai pusat perlawanan, terutama pesantren-pesantren di Priangan. Karena sesugguhnya banyak pesantren lainnya baik yang tersebar di Priangan secara khususnya ataupun di Indonesia umumnya yang telah menorehkan sejarah, berperan aktif dalam perang kemerdekaan. 
KH. Hasyim Ashari adalah pendiri Pesantren Tebuireng di Jombang Jawa Timur. Selain itu ia juga tercatat sebagai Pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama. Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, KH. Hasyim Asy’ari telah menjadikan pesantrennya bukan hanya sebagai pusat pendidikan saja, tetapi juga sebagai pusat perlawanan dalam menghadapi kekuatan penjajah. Kesadarannya terhadap persoalan politik muncul karena menyaksikan sekaligus merasakan berbagai tekanan-tekanan yang disebabkan oleh kaum penjajah di Indonesia.
Pada mulanya, sikap kontra KH. Hasyim Asy’ari terhadap pemerintah kolonial-Belanda tidak terlalu menampakan diri secara terbuka. Pemerintah kolonial-Belanda pun tidak menjadikannya sebagai musuh utama yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya. Keterlibatan KH. Hasyim Asy’ari dalam aktifitas politik mulai nyata dan diperhitungkan oleh pemerintah kolonial-Belanda ketika ia bersama KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Sanuri mendirikan organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama.
Terbentuknya Nahdlatul Ulama yang didirikan pada 31 Januari 1926 awalnya bercorak organisasi sosial-keagamaan, ialah untuk melindungi praktik dan pemikiran keagamaan muslim Indonesia yan berbeda dengan praktik dan pemikiran keagaman muslim Timur Tengah, khususnya Arab Saudi yang fundamentalis (Zada, dan Sjadzili (ed.), 2010: 4) . Namun pada perkembangannya banyak melakukan aktifitas-aktifitas politik kebangsaan.
Secara taktis, K.H. Hasyim Asy’ari melalui Nahdlatul Ulama-nya menetapkan pendekatan akomodatif terhadap pemerintah Belanda, meskipun terkadang ia juga menunjukan sikap penentangannya terhadap pemerintah kolonial-Belanda dengan mengeluarkan fatwa-fatwa dan kecaman yang dinilai membahayakan dan memicu kemarahan pemerintah kolonial-Belanda. Sebagai contoh, KH. Hasyim Asy’ari dengan kyai-kyai NU lainnya melancarkan perlawanan atas penerapan Ordonansi Haji yang diputuskan oleh pemerintah kolonial-Belanda. Penetapan aturan tersebut dinilai telah memberatkan para jama’ah haji yang bermukim di Mekkah, karena diwajibkan untuk membayar pajak haji. Penolakan tersebut sampai pada tuntutannya bahwa Belanda harus mencabut peraturan tersebut dan membebaskan para jama’ah haji untuk tidak membayar pajak tersebut. Tuntutan itu disuarakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan kyai-kyai NU lainnya saat Muktamar NU yang diselenggarakan di Cirebon - Jawa Barat pada 1938 (Moesa 2007: 114).
Sewaktu awal pendudukan Jepang 1942, KH. Hasyim Asy’ari ditangkap oleh Pemerintahan Militer Jepang bersama K.H. Mahfudz Siddiq (Madinier, 2013: 47). Kemudian ditahan dan di penjarakan Jombang[11]. Ia ditahan karena sikap penolakannya dan mengeluarkan fatwa haram mengenai seikerei, membungkukan badan Sembilan puluh derajat menghadap matahari sebagai bentuk pengormatan kepada Dewa Matahari dan Kaisar Jepang. Saat itu ia tengah berusia 70 tahun.
Tidak lama kemudian, setelah adanya upaya perundingan yang dilakukan oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Wahid Hasyim – Keduanya tidak ada henti-hentinya melakukan dialog dengan Shaiko Sikikan, Panglima Besar tentara Jepang yang berkedudukan di Jakarta ia dibebaskan sekitar bulan Agustus 1942 (Ricklef, 2008: 436).
Perlawanan fisik secara terbuka sewaktu masa pendudukan Jepang dilakukan juga oleh KH. Zaenal Mustafa di Tasikmalaya - Jawa Barat. KH. Zaenal Mustafa merupakan pendiri Pesantren Sukamanah-Tasikmalaya. Ia merupakan ulama independen dan pelindung rakyat, sehingga ia sangat disegani oleh santri sekaligus masyarakat sekitarnya, di samping karena kharismanya yang begitu kentara. KH. Zaenal Mustafa menerapkan kedisiplinan dan mewajibkan santrinya untuk belajar silat sebagai benteng pertahanan diri (Lubis, 2006: 120). Di lapangan inilah, ia mulai bergerak maju menuju titik yang sama seperti yang dicita-citakan oleh ulama-ulama pejuang terdahulu (Dipenogoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Panglima Polim, dan lain-lain), yakni menyingkirkan kaum penjajah dari Indonesia.
K.H. Zaenal Mustafa dalam menyesuaikan pengaruh gerakannya, ia memilih Nahdlatul Ulama[12] sebagai saluran gerakannya sejak tahun 1933. Melalui organisasi inilah, ia memperluas pandangannya untuk melihat kekejaman dan berbagai tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial-Belanda, sehingga sampai tahun 1940 membuat ia lebih meningkatkan lagi aktifitas dakwahnya. Dalam setiap dakwahnya, KH. Zaenal Mustafa seringkali melancarkan kecaman-kecaman dan kritikan-kritikan pedas terhadap pemerintah kolonial-Belanda. Akibatnya, pada tanggal 17 November 1941 ia ditangkap dan dipenjarakan di penjara Sukamiskin selama 53 hari. Tujuan penangkapan ini adalah agar KH. Zaenal Mustafa bersikap lunak terhadap pemerintah kolonial-Belanda. Namun sebaliknya, ia malah besikap lebih keras lagi (non-kooperatif) terhadap pemerintahan tersebut. Ia dibebaskan sekitar bulan Januari 1942, namun untuk kedua kalinya ia ditangkap kembali oleh pemerintah kolonial-Belanda. Kali ini ia dipenjarakan di penjara Ciamis. Sekitar sebulan kemudian dibebaskan oleh pemerintah Jepang pada tanggal 31 maret 1942 (Suryanegara, 1996: 271).
Pada masa pendudkan Jepang, Pesantren Sukamanah telah memiliki enam buah pondok, yaitu Pondok Galunggung, Pondok Tawakal, Pondok Sukasenag, Podok Sukapura, Pondok Salamet, dan Pondok Tasik.  Terhitung sampai tahun 1944, pesantren ini memliki sekitar 1500 orang yang terdiri dari santri mukim dan santri kalong (Lubis, 2006: 119).
Perlawanannya terhadap Jepang sebenarnya bermula semenjak Jepang menerapkan sistem romusha. Jepang mewajibkan rakyat untuk bekerja tanpa diberi imbalan atau hak yang layak sebagaimana mestinya, sehingga dianggap menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat. Tujuan Jepang memberlakukan sistem romusha adalah mengharapkan hasil kerja (penyerahan padi) tersebut untuk dijual dengan tinggi , hasilnya akan digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dalam menghadapi Sekutu saat Perang Dunia II. Selain itu, adanya penerapan sistem ini sebagai upaya untuk melemahkan potensi kekuatan umat Islam Indonesia. Dalam hal ini Jepang mengamalkan teori kelaparan  Josue de Castro, hunger as a weapon of war – kelaparan dimaknai sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan dalam peperangan (Suryanegara, 2010: 88).
Kebiadaban-kebiadaban yang dilakukan Jepang diperparah dengan menerapkan kebijakan seikerei, yang mengharuskan rakyat Indonesia membungkukan diri Sembilan Puluh derajat mengarah pada matahari sebagai simbol penghormatan kepada Dewa Matahari (agama Sinto) dan Kaisar Jepang. Kebiasaan-kebiasan yang dilakukan oleh orang Jepang tersebut, tentunya mendapat penolakan keras dari umat Islam Indonesia – termasuk di Singaparna Tasikmalaya yang dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa – karena dianggap menyekutkan Allah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kurasawa (1993: 458) menyebutkan, Perlawanan ini merupakan kerusuhan terbesar pertama di Jawa yang bersifat anti-Jepang.
Di Kota Banjar, terdapat Pesantren Citangkolo (sekarang: Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar) berlokasi di Desa Kujangsari Kec. Langensari Kota Banjar - Jawa Barat. Pesantren ini didirikan pada 1911 oleh KH Marzuki, seorang kyai yang berasal dari Kebumen Jawa Tengah. Pada awal pendirianya, aset yang ada di pesantren ini hanya sebuah mushola. Enam tahun kemudian, baru lah pesantren ini mulai mendirikan masjid permanen (1917), yang kemudian diresmikan oleh pemerintah kolonial-Belanda pada 1926. Lalu, pada 1937, pesantren ini mulai membangun kobong sebagai tempat belajar dan tempat tinggal para santri (Lubis, et.al.,2011: 43). 
Pada masa pemerintahan militer Jepang dan revolusi kemerdekaan, pesantren ini terlibat aktif dalam upaya melakukan perjuangan, sehingga aktivitas Pesanten Caitangkolo ini banyak terganggu. Sikap perlawanannya, bermula ketika diterapkannya suatu kebijakan oleh pemerintah militer Jepang yang membatasi setiap aktivitas politik maupun keagamaan dengan memata-matai berbagai setiap aktivitas di dalmnya. Hal ini membuat Pesantren Citangkolo tidak luput dari target pengawasan pemerintah militer Jepang. Kehidupan di Pesantren Citangkolo seperti la yahya wala yamut, untuk tidak dikatakan berhenti sama sekali (Kusdiana, 2014: 159).
Buntut dari penerapan aturan yang diterapan pemerintah militer Jepang itu, membuat pesantren ini terkekang dalam melakukan setiap aktivitasnya, maka pesantren Citangkolo pun memberikan perlawanannya terhadap pemerintah militer Jepang. Lebih dari itu, perlawanan yang dilakukan oleh Pesantren Citangkolo pun berlanjut hingga era revolusi kemerdekaan.
Pada masa revolusi fisik, KH. Marzuki – selaku pendiri Pesantren Citangkolo –tercatat pernah aktif dan menjadi bagian dari Lasykar Hizbullah. Hal ini dilatari oleh prinsip ta’ muruna bil ma’ruf wa tanha anil munkar dan hubbul wathan minal iman. Baginya, segala bentuk penjajahan harus diusir dari negara ini dan rakyat wajib membela negara-nya. Dengan demikian boleh dikatakan, Pesanren Citangkolo lebih banyak berperan sebagai basis perlawanan dalam upaya melawan pendudukan pemerintah militer Jepang di Indonesia. Bahkan, KH. Marzuki tercatat pernah terlibat pada peristiwa Bandng Lautan Api (Lubis, et al., 2011: 43; Kusdiana, 2014: 159-160). 
Di wilayah Priangan Timur lainnya, ada Pesantren Al-Falah Biru[13] yang berada di Tarogong Kabupaten Garut. Pesantren Al-Falah Biru merupakan kelanjutan dari Pesantren Biru yang didirikan pada tahun 1749 oleh Embah Penghulu (Embah Kyai Akmaludin). Beliau adalah penghulu Timbanganten/Garut dan memiliki menantu Raden Kyai Fakaruddin seorang ulama dari Tanjung Singuru Garut. Kedua tokoh ulama ini merupakan sesepuh kampung Biru yang berperan dalam penyebaran agama Islam di wilayah Garut (Arifin, 2012. dalam “Selayang Pandang Pesantren Al-Falah Biru”. Tersedia di http://biru-garut.blogspot.com) [di akses 17 April 2015] .
Setelah Kyai Akmaludin meninggal dunia, Pesantren Biru dipimpin dan dikelola oleh Kyai Fakaruddin, Kyai Abdul Rosyid, Kyai Irfan, Kyai Abdul Qoim, Kyai Muhammad Adra’ie (Ama Biru). Setelah masa Raden Bagus Kyai Muhammad Adra’ie berakhir, kemudian dipindahkan ke Kampung Tarikolot dan ditambahkan namanya menjadi “Al-Falah” yang pimpin oleh putranya bernama Kyai Muhammad Asnawi Faqieh (Bani Faqieh). Setelah itu dilanjutkan oleh Syaikhuna Badruzzaman dan Kyai Bahrudin (Kusdiana, 2014: 123).
Pada periode kepemimpinan Syaikhuna Badruzzaman[14] antara masa pra-kemerdekaan sampai masa revolusi fisik, pesantren ini aktif dalam kegiatan keorganisasian keagamaan Al-Muwafaqoh dan menjadi pusat perlawanan rakyat. Pada zaman Jepang, beliau membentuk pasukan Hizbullah dan Sabilillah melalui sistem kholwat[15] dan “hijrah”. Gerakan kholwat dilakukan melalui riyadlah atau tarbiyah ruhani dalam upaya memantapkan tauhid (Muhsin, 2011: 52).
Pada 1943 pasukan Hizbullah berhasil menguasai logistik Jepang di Kp. Malayu Samarang sehingga kunci logistiknya Hotel Malayu[16] diserahkan oleh 8 utusan Jepang kepada Syaikhuna Badruzzaman. Dua tahun kemudian, pada 1945 dua tentara Jepang menyerahkan diri kepada Syaikhuna Badruzzaman dan mengganti nama yaitu, Abu bakar dan Kholid. Ia kemudian ditugaskan Syaikhuna Badruzzaman untuk memberikan pelatihan-pelatihan militer pada pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
Kehadiran Pesantren Al-Falah Biru pada masa revolusi kemerdekaan semakin menunjukkan peranannya dalam melakukan perlawanan terhadap sekutu. Secara diam-diam pesantren menjadi tempat untuk mengatur strategi perjuangan. Keterlibatan santri pesantren Al-Falah Biru dalam perjuangan sangat berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Garut. Secara khusus keterlibatan santri Al-Falah Biru di antaranya pengambilalihan markas logistik Jepang di Hotel Malayu, penghadangan pasukan Belanda di Cidadali Samarang, pertempuran di Kubang dan penyerangan Belanda ke pesantren Al-Falah Biru. Hal demikian mengakibatkan Peantren Al-Falah Biru dijadikan sebagai target serangan mortir Belanda pada waktu itu.
Aktifitas pembelajaran di pesantren terus berlangsung meskipun mengalami beragam gangguan dari tentara Belanda. Pada tahun 1947 pesantren sempat mengalami pengeboman dan pengepungan yang dilakukan oleh Belanda karena mencurigai keberadaan pesantren sebagai basis perlawanan rakyat. Tidak hanya itu, sosok Syaikhuna Badruzzaman pun saat itu menjadi bulan-bulanan pihak Sekutu karena tindakan-tindakannya yang menentang keras kehadiran pihak Sekutu (Arifin, 2012. dalam “Riwayat KH. Syaikhuna Badruzzaman”. Tersedia di http://biru-garut.blogspot.com) [di akses 17 April 2015] .
Keadaan demikian memaksa KH. Syaikhuna Badruzzaman melakukan politik hijrah, yakni mengungsi, dan menghindari dari kepungan pasukan tentara Belanda untuk menyusun kembali kekuatan baru dan menyusun kekuatan barisan rakyat dari satu tempat ke tempat lain, dengan menempuh perjalanan panjang, dari beberapa wilayah yang saling berjauhan (Muhsin Z, 2011: 53).
Pada mulanya hijrah dilakukan antar desa dan kecamatan di lingkungan Kabupaten Garut. Kemudian gerakan hijrah berkembang antar kabupaten, bahkan antar provinsi sekalipun pernah dilakukannya. Hal yang menarik dalam hijrah ini adalah di setiap tempat yang disinggahi apabila akan diserang oleh pasukan tentara Belanda, tidak lama sebelum serangan datang, KH. Badruzzaman dan beberapa murid-muridnya telah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu. KH. Badruzzaman seolah sudah mengetahui terlebih dahulu kejadian yang akan menimpa dirinya dan para murid-muridnya (waspada permana tingal).    
Bila diurutkan,wilayah perjuangan K.H. Badruzzaman dilihat dari medan gerilyanya seperti yang dikutif dari Mumuh Muhsin Z. (2011: 55-56) adalah sebagi berikut:
 I.            Periode Penjajahan kolonial-Belanda: sekitar 1930-an beliau hijrah ke:
1)      Majenang (Jawa Tengah);
2)      Cikalong;
3)      Taraju (Tasikmalaya).
II.            Periode Pendudukan Jepang: pada 1942-1945 beliau hijrah ke Majenang.
III.          Periode Revolusi Kemerdekaan antara1945-1947, beliau hijrah ke daerah-daerah/kampung-kampung di lingkungan Kabupaten Garut:
1)      Kampung Leuceun;
2)      Kampung Lamping;
3)      Kampung Cidadali;
4)      Kampung Talaga;
5)      Kampung Ciherang;
6)      Kampung Cibodo;
7)      Kampung Madur;
8)      Kampung Pasir Halang;
9)      Kampung Nunggal;
10)   Danau Kamojang (berbatasan dengan Kab. Bandung);
11)   Kawah Kamojang (berbatasan dengan Kab. Bandung);
12)   Situ Danau Kamojang (berbatasan dengan Kab. Bandung);
13)   Kampung Jelekong Kab. Bandung;
14)   Padalarang;
15)   Cikalong;
16)   Jakarta;
17)   Lampung.
IV.            Periode tahun 1947-1962
1)       Gunung Gede;
2)       Gunung Galunggung;
3)       Parentas, Singaparna;
4)       Majalaya;
5)       Padalarang.
Demikian sekilas tentang gambaran umum pesantren sebagai pusat perlawanan dalam upaya memperjuangkan atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan tersebut barangkali tidak terlalu besar peranannya dalam konteks sejarah nasional, namun berbagai perjuangan yang digelorakan oleh para santri tersebut memiliki nilai historis tersendiri bagi kelompok-kelompok Islam di pesantren. Tentunya peranan santri ini merupakan hasil nyata pembinaan yang dilakukan terhadap santri di pesantren sebagai objek pembentukan karakter tertentu sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren.
Memperhatikan peranan beberapa kyai yang disebut di atas tadi, tampak begitu kuat dalam menggerakkan pesantren tentunya tidak terlepas dari analisis mengenai peranan kyai di pesantren. Kyai adalah pemimpin non-formal sekaligus pemimpin spiritual, posisinya sangat dekat dengan kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai pemimpin masyarakat, kyai memiliki jemaah komunitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik. Kyai menjadi seseorang yang dituakan oleh masyarakat atau menjadi bapak masyarakat terutama masyarakat desa. Petuah-petuahnya yang memilki daya pikat luar biasa bagi masyarakat memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorganisasi. (Depdiknas, 2000: 40).
Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kyai didukung potensinya memecahkan berbagai problem--sosiologis, psikis, kultural, politik, religius--menempatkan kyai pada posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat.

Daftar Sumber
Sumber Buku
Benda, Harry J. 1980.
Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. (Terj.) Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya.
Depdiknas. 2000.
Peranan Elit Agama pada Masa Revolusi Indonesia. Jakarta: Prima Utama.
Dhofier, Zamakhasary. 2011.
Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai: Cetakan Kesembilan. Jakarta: LP3S.
Imanulhaq, Maman. 2014.
Pergulatan Islam, Kebudayaan, dan Modernitas. Disampaikan dalam Pidato Kebudayaan Pelantikan PW LESBUMI NU Jabar.
Iskandar, Muhammad. 2001.
 Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Junus, Mahmud. 1960.
Sedjarah Pendidikan Islam di Indonesia. Djakarta: Pustaka Mahmudiah.
Kurasawa, Aiko. 1993.
Mobilisasi Dan Kontrol Studi Tentang Perubahan Sosial Pedesaan Jawa 1942-1945, terjemahan Hermawan Sulistyo. Jakarta : Gramedia.
Kusdiana, Ading. 2014.
Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800-1945). Bandung: Humaniora.
Lubis, Nina Herlina dkk., 2011.
Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat. Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
-------. 2006.
9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985.
Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Cetakan Pertama. Jakarta: LP3ES.
Madinier, Remy. 2013.
Partai Masyumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Bandung: Mizan.
Moesa Ali Maschan. 2007.
Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS.
Muhsin, Mumuh Z. 2011.
Perjuangan K.H. Syaikhuna Badruzzaman dalam Merebut, Mempertahankan, dan Mengisi Kemerdekaan (1900 – 1972). Jatinangor: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad.[E-Book].
Ricklefs, M.C. 2008.
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008: Cetakan Pertama. Jakarta: Serambi. 
Suminto. 1985.
Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES.
Suryanegara, Ahmad Mansyur. 1996.
 Menemukan Sejarah: Wacana Pegerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Wahid, Abdurrahman. 2001.
Menggerakan Tradisi: Esai-esai Pesantren: Cetakan Pertama. Yogyakarta: KIS.
Yatim, Badri. 2008.
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Zada, Khamami, dan A. Fawaid Sjadzili (ed.). 2010.
Nahdlatul Ulama: Dinamika ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Kompas.

Sumber Internet
Arifin, A. Tajul. 2006
“Selayang Pandang Pesantren Al-Falah Biru”. Tersedia di http://biru-garut.blogspot.com. Diakses 14 Maret 2015.

Sumber Visual
Rahmat, Syarif. 2015.
Acara Damai Indonesia dengan tema ”Wajah Islam Nusantara”) [di akses 28 Februari 2015].








[1] Selain melalui pendidikan, masih terdapat lima saluran-saluran masuknya Islam ke Indonesia, antara lain: (1) Perdagangan. Pada taraf permulaan, proses Islamisasi terjadi melalui perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 hingga ke-16 M membuat para pedagang-pedagang Muslim–Arab, Persia, dan India–turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan Timur Benua Asia; (2) Perkawinan. Secara ekonomi, para pedagang Muslim memilki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan kaum pribumi, hal ini membuat penduduk pribumi tertarik kepada para saudagar-saudagar Muslim itu, tak terkecuali putri-putri bangsawan. Sebelum melakukan perkawinan, mereka (penduduk pribumi) diIslamkan terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan mereka semakin meluas; (3) Tasawuf. Pengajar tasawuf atau sufi istilah lainnya, mengajarkan ajaran (ke-Islaman) dengan mengkombinasikannya dengan ajaran-ajaran agama terdahulu yang sudah lama dianut oleh masyarakat tersebut, sehingga agama Islam ini mudah diterima dan dimengerti. Belum lagi dengan cara-cara penyampaiannya yang dilakukan secara ramah dan tidak memaksa; (4) saluran Islam lainnya dilakukan melalui kesenian. Kesenian yang paling terkenal pada masa itu ialah kesenian wayang yang di motori oleh Sunan Kalijaga. Melalui kesenian itulah Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dengan mengubah cerita-cerita pewayangan dengan cerita-cerita yang bernafaskan ke-Islaman (dakwah); (5) Terakhir adalah melalui saluran politik. Di Maluku dan Sulawesi Selatan misalya, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh dan kewibawaan seorang raja sangat membantu tersebarnya agama Islam di daerah ini. Proses penyebaran Islam semacam itu biasa juga disebut bersifat top down. Selain itu, proses Islamisasi melalui saluran politik dilakukan juga dengan cara penaklukan kerajaan-kerajan no-Islam oleh kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak menaklukan Kerajaan Majapahit di Jawa. Kendatipun demikian, saluran Islamisasi dengan cara penaklukan ini kurang begitu kentara dalam penyebaran Islam di Indonesia.  (Yatim, 2008: 201-203).              
[2]  Pigeaud dan de Graf menyatakan bahwa pada awal abad ke-16 pesantren merupakan jenis pusat Islam kedua, setelah mesjid (Pigeaud: 1974; Lubis dkk, 2011: 29 )
[3] Dalam tradisi ajaran Hindu dikenal sistem kasta sosial, bereda dengan tradisi yang terdapat pada agama Islam yang lebih bersifat egaliter atau tidak mengenal kasta sosial. Barangkali cara pandang semacam ini yang menjadi salah satu faktor perbedaan dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk  dalam sistem pendidikannya. Kendatipun demikian, namun di pesantren ini biasanya seorang anak menak/priyayi diperlakukan agak istimewa dibanding dengan anak-anak dari golongan rakyat biasa seperti diberikan guru yang khusus. Walaupun dalam pergaulan sehari-hari, anak menak berbaur dengan santri-santri dari golongan rakyat biasa. Pada saat liburan santri-santri rakyat biasa tidak pulang ke rumahnya, tetapi ia bekerja di sawah atau lading tetangga di sekitar Pesantren untuk mendapatkan makan. Sedangkan anak menak diperbolehkan pulang ke rumahnya menemui keluarganya. Bagi anak menak sebagai calon pemimpin rakyat di masa depan, pesantren tidak hanya berfungsi untuk mencari ilmu agama saja. Di Pesantren mendapat tempaan mental pula. Agar kelak ia menjadi seorang pemimpin yang mampu menghadapi berbagai persoalan yang menimpanya (Alisyahbana, 1954: 16; Mulyana, 2000: 13).
[4] Istilah pondok berasal dari kata funduq, dalam bahasa Arab berarti hotel atau asrama (Dhofier, 2011: 41).
[5] Proses pengajaran yang dilakukan secara individual ini sering disebut sorogan. Hakikatnya metode pengajaran semacam ini berupa hapalan, biasanya hapalan surat-surat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab bahasa Arab. Selain sorogan, metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren menggunakan sistem bandungan atau wetonan. Dalam sistem ini seorang santri yang berkelompok–minimal terdiri dari 5 orang santri–mendengarkan pemaparan seorang kyai yang membaca, menerangkan, dan menerjemahkan materi ke-Islaman dan ada pula buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Metode pengajaran seperti ini sering juga disebut kelas musyawarah atau pengajaran kelompok.    
[6] Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Studi Kasus: Gerakan Sosial di Indonesia.
[7] Sebenarnya, pemberontakan ini merupakan respon dari umat Islam Banten yang berusaha melepaskan diri dari penerapan sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1830-1870. Pemberontakan yang dimotori oleh santri ini terjadi pada 1834, 1836, 1842, dan 1849, kemudian bangkit lagi pada 1880 dan 1888.
[8] Menurut Badri Yatim (2008: 254) dalam rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan bangsawan. Sikap tersebut bertujuan untuk me-westernisasikan penduduk pribumi. Dalam pandangan Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah ke arah dunia modern itu. Para lulusan sekolah ala Belanda diharapkan menjadi partner dalam kehidupan sosial-budaya. Snouck Hurgronje memang menginginkan kesatuan Indonesia dan Belanda ke dalam satu ikatan Pax-Neerlandica. Maka dari itu, dalam lembaga pendidikan ala Belanda tersebut, bangsa Indonesia harus bisa mengikuti dan berasosiasi dengan kebudayaan Belanda. Menurutnya, pendidikan ala Belanda (barat) adalah alat yang paling ampuh untuk mengalahkan pengaruh dan kekuatan Islam di Indonesia (Perhatikan juga Kusdiana, 2013: 2). 
[9] Ordonansi Guru dikeluarkan pada 1905, namun diubah pada 1925 (Suminto, 1985 :30).
[10] KH. Zaenal Mustafa dilahirkan di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang; Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasimalaya. Sewaktu kecil KH. Zaenal Mustafa bernama Umri dan sering uga dipanggil Hudaemi (Lubis, 2006: 118).
[11] Menurut KH. Said Aqil Siradj dalam “Film Dokumenter Perjuangan Nahdlatul Ulama” (koleksi pribadi), Jepang memenjarakan KH. Hasyim Asy’ari selama 1 bulan. Selama ditahan, beliau mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh Jepang, sehingga tangan kanannya mengalami gangguan (patah).  
[12] Menurut Yusuf Abdulah (Dosen Unisba), KH. Zaenal Mustafa adalah alumnus Pesantren Tebuireng Jombang. Itulah sebabnya kenapa ia memilih Nahdlatul Ulama sebagai landasan oranisasinya. Pernyataan ini diperkuat oleh keterangan dari KH. M. Dahlan yang merupakan Ketua I PBNU, 5 September 1966 (Suryanegara, 1996: 271).
[13] Nama Biru di sini mengacu pada nama daerah di mana pesantren tersebut berada, Kampung Biru.
[14] KH. Badruzzaman diperkirakan lahir sekitar 1900-an. Ia adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Sebagai pewaris darah biru santri, ia mendapatkan belajar tentang keislaman bermula dari ayahnya (KH. Asnawi Faqieh) Garut. Kemudian ia belajar pada KH. R. Qurtubi (Pesantren Pangkalan), selanjutnya kepada KH. Bunyamin (kakaknya) di Ciparay Bandung, ke pesantren Cilenga Tasikmalaya, dan Pesantren Balerente Cirebon (Lubis dkk., 2011: 119).
[15] Cara untuk meningkatkan mental para pejuang melalui serangkaian kegiatan spiritual yang diiringi dengan amalan-amalan (wirid) tertentu.
[16] Malayu merupakan basecamp tentara Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *