Senin, 12 Oktober 2020

 


Wacana perubahan kurikulum pendidikan kembali mengemuka. Hal itu mencuat setelah beredarnya draft “Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tertanggal 25 Agustus 2020” yang tersebar dibeberapa grup Whatssap beberapa hari lalu.

Ada salah satu poin yang layak untuk dicermati atas draft tersebut, tentang keberadaan mata pelajaran sejarah pada jenjang SMA/SMK. Pertama, posisi mata pelajaran sejarah untuk kelas X diintegrasikan ke dalam IPS Terpadu bersama rumpun ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, geografi dan ekonomi. Seperti pada jenjang SMP.

Kedua, hilangnya mata pelajaran sejarah wajib Indonesia, baik untuk kelas X, XI dan XII. Adapun sejarah (umum; Indonesia dan dunia) sebagai mata pelajaran secara mandiri atau terpisah ditawarkannya di kelas XI dan XII. Itu pun ditempatkannya sebagai mata pelajaran pilihan. Ini yang kemudian menjadi riak dan dianggap masalah oleh guru, dosen dan pemerhati sejarah. Para budayawan juga turut menyoal wacana ini.

 

Penting

Pembelajaran sejarah (khususnya sejarah Indonesia) di sekolah memiliki peranan yang amat penting. Sejarah sebagai sarana edukasi mengandung banyak nilai untuk kemudian diterapkan di masa kini dan masa mendatang. Apalagi sekarang ini, dimana sebagian besar dari kita sudah lali ka purwadaksina, hilap ka wiwitanna akibat gempuran globalisasi.

Dihadapkan pada perang urat saraf sesama anak bangsa akibat perbedaan identitas atau pilihan politik, menguatnya etnosentrisme dan xenosentrisme daripada nasionalisme, dan beberapa sikap lain, seolah-olah kita ini kehilangan pijakan atas nilai-nilai luhur yang selama ini dianut.

Pembelajaran sejarah di sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengenal bagaimana perjalanan negara dan bangsanya, seperti apa dinamika-dinamika yang mengitarinya. Bagaimana kita akan menjadi orang yang Indonesianis atau berjiwa Pancasilais, jika kita tidak mengetahui apa itu Indonesia dan apa itu Pancasila?

Maka, saya sepakat dengan yang Herbert Hoover katakan, bahwa “tujuan dari sejarah itu adalah dunia yang lebih baik”. Michael Crihcton pun pernah berkata, “bila Anda tidak tahu sejarah, maka tidak akan tahu apa-apa, seperti Anda yang tidak tahu bahwa daun bagian dari pohon”. Pun Ahmad Mansyur Suryanegara (2010) mengungkapkan “jika sejarawan membisu, maka suramlah masa depan suatu bangsa”.

Hal itu menunjukkan, betapa sejarah menjadi teramat penting keberadaannya bagi kehidupan berbangsa. Maka menjadi kurang elok bila mata pelajaran sejarah Indonesia yang termuat dalam draft kurikulum 2020 ini direduksi untuk SMA, bahkan dihilangkan di SMK.

Mungkin saja sebagian orang atau pihak beranggapan sejarah itu tidak penting. Namun tanpa disadari, mereka yang apatis sekalipun, dalam konteks-konteks tertentu memerlukan sejarah, karena sejarah itu takdir. Ia akan melekat dalam hidup manusia yang kemudian nilai gunanya dapat difungsikan sesuai keperluannya.

Sebagaimana tiap orang memerlukan sejarah untuk mengetahui masa lalu dan sebagai landasan mengemukakan pendapatnya. Seorang politisi akan membutuhkan sejarah sebagai alat legitimasi politik. Begitu pula seorang birokrat, ia menjadikan sejarah sebagai pendidikan kebijakan. Atau seorang pembaharu yang akan menjadikan sejarah sebagai alat perubahan.

Bahkan, negara atau pemerintah pun menjadikan sejarah sebagai sarana membangun dan memperkuat jati diri bangsa/identitas nasional. Yang salah satunya salurannya didistribusikan melalui lembaga pendidikan bernama sekolah.

Pertanyaannya, ketika sejarah di sekolah (SMA) dicampakkan, bagaimana nilai-nilai itu dapat ditransformasikan kepada diri siswa yang kemudian digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Merespon isu

Terdorong atas keresahan itu, Ikatan Alumni Pendidikan Sejarah UPI menyelenggarakan kegiatan webinar berjudul “Matinya Sejarah: Kritik Atas Rancangan Kurikulum 2020”, Kamis (17/09/2020).

Kegiatan webinar ini menjadi proses tabayun, antara insan sejarah dengan pihak Kemendikbud yang diwakili langsung oleh Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud RI, Maman Faturahman.

Kegiatan tersebut diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta, terdiri atas guru-guru sejarah, dosen, peneliti, hingga mahasiswa sejarah dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, ada pula yang hadir dari Malaysia, Singapura dan Australia. Banyaknya peserta yang hadir menunjukkan betapa mereka memiliki kegelisahan yang sama, seandainya draft kurikulum tersebut direalisasikan.

Sejak kegiatan webinar hingga tulisan ini dibuat, sedikit pun tidak bermaksud mengedepankan sisi subjektif (selaku orang sejarah) yang khawatir berdampak pada berkurangnya jumlah jam mengajar di sekolah-sekolah atau hal-hal lain yang menyangkut materi.

Namun, kegelisahan ini semata-mata didasarkan pada sikap dan tanggungjawab selaku warga negara, juga sebagai “pewaris peradaban” yang tidak ingin melihat bangsa ini menjadi jati kasilih ku junti.

Oleh karena itu, diharapkan pemerintah dapat meninjau kembali draft penyederhanaan kurikulum 2020 itu, terutama poin penghapusan mata pelajaran sejarah wajib Indonesia dan/atau penempatannya ke dalam mata pelajaran pilihan. Tempatkan mata pelajaran sejarah Indonesia secara proporsional, terpisah dan wajib di SMA/SMK. Dengan demikian, kelak negeri ini akan tercatat dalam lembar sejarah, sebagai negeri yang tidak meremehkan sejarah. Wallahu’alam bisshawab. ***


Terbit pada 22 September 2020, di Harian Umum Pikiran Rakyat.

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *