Penulis: Tia Dwi Nurcahya
Penyunting: Galun Eka Gemini
Terbit pada Jurnal Patanjala: Balai Pelestarian Nilai Sejarah-Budaya; Kemendikbud., Vol. 6 No. 3 September 2014.
ABSTRAK
Penelitian ini menggambarkan gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip terhadap Pemerintah Republik Indonesia tahun 1947 di Kabupaten Majalengka. Untuk merekonstruksi permasalahan ini digunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sedangkan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data digunakan studi literatur dan wawancara, yaitu mengkaji sumber-sumber literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji dan mewawancarai saksi sejarah atau pelaku sejarah sebagai narasumbernya.Tujuan penelitian ini adalah mengungkap gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip di Kabupaten Majalengka tahun 1947. Berdasarkan hasil penelitian di dapat beberapa simpulan: pertama, Haji Sarip melakukan gerakan protes terhadap pemerintah RI dan desa akibat dari kebijakan yang diambil pemerintah RI, yaitu kebijakannya India Rice (penjualan beras ke India dengan harga murah); kedua, Haji Sarip menganggap Pemerintah RI 1947 sudah gagal dan menyiakan-nyiakan hidup masyarakatnya sendiri, sehingga Haji Sarip akan merubah tatanan pemerintahan dan menggantikannya dengan pemerintahan baru, yang berlandaskan sama rata-sama rasa, sama warna-sama bangsa dan benderanya putih hitam; ketiga, setelah Haji Sarip melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan cara melakukan provokasi terhadap masyarakat Kabupaten Majalengka, masyarakat dan pemerintah tidak tinggal diam, melainkan masyarakat bersikap anti-pati terhadap Haji Sarip dan pemerintah RI menindak Haji Sarip dengan tuduhan, membangkang pemerintah, meresahkan masyarakat, menghina tentara dan menjalankan penipuan.
Kata kunci: Gerakan protes, Haji Sarip, Majalengka
A. PENDAHULUAN
Pasca proklamasi kemerdekaan, muncul suasana revolusi yang bergejolak di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia dari tangan Sekutu yang hendak bercokol kembali di Indonesia. Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari tangan Sekutu, berbagai upaya dilakukan oleh rakyat Indonesia dari adu otak sampai adu otot, dari angkat bicara sampai angkat senjata.
Pemerintahan Indonesia yang pada waktu itu baru berdiri dan mulai merintis kebijakan-kebijakan politiknya, sudah dihadapkan lagi pada permasalahan baru dengan kedatangan pasukan Sekutu yang membonceng NICA. Kedatangan sekutu ke Indonesia diikuti dengan menerapkan kebijkan-kebijkannya yang merugikan rakyat Indonesia. Akibatnya, menyebabkan keadaan sosial, ekonomi, politik bangsa Indonesia tidak stabil. Salah satu kebijakan Sekutu yang merugikan bangsa Indonesia, seperti adanya blokade ekonomi dari Belanda.
Untuk mengatasi blokade ekonomi Belanda, pada 1946, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dikenal dengan istilah India Rice. Kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat Indonesia. Indonesia menjual beras ke India dengan harga murah dengan harapan adanya timbal balik (simbiosis mutualisme) yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia yaitu India mengakui di dunia internasional tentang perjuangan bangsa Indonesia. Kemudian sebagai bentuk jalinan kerjasamanya dengan Indonesia, selain mengakui perjuangan bangsa Indonesia, pemerintah India juga mengirimkan pakaian ke Indonesia sebagai bentuk kerja samanya (Sudiyo, 2002: 113).
Namun, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia mengenai India Rice mendapatkan protes dari rakyat Indonesia sendiri, adanya kebijakan tersebut pada akhirnya menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat terutama di daerah-daerah pelosok Indonesia yang umumnya dikenal dengan sebutan gerakan rakyat atau revolusi sosial. Kendatipun demikian, sebenarnya permalasahan tersebut bukan satu-satunya alasan rakyat untuk melakukan revolusi sosial. Faktor lain yang memicu adanya gerakan protes ini adalah persaingan para elit-elit lokal dalam pemerintahan. Haji Sarip sebagai pemimpin dalam gerakan ini menghendaki adanya perubahan dalam sistem pemerintah Indonesia khususnya mulai dari pemerintahan setempat dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan lama dengan sistem yang baru yang ia hendaki.
Lucas (1989: 141) menyebutkan alasan lainnya yang mendasari terjadi revolusi sosial atau gerakan masyarakat adalah diakibatkan oleh persaingan politik elite-elite lokal setempat, sebagai contoh, perlawanan di daerah Pekalongan dan Brebes sebagai bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemimpinnya yang tidak dapat mengurusi rakyatnya. Akibatnya, menuntut adanya pergantian sistem pemerintahan dari sistem yang dinilai lama menuju sistem yang baru.
Hal senada diungkapkan Ricklefs (2008: 440), ia menyebutkan gejolak revolusi sosial di daerah-daerah pedesaan bukan untuk mempertentangkan sistem kelas-kelas sosial, karena kelas sosial yang rendah jarang menumbangkan kelas yang dominan. Kebanyakan revolusi sosial diakibatkan oleh persaingan antar elite-elite alternatif lokal, kelompok-kelompok kesukuan atau kemasyarakatan dan antar generasi.
Pada perkembangannya, konflik atau revolusi sosial seperti di daerah Brebes, Pemalang, dan Tegal yang terjadi pada 1945 memberikan efek domino terhadap daerah-daerah lain di Pulau Jawa.
Pada tahun 1947, di Keresidenan Pekalongan, terjadi gerakan serupa untuk memprotes dan menuntut pemerintah setempat untuk merubah sistem pemerintahan lama yang dipandang tidak dapat mensejahterakan rakyatnya. Di Pekalongan muncul kelompok yang disebut Lenggaong. Lenggaong merupakan bagian penting dari tradisi ini dan mempunyai banyak tokoh ”bandit” terkenal. Sama seperti hal nya priayi, Lenggaong pun berusaha mendapatkan kekuatan spiritual (Lucas, 2004: 191).
Di daerah Jawa Barat, kejadian semacam ini salah satunya terjadi di Kabupaten Majalengka yaitu Gerakan Protes Haji Sarip tahun 1947. Haji Sarip dalam protesnya mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan kehidupan. Awalnya, ajakan Haji Sarip disambut baik oleh masyarakat setempat, sebagaimana dari keterangan saksi hidup atau pelaku sejarah yaitu H. Kusnan (83 Tahun). Beliau mengungkapakan bahwa Haji Sarip datang dari Purwekerto, awalnya masyarakat Desa Burujul Wetan, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka menerimanya karena gagasan Haji Sarip membuat organisasi (Barisan Banteng) yang dinilai oleh masyarakat pada saat itu adalah merupakan sebuah alat revolusi untuk melawan Belanda, akan tetapi sebaliknya Haji Sarip membuat organisasi (Barisan Banteng) tujuannya untuk melawan pemerintah Republik Indonesia dan pamong desa.
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas. Adapun permaslahan pokoknya adalah “Mengapa Haji Sarip melakukan protes terhadap pemerintah pada tahun 1947?”. Untuk memudahkan dan mengarahkan dalam pembahasan, maka diajukan beberapa pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: (1). Apa yang melatarbelakangi Haji Sarip melakukan protes terhadap pemerintah di Kabupaten Majalengka pada tahun 1947?; (2). Bagaimana upaya Haji Sarip menghimpun massa dalam melakukan gerakan protes terhadap pemerintah di Kabupaten Majalengka 1947?; (3). Bagaimana reaksi masyarakat terhadap gerakan protes Haji Sarip pada tahun 1947?
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian adalah untuk mengungkap sekaligus memberikan gambaran tentang bagaimana gerakan sosial ini muncul dalam kondisi yang cenderung kompleks dengan berbagai sebab-musababnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya khazanah mengenai gerakan atau protes sosial yang terjadi Indonesia pada umumnya. Di Jawa Barat, bahkan Kabupaten Majalengka pada khususnya.
Dalam mengkaji penelitian atau permasalahan yang akan dibahas, peneliti menggunakan literatur terdahulu sebagai sumber rujukan dalam penelitian ini. Walaupun pada prinsipnya, sumber-sumber yang menjelaskan mengenai peran atau gerakan protes Haji Sarip secara eksplisit sangat sedikit untuk ditemukan. Tapi, peneliti mencoba memanfaatkan sumber-sumber yang sudah ada yang di dalamnya menyinggung mengenai sosok Haji Sarip. Buku pertama, berjudul Riwayat Perjuangan K.H. Abdul Halim, karya Miftahul Falllah.Walaupun secara judul besar buku tersebut membahas tentang riwayat K.H Abdul Halim, tetapi di dalamnya sedikit nya membahas tentang perlawanan Haji Sarip di Desa Burujul Wetan. Gerakan yang dilakukan oleh Haji Sarip itu sangat bertentangan dengan perjuangan K.H Abdul Halim, dan menurut buku tersebut diterangkan bahwa gerakan yang lakukan oleh Haji Sarip adalah gerakan bersifat millenaristis serta mencoba mengajak masyarakat Burujul Wetan (Majalengka) mendukung upaya menggantikan tatanan Pemerintahan sekarang dengan yang baru.
Literatur lainnya yang dijadikan bahan acuan dalam penelitian ini adalah berbentuk Jurnal, karya Agus Mulyana dengan judul Pergumulan Elite Sunda pada Masa Revolusi: Kasus Berdiri dan Bubarnya Negara Pasundan, 1947-1950, diterbitkan oleh Historia.Jurnal ini menjelaskan tentang revolusi sosial di Jawa Barat dan persaingan antar elite Sunda pada tahun 1947-1950. Antara kaum menak dan kaum biasa, kaum menak biasanya diidentikan dengan seorang penguasa atau pemimpin yang mampu mengerahkan massa sedangkan kaum biasa adalah kaum yang hanya mengikuti saja kaum menak yang artinya kaum biasa tidak mempunyai pengaruh di dalam masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya, Jurnal yang ditulis oleh Susanto Zuhdi yang berjudul Antara Sewaka dan Soeria Kartalegawa: Dinamika Politik Pemerintahan di Jawa Barat pada Masa Revolusi Indonesia, diterbitkan oleh Historia. Dalam tulisannya Zuhdi menjelaskan tentang permasalahan revolusi pasca kemerdekaan Indonesia, yang pada waktu itu dimana aktivitas manusia lebih pada mengandalkan emosi dan rasionya saja. Suasana seperti itu mengantarkan individu atau kelompok sosial untuk memilih antara pro pemerintah Indonesia atau kontra pro terhadap pemerintah Belanda. Seperti hal nya yang dilakukan oleh Kartalegawa dan Sewaka di Jawa Barat, bahwa pilihan seseorang itu banyak ditentukan oleh orientasi pribadi, latarbelakang pendidikan dan pengalaman sosial yang pernah dilalui.
Selain buku dan jurnal penulis juga menggunakan Skripsi yang ditulis oleh Deni Kuniadi yang berjudul Keresidenan Priangan pada Masa Revolusi Tinjauan di Bidang Politik dan Militer (Dari Proklamasi hingga Hijrah). Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dalam tulisannya Kurniadi menjelaskan tentang pembentukan badan-badan perjuangan setelah kemerdekaan, seperti BKR dan badan-badan kelaskaran lainnya. Selain itu juga dalam tulisannya dijelaskan tentang rekasi masyarakat Priangan terhadap tentara-tentara Belanda dan Sekutu pasca kemerdekaan Indonesia.
B. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah merupakan metode yang sesuai untuk melakukan penelitian ini karena data-data yang dibutuhkan menyangkut dengan kehidupan di masa lampau. Widja (1988: 19) mengungkapkan bahwa sejarah yang terutama berkaitan dengan kejadian masa lampau dari manusia, tetapi tidak semua kejadian itu bisa diungkapkan (recoverable), sehingga studi sejarah sebenarnya bisa dianggap bukan studi masa lampau itu sendiri, tapi studi tentang jejak-jejak masa kini dari peristiwa masa lampau. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Gottschalk (2008: 39), yaitu metode sejarah adalah proses menguji, dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Adapun tahapan-tahapan dalam metode sejarah menurut Ismaun (2005: 48-50) terdiri dari empat tahap. Tahap pertama, adalah heuristik atau proses pengumpulan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan topik penelitian; kedua, adalah proses kiritik atau verifikasi. Pada prisnsipnya, tahapan kritik dilakukan untuk memperoleh dan menyaring otentisitas dan kredibilitas sumber-sumber yang telah ditemukan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengkajian terhadap sumber-sumber yang didapat untuk mendapatkan kebenaran sumber; tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu memaknai atau memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh dengan cara menghubungkan satu sama lainnya; tahap terakhir adalah historiografi, yaitu menyusun dalam bentuk tulisan dengan jelas, sistematis, dan gaya bahasa yang sederhana menggunakan tata bahasa yang baik dan benar.
Secara histori, istilah gerakan sosial muncul pada abad ke-19 M. Istilah ini pada awalnya diperuntukan dalam menjustifikasi kaum pekerja dalam melakukan protes, mengingat pada saat itu gaung pergesekan antara kaum pemodal dan kelas pekerja sedang santer-santernya. Namun pada perjalanannya, memasuki abad ke 20, istilah gerakan sosial atau protes sosial mengalami pelebaran makna. Isilah tersebut tidak lagi terpaku pada definisi asalnya.
Untuk mempertajam analisis dalam penelitian ini, maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan dari berbagai disiplin ilmu sosial. Sebagaimana yang diungkapkan Kartodirdjo (1992: 2), “Langkah yang sangat penting dalam membuat analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran yang bisa digunakanmelalui konsep atau teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu”. Kaitannya dengan ini, penulis menggunakan pendekatan ilmu sosial perspektif sosiologi dengan memakai teori konflik.
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsionalisme. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternative terhadap teori structural fungsional. Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya (http://etan.org/etanpdf/2006/CAVR/bh/04-RezimPendudukan.pdf) [di unduh, 8 Maret 2014].
Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja (proletar). Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum pemilik modalmelakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran dari kaum pekerja belum terbentuk dan memiliki rasa menyerah diri atau putus asa. Sebaliknya, ketika rasa rendah diri itu telah hilang maka akan muncul pertentangan atau konflik yang disebut dengan gerakan sosial atau gerakan protes.
Selain teori, penulis juga menggunakan sebuah konsep guna mempertajam daya analisis, yakni dengan memakai konsep revolusi. Konsep revolusi biasanya digunakan untuk menelaah gerakan sosial dalam menuntut adanya perubahan sistem, kebijakan pemerintah. Menurut KBBI “revolusi adalah perubahan ketatanegaraan, pemerintah atau keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan seperti dengan perlawanan bersenjata” (Depdiknas, 2008: 1172). Revolusi berasal dari bahasa latin re-volvere, yang artinya menjungkirbalikkan. Revolusi dapat juga dinamakan sebagai persamaan dari perubahan mungkin juga dengan pengertian perubahan dengan tiba-tiba atau perubahan cepat, karena ketika berbicara revolusi biasanya orang akan teringat kepada perubahan.
Revolusi merupakan perubahan secara cepat dan tiba-tiba dalam berbagai aspek dari suatu Negara. Maksudnya mengubah tata nilai yang telah lama dan digantikan dengan sistem yang lain dan bentuknya berlainan sama sekali dengan yang lama.
Dari segi ideologi revolusi dapat diartikan apa yang sesuai dengan cita-cita sendiri dan apa yang bertentangan dengan itu dianggap dengan kontra-revolusi. Suasana atau iklim revolusi berhubungan dengan perasaan umum bahwa hal-hal yang telah lama harus ditinggalkan secara radikal, artinya sampai dengan keakar-akarnya dan merubah sesuatu yang baru dan lebih baik dari yang sudah ada. Revolusi dilakukan dengan sikap secara keras menolak yang lama dan menggantikan dengan yang baru dengan penghargaan yang meluap-luap (Simatupang dalam Frederick. 2005: 76).
Penggunaan konsep revolusi dalam penelitian mengingat ada kemiripan dengan gerakan protes yang dilakukan Haji Sarip ini. Kendati, pada kenyataannya gerakan yang digelorakan oleh Haji Sarip ini relatif tidak menggunakan kekerasan, apalagi melakukan gencatan senjata sebagaimana peristiwa-peristiwa lainnya yang pernah terjadi di Indonesia. Korelasi konsep revolusi dengan penelitian ini dilihat dari tujuan gerakan protes yang menghendaki adanya perubahan dalam sistem pemerintahan dari sistem yang dinilai lama menuju sistem baru yang ia yakini (sosialis-komunis) sebagai sebuah kebenaran.
C. HASIL DAN BAHASAN
1. Latar Belakang Peristiwa
Meletusnya Gerakan protes yang dilancarkan Haji Sarip di Kabupaten Majalengka sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konstelasi politik Indonesia pada saat itu. Keadaan politik Indonesia yang belum stabil di awal kemerdekaan dan diperparah dengan kehadiran sekutu ke Indonesia sambil menggandeng NICA,semakin memperburuk keadaan sosial, politik, ekonomi, bangsa Indonesia. Di bidang ekonomi, Belanda memblokade ekonomi Indonesia, sehingga akses atau pintu kerjasama, perdagangan, Indonesia dengan pihak luar terhenti. Sejak itu, Indonesia mengalamai inflasi yang sangat tinggi dan terjadi kekosongan kas negara.
Menanggapi kejadian ini, pada tahun 1946, pemerintah Indonesia di bawah tangan PM Sjahrir mengeluarkan kebijakan untuk menerobos blokade ekonomi Belanda. Keputusan pemerintah ini selanjutnya direalisasikan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan India Rice atau diplomasi beras. Pemerintah berdalih, kebijakan tersebut di keluarkan disamping untuk bertahan dari blokade Belanda, juga untuk meminta dukungan kepada India tentang perjuangan rakyat Indonesia yang mempertahankan kedaulatannya. Penjualan beras dengan harga murah kepada pihak India, dinilai sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian dunia agar mengakui perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya (Sudiyo, 2002:113).
Namun, kebijakan yang diambil oleh pemerintah RI pada kenyataannya,justru menimbulkanpermasalahan baru di kalangan masyarakat. Sebagianmasyarakat berpendapat kebijakan ini tidak mendasar pada keberpihakan rakyat Indonesia. Bagi kelompok yang kontra, kebijakan India Rice yang anggap solusi oleh pemerintah hanya akan memompa aliran tangis rakyat Indonesia dari keterpurukan. Alasan inilah yang mendorong Haji Sarip melakukangerakan protes terhadap kebijakan ini di Kabupaten Majalengka sebagai bentuk keprihatinan atas nasib rakyat secara umum. Haji Sarip menilai kebijakan pemerintah sangat berbanding terbalik dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat luas saat itu, mengingatkebutuhan bangsa kita masih belum tercukupi (ANRI,1947. No. 57/R).
Alasan lain yang memicu adanya gerakan protes yang dipimpin oleh Haji Sarip ialah adanya ketidak puasan terhadap aparatur-aparatur pemerintahan, terutama pemerintah desa yang dulunya kerja kepada Belanda, sekarang diangkat oleh pemerintah sebagai kepanjangan tangan pemerintah Indonesia. Oleh karenanya, gerakan protes ini dapat dikatakan sebagai persaingan para elite-elite desa, antara Haji Sarip-para pamong desa.Sedangkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI adalah sebagai pemicu saja dan dijadikan alat untuk melakukan mobilisasi dan provokasi terhadap masyarakat Jatiwangi dan sekitarnya untuk melawan para pamong desa.
2. Riwayat Singkat Mengenai Haji Sarip
Mengenai riwayat Haji Sarip,berdasarkan hasil wawancara dengan Husein (wawancara, 22 April 2014), Haji Sarip sebenarnya bukan penduduk pribumi Jatiwangi-Majalengka. Ia berasal dari Purwokerto dan pernah tercatat melakukan gerakan yang sama (gerakan protes di Majalengka) di Kabupaten Krawang.Kemudian, Haji Sarip melarikan diri ke wilayah Jatiwangi-Majalengka karena di kejar-kejar oleh aparat keamanan setempat. Masih menurut pemaparan Husein, Haji Sarip termasuk orang yang memiliki pengaruh besar dan dapat menarik hati orang banyak, karena kharismanya yang kuat, sehingga apapun yang dikatakan oleh Haji Sarip, masyarakat segan untuk menolaknya.
Sebelum tiba di Majalengka, Haji Sarip juga terkenal dengan sebutan guru Patarekan Khodariyah-Naksabandi. Selain itu, bulan September 1945, iapernah mendirikan Badan Pembantu Keselamatan Umum (B.P.K.O) di Jakarta, kemudian badan tersebut dilebur menjadi Persatuan Rakyat Marhua Indonesia (Permai). Anggotanya tersebar di beberapa wilayah di Kab. Majalengka diantaranya Kec. Dawuan, Leuwimunding, Jatitujuh, Jatiwangi, Ligung dan Majalengka (ANRI, 1947. No. 58/R).
Di Kabupaten Majalengka Haji Sarip mempunyai orang kepercayaannya yaitu Oesman. Oesman sendiri merupakan ketua RW di salah satu desa di Kab. Majalengka (Desa Brujulwetan), dari pelariannya (Krawang) Haji Sarip diberikan fasilitas rumah dan segalanya oleh Oesman, sampai-sampai Haji Sarip ditikahkan oleh Oesman kepada cucunya yang bernama Retno (anak dari Muhamad Siddik) (wawancara, Husein: 22 April 2014).
3. Jalannya Peristiwa: Propaganda, Aksi Protes, dan Akhir Peristiwa
Untuk melancarkan aksinya dalam melakukan protes kepada pemerintah, bulan Januari 1947, Haji Sarip mendirikan sebuah organisasi Barisan Banteng yang di dalamnya terdapat sayap organisasi bernama pasukan Gaib, kelompok ini mengajarkan tentang “kemanusiaan” yang berideologikan sama-rata sama rasa, sama warna sama bangsa dan benderanya hitam putih (ANRI, 1947. No. 58/R). organisasi inilah yang dijadikan kendaraan oleh Haji Sarip dalam memprotes pemerintah pada saat itu. Adapun anggota dari kelompok Gaib (ANRI, 1947. No. 58/R) di antaranya:
Abdullah (Mandirantjan Kab. Kuningan)
Taska (Indramajoe)
Kamar (Indramajoe)
Dajat (Indramajoe)
Kodja, Wardi, Karja (Majalengka)
Atma (Majalengka)
Asdijah (Majalengka)
Dardja (Majalengka)
Soekardi (Majalengka).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok Barisan Banteng tersebar bukan hanya di Kabupaten Majalengka melainkan ke seluruh Keresidenan Cirebon. Namun, karakteristik masyarakat Kab. Majalengka yang banyak sekali buruh dan petani sangat memungkinkan untuk menyebarkan faham yang Haji Sarip anut. Oleh sebab itu, Kab. Majalengka dipilih sebagai pusat dalam pembentukan kelompok Barisan Benteng.
Tugas dari kelompok Barisan Benteng-Pasukan Gaib adalah melakukan gerakan protes terhadap Pemerintah RI dan desa serta melakukan provokasi-agitasi terhadap masyarakat sekitar Kab. Majalengka untuk ikut dalam kelompoknya dan melakukan gerakan protes terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah RI dan menggantikannya dengan tatanan yang baru. Melalui media perkumpulan-perkumpulan dan penyebaran pamflet yang berisikan“Pemerintah RI tidak adil memberi beras ke India, sedangkan rakyat masih kelaparan. Strategi atau usaha-usaha yang dilakukan oleh Haji Sarip beserta anggotanya dalam upaya mencari massa untuk melakukan gerakan protes terhadap Pemerintah, baik terhadap Pemerintah RI atau pemerintah desa” (wawancara, Husein: 22 April 2014).
Usaha lain dalam mempropaganda masyarakat, Djaidin (wawancara, 23 April 2014) menjelaskankan, Haji Sarip menyebarkan doktrin-doktrin kepada masyarakat dengan meng-klaim dirinya sebagai ratu adil yang memberikan pemahaman-pemahaman bahwa dirinya sebagai juru selamat yang artinya siapapun yang ikut dalam kelompoknya niscaya kebahagiaan akan datang dan segala bencana dihindarkan. Selain doktrin ratu adil yang diberikan kepada para anggotanya, ada doktrin lainnya yang Haji Sarip berikan kepada para anggotanya doktrin itu adalah tentang sama rata sama rasa, sama warna sama bangsa. Dari doktrin sama rata sama rasa ini Haji Sarip seenaknya menyuruh anggotanya untuk membawa segala macam bahan-bahan makanan, karena yang diajarkan oleh Haji Sarip keanggotanya tentang kemanusiaan bahwa semua manusia itu sama tidak ada yang miskin dan yang kaya, tanpa adanya stratifikasi sosial, sehingga yang punya hewan ternak dan sawah berlebihan harus dibagikan kepada yang kekurangan dan membutuhkan.
Pemaparan Djaidin di atas diperkuat oleh Kusnan (wawancara, 22 April 2014), ia menyebutkan bahwa doktrin yang disebarkan kepada masyarakat oleh Haji Sarip adalah Sama rata sama rasa; Sama warna sama bangsa; dan Benderanya putih-Hitam. Hasil wawancara ini semakin diperkuat dengan dokumen yang tertera dalam (ANRI, 1947 No. 58/R) :
“Sama warna sama bangsa artinja, bahwa orang hidup di dunia ini semua sama sadja asal dari Adam. Djadi, Belanda, Arab, Tionghoa dan lain-lain, berhak hidup djuga di dunia ini. Kita sebagai hamba Allah haruslah memegang peri kemanusian, tidak boleh saling membunuh meskipun orang itu Belanda. Oleh karena itu kita tidak perlu memanggul senapan, tidak menjadi tentara untuk membunuh bangsa2 lain”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pula bahwa pemikiran yang dianut oleh Haji Sarip mengarah pada Sosialisme-Komunis, tidak jauh berbeda dengan Haji Misbach di era 1930-an. Haji Sarip menginginkan adanya sebuah perubahan tatanan Pemerintahan baik secara sosial ataupun politik. Secara sosial, Haji Sarip menginginkan tidak adanya kelas dikalangan masyarakat, karena adanya sistem kelas mengakibatkan perbedaan dan dalam perbedaan itu selalu adanya konflik. Di aspek politik, Haji Sarip menginkan adanya perubahan tatanan Pemerintah baik Pemerintah RI maupun desa. Tetapi sebenarnya gerakan protes Haji Sarip ini lebih cocok yaitu gerakan protes terhadap Pemerintah desa, karena gerakan protes yang dilakukan oleh Haji Sarip dan para anggotanya sering membuat resah Pemerintah desa. Sebagai contoh Haji Sarip dan para anggotanya sering menolak semua kerja yang diadakan oleh desa, mengejek para pamong desa dan akan mendaulat kepala desa (ANRI, 1947. No. 58/R). Sehingga dapat dikatakan bahwa gerakan protes Haji Sarip dalam upaya memprotes kebijakan-kebijakan Pemerintah RI hanya sebatas pemicu untuk menarik massa, sebenarnya tujuan yang paling utama dari Haji Sarip adalah melakukan gerakan protes terhadap Pemerintah desa. Namun, kemungkinan besar gerakan protes Haji Sarip ini dalam perkembangannya dapat menjadi gerakan protes yang besar dan meresahkan masyarakat.
Pada awal pembentukan kelompok Gaib bulan Januari 1947 di Desa Brujulwetan Kec. Jatiwangi Kab. Majalengka (wawancara, Husein: 22 April 2014), kelompok Gaib terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari awalnya hanya satu Kecamatan saja bertambah menjadi enam Kecamatan diantaranya, Kec. Jatiwangi, Kec. Ligung, Kec. Dawuan, Kec. Jatitujuh, Kec. Lewimunding dan Kec. Majalengka (ANRI, 1947. No. 58/R). Menyebarnya gerakan protes Haji Sarip di beberapa wilayah di Kab. Majalengka bukan tanpa alasan, Haji Sarip yang dalam melakukan provokasinya memakai lambang-lambang agama Islam sangatlah efektif dalam menyentuh hati masyarakat Kab. Majalengka, karena masyarakat Kab. Majalengka tergelong religgius pada saat itu, hal itu terbukti dengan banyaknya ulama-ulam dan ustadz di Kab. Majalengka.
Proses penyebaran gerakan protes Haji Sarip dimulai dari Kec. Jatiwangi yang dipimpin oleh Haji Sarip sendiri. Selanjutnya menyebar ke Kec. Jatitujuh yang dipimpin oleh Asdijah; Atma dari Kec. Dawuan, Kardja; Wardi dan Karja merupakan pimpinan di daerah Kec. Majalengka; Dardja pimpinan dari Kec. Leuwimunding dan Soekardi merupakan pimpinan dari Kec. Ligung (Sumber: ANRI, 1947. No. 58/R). Daerah-daerah tersebut merupakan daerah-daerah yang secara aktifitas sosialnya sangat tinggi, sehingga dipandang sebagai tempat yang paling strategis dan efektip untuk melakukan penyebaran atau agitasi (wawancara, Djaidin: 23 April 2014).
Kec. Jatiwangi yang merupakan sekretariat dari kelompok Gaib merupakan penghasil tebu terbesar di Kab. Majalengka selain itu juga banyak terdapat pabrik tebu di Kec. Jatiwangi, sehingga banyak para petani dan buruh pabrik yang bekerja di sana jumlah dari anaggota kelompok Gaib di Kec. Jatiwangi berjumlah 20 orang.
Kec. Dawuan juga secara aktifitas sosial termasuk tinggi pada waktu itu, karena Kec. Dawuan secara geografis berada di sebelah Selatan dari Kec. Jatiwangi, walaupun di Kec. Dawuan ini tidak begitu banyak kebun tebu tetapi ada pabrik-pabrik gula yang berdiri di sana. Sehingga dalam penyebarannya Haji Sarip dan kelompoknya memprioritaskan buruh sebagai target utama dari provokasinya. Buruh pabrik gula yang bekerja di Kec. Dawuan mayoritas penduduk asli Kec. Dawuan terutama masyarakat desa Kasokandel, karena posisi dari pabrik gula tersebut ada di Desa Kasokandel, sehingga hal itu menyebabkan banyaknnya masyarakat desa setempat yang bekerja di pabrik gula (Iyang, 22 April 2014).
Sebenarnya banyak wilayah lain yang secara geografis berdekatan dengan Kec. Jatiwangi selain Kec. Dawuan sebagai contoh Kec. Palasah, tetapi daerah tersebut tidak masuk dalam penyebaran gerakan protes Haji Sarip, karena di daerah tersebut secara aktifitas sosial tidak begitu tinggi hal ini disebabkan oleh tidak adanya pabrik-pabrik gula dan kebun tebu dan masyarakatnya kebanyakan bekerja di luar daerah seperti di Kec. Jatiwangi dan Dawuan.
Dari Kec. Dawuan penyebaran gerakan protes Haji Sarip berlanjut ke Kec. Jatitujuh yang secara geografis terletak di sebelah Utara Kec. Jatiwangi. Secara aktifitas sosial Kec. Jatitujuh sangat tinggi, karena di Kec. Jatitujuh mayoritas pekerjaan masyarakatnya adalah sebagai petani, sehingga daerah tersebut dijadikan target dari gerakan protes Haji Sarip untuk melakukan propaganda terhadap masyarakat. Selain itu, di Kec. Jatitujuh merupakan salah satu daerah yang banyak pengikutnya dari gerakan protes Haji Sarip anggotanya berjumlah kurang lebih 50 orang, jumlah ini lebih besar dari jumlah pengikut di Kec. Jatiwangi yang hanya berjumlah kurang lebih 20 orang (Husein, 22 April 2014).
Kurangnya jumlah pengikut di Kec. Jatiwangi dibandingkan dengan Kec. Jatitujuh disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, gerakan protes Haji Sarip meskipun terletak di daerah Kec. Jatiwangi bukan berarti mendapatkan tempat dihati masyarakat Kec. Jatiwangi, karena sebelum Haji Sarip tiba dan mendirikan organisasi di Kec. Jatiwangi, sudah banyak berdiri organisasi-organisasi yang jelas-jelas pro terhadap Pemerintah RI sebelumnya. Kedua, walaupun Haji Sarip menggunakan titel Haji di Kec. Jatiwangi tidak semata-mata masyarakat mempercayainya, karena di Kec. Jatiwangi pada tahun 1947 sudah banyak ulama-ulama. Sedangkan di Kec. Jatitujuh keadaan masyarakatnya masih dapat dipropaganda dan tidak begitu banyak organisasi-organisasi yang berdiri disana, sehingga hal tersebut memudahkan gerakan protes Haji Sarip dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan gerakan protes Haji Sarip banyak pengikutnya di Kec. Jatitujuh (Djaidin, 23 April 2014).
Gerakan protes Haji Sarip selanjutnya menyebar kedaerah Kec. Ligung yang secara geografis terletak di sebelah Utara dari Kec. Jatiwangi dan Jatitujuh. Di Kec. Ligung ini terdapat pabrik dan kebun tebu, sehingga daerah ini termasuk daerah target dari gerakan protes Haji Sarip guna memprovokasi para petani dan buruh untuk melakukan protes terhadap Pemerintah RI dan Desa. Kekuatan yang paling besar di Kec. Ligung dari kelompok Haji Sarip ini yaitu di Desa. Cibogor yang dipimpin oleh Soekardi, jumlah dari anggota Haji Sarip di Kec. Ligung ada 15 orang dari gabungan antara petani dan buruh (ANRI, 1947. No. 58/R). Gerakan protes Haji Sarip tidak sampai di situ saja dalam perkembangannya, tetapi dalam penyebarannya gerakan ini berlanjut ke Kec. Leuwimunding. Secara geografis Kec. Leuwimunding terletak di sebelah Timur dari Kec. Jatiwangi dan sebelah Selatan Kec. Ligung, secara sosial masyarakat di Kec. Leuwimunding mayoritas bekerja sebagai petani dan hal itu yang menyebabkan Haji Sarip dan para anggotanya melanjutkan propaganda ke daerah tersebut, adapun jumlah anggota kelompok Gaib di Kec. Leuwimunding adalah 30 orang, jumlah ini merupakan jumlah terbanyak kedua setelah Kec. Jatitujuh (Iyang, 22 April 2014).
Terakhir penyebaran gerakan protes Haji Sarip di Kec. Majalengka. Secara geografis Kec. Majalengka terletak di sebelah Selatan dari Kec. Jatiwangi. Di Kec. Majalengka mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai buruh, karena pada tahun 1947 di Kec. Majalengka terdapat bangunan/gudang penyimpanan gula. Jadi, gula-gula yang di hasilkan dari berbagai kecamatan di seluruh Kab. Majalengka dikumpulkan semuanya di gudang yang terletak di Kec. Majalengka, sehingga dengan adanya gudang tersebut setidaknya membutuhkan pekerja yang banyak untuk bongkar muat barang-barang. Hal itu dimanfaatkan oleh Haji Sarip untuk melakukan provokasinya dan mengumpulkan massa yang lebih besar lagi, akan tetapi jumlah anggota di Kec. Majalengka yang dapat direkrut oleh Haji Sarip hanya 10 orang. Hal itu disebabkan karena orang-orang yang bekerja disana adalah para pekerja pabrik yang membawa barang dari Kec. Jatitujuh, sehingga hal itu menyebabkan perekrutan anggota di Kec. Majalengka sedikit (Husein, 22 April 2014).
Gerakan protes Haji Sarip dan para anggotanya dalam kurun waktu tiga bulan dimulai pada bulan Mei sampai dengan Juli 1947 (ANRI, 1947. No. 57/R), berkembang ke beberapa wilayah di Kab. Majalengka seperti yang sudah dijelaskan di atas. Tetapi yang menarik dalam gerakan protes Haji Sarip ini, yaitu dalam penyebarannya diprioritaskan ke daerah-daerah yang memiliki aktivitas sosialnya ramai terutama daerah yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai buruh pabrik dan petani. Apabila melihat dari palsafah yang Haji Sarip provokasikan yaitu berlandaskan kepada sosialis-komunis, sehingga hal tersebut yang melatarbelakangi Haji Sarip melakukan provokasida terhadap masyarakat-masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai buruh dan petani, karena para petani dan buruh itu mudah untuk diprovokasi dan kekuatan massanya cukup besar. Selain itu, gerakan protes Haji Sarip ditujukan kepada orang-orang yang mudah dikendalikan, dalam artian orang-orang yang kosong secara pengetahuan sehingga mudah didoktrin dengan doktrin-doktrin yang Haji Sarip lakukan.
Gerakan protes Haji Sarip yang berkembang cukup besar dalam kurun waktu tiga bulan itu bukan tanpa sebab, karena sesuai yang sudah dijelaskan di atas bahwa Haji Sarip mempunyai anggota yang tersebar di beberapa wilayah Kab. Majalengka yang awalnya berjumlah tujuh orang (ANRI, 1947. No. 58/R), di antaranya di Kec. Jatiwangi, Kec. Ligung, Kec. Dawuan, Kec. Leuwimunding, Kec. Jatitujuh dan Kec. Majalengka. Anggota Haji Sarip yang berjumlah tujuh orang tersebut sering berkumpul di rumah Haji Sarip, dalam perkumpulannya Haji Sarip sering bertukar pikiran tentang permasalahan yang sedang dihadapi, strategi-strategi dalam merekrut anggota dan mendoktrin tentang tujuan dari gerakan protes di Kab. Majalengka. Sehingga dari doktrin-doktrin yang Haji Sarip lancarkan terhadap anggota yang tujuh orang tersebut, selanjutnya menyebar kebeberapa orang lainnya, karena melalui tujuh orang tersebut Haji Sarip dapat menyebarkan doktin-doktin dan alasan-alasan dalam melakukan gerakan protes di Kab. Majalengka. Pada akhirnya gerakan protes Haji Sarip yang awalnya berjumlah tujuh orang menjadi 135 orang (Kusnan, 22 April 2014).
Akhir dari gerakan protes Haji Sarip di Kabupaten Majalengka melemah setalah Haji Sarip ditangkap oleh Pemerintah RI, yang pada akhirnya melemah dengan sendirinya karena ketiadaan sosok pemimpin pengganti yang memiliki kharisma kuat untuk meng-agitasi masyarakat. Haji Sarip ditangkap oleh Pemerintah Indonesia dengan tuduhan sebagaimana yang tertera dalam Arsip Nasional Republik Indonesia No. 57/R tahun 1947
….Provokasi Haji Sariptanggal 6-5-1947 jam 11 siang.
1. Melemahkan perjoeangan.
2. Menghina Tentara.
3. Menghina Pemerintah.
Pertama, Haji Sarip dianggap sebagai orang yang melemahkan perjuangan Pemerintah dalam upaya memepertahankan kemerdekaan dan kedaulatan RI dari tangan sekutu/Belanda, karena pada tahun 1947 keadaan RI masih dalam gejolak revolusi.
Kedua,HajiSarip dianggap sebagai orang yang menghina tentara, karena Haji Sarip menyebarkan isue terhadap masyarakat Kab. Majalengka bahwa yang jadi para tentara itu adalah orang yang dari kampung, orang tidak punya, sehingga kerjanya-pun tidak maksimal. Selain itu, setiap ada jatah beras buat masyarakat selalu diambil oleh para tentara, oleh sebab itu masyarakat sering kekurangan beras (ANRI, 1947. No. 58/R). Tetapi apa yang di isue kan oleh Haji Sarip itu tidak benar, karena pada tahun 1947 tentara belum dapat jatah beras dari Pemerintah RI, dapat jatah beras itu sekitar pada tahun 1955 kalaupun ada jatah buat masyarakat itu semuanya tidak dapat didistribusikan, karena adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah Belanda yang membuat Pemerintah RI kewalahan, seperti contoh salah satunya harus mengganti uang perang (Husein, 22 April 2014). Jadi, sebenarnya isue yang dilontarkan Haji Sarip itu merupakan sebagian cara untuk menggiring pola pikir masyarakat agar ikut dalam kelompoknya dan melakukan protes.
Ketiga, menghina Pemerintah RI dengan dalih bahwa Pemerintah RI sudah tidak dapat mengurusi rakyatnya sendiri, dengan bukti bahwa Pemerintah RI telah menjual beras ke India dengan harga murah, sedangkan rakyat masih kekurangan. Tetapi apabila melihat dari kepentingan politik itu merupakan upaya dalam melaksanakan diplomasi, tujuannya agar India mengakui adanya perjuangan bangsa RI untuk mempertahankan kemerdekaan. Sebenarnya dari ketiga alasan itu sudah jelas bahwa Haji Sarip melontarkan isu-isu tersebut untuk mencari massa agar masyarakat percaya dan ikut serta dalam melakukan gerakan protes terhadap Pemerintah RI.
Dari keterangan di atas jelas bahwa Haji Sarip, terang terangan melakukan gerakan protes terhadap Pemerintah, dengan dalih bahwa Pemerintah sudah tidak dapat menguasai dan mengurus rakyatnya sendiri. Semua alat pemerintah (Tentara) sudah dibantai, sehingga sekarang alat negara adalah rakyat dan kekurangan atau kemiskinan yang terjadi di Kab. Majalengka disebabkan, karena beras itu habis oleh para tentara. Provokasi yang dilancarkan oleh Haji Sarip terhadap Pemerintah mendapatkan perhatian yang sangat serius dari Pemerintah saat itu, sehingga Haji Sarip di tangkap oleh Kepolisisan Keresidenan Cirebon Bagian Keamanan (ANRI, 1947. No. 58/R).
Di samping itu juga, terdapat alasan-alasan gerakan protes Haji Sarip berakhir: pertama, Gerakan protes yang Haji Sarip lakukan kurang familiar dikalangan masyarakat sekitar Kab. Majalengka secara umum. Apabila gerakan sudah tidak lagi populer dan tidak memiliki lagi daya jual, maka ia akan hancur dengan sendirinya karena tidak adanya re-genarasi secara masif; kedua, gerakan Haji Sarip hanya menguntungkan dia pribadi bukan untuk kepentingan halayak umum seperti contoh, dalam setiap perkumpulan masyarakat yang ikut dalam kelompoknya diwajibkan membawa bahan-bahan pokok yang disuruh oleh Haji Sarip, tetapi bahan-bahan pokok yang dibawa oleh para anggotanya dipakai buat kepentingan dia sendiri; ketiga, provaganda terhadap masyarakat kurang maksimal dan munculnya kesadaran masyarakat, karena Haji Sarip di samping merupakan orang pendatang, sehingga sulit untuk memprovokasi masyarakat Kab. Majalengka secara jauh serta ajarannya pun dianggap melenceng dari akidah Islam yang senyatanya. (wawancara, Oi: 23 April 2014).
D. PENUTUP
Gerakan protes Haji Sarip di Kabupaten Majalengka merupakan bagian dari revolusi sosial yang dipicu sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah akibat adanya penerapan kebijakan India Rice dan persaingan para elit setempat untuk merubah tatanan pemerintahan lama dengan sistem pemerintahan baru yang yang berlandaskan asas sosialisme-komunisme.
Gerakan protes Haji Sarip tidak meninggalkan bekas yang berarti bagi masyarakat Kab. Majalengka, karena setelah kemerdekaan, masyarakat Kab. Majalengka lebih terfokus terhadap usaha untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Hal ini dimungkinkan karena jalannya peristiwa yang berlangsung relatif sebentar, ditambah kurangnya juga dukungan dari masyarakat setempat serta ketiadaan pemimpin yang mampu meng-agitasi masyarakat lainnya pasca tertangkapnya Haji Sarip oleh pihak keamanan yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah yang berkuasa (Indonesia).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih untuk saudara, Galun Eka Gemini (Dosen Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Pangeran Dharma Kusuma - Indramayu), yang telah banyak membantu, menemani, dan membimbing proses penelitian ini, mulai dari awal hingga terselesaikannya penelitian. Semoga kebaikanmu menjadi ladang amal di hari akhir nanti dan senantiasa di balas oleh Allah SWT. Amiin...
DAFTAR SUMBER
Arsip
Arsip Nasional. (1947).
Propokasi Haji Sarip Desa Broejoelwetan, Salinan II. Nomor 57/R.
Arsip Nasional. (1947).
Gerak-Gerik Haji Sarip Desa Broejoelwetan, Salinan II. Nomor 58/R.
Buku
Depdiknas.(2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Falah, M. (2008). Riwayat Perjuangan K. H Abdul Halim. Jawa Barat: Masyarakat Sejarawan Jawa Barat.
Frederick, W.H. (2005).
Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia.
Gottschalk, L. (2008).
Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
Ismaun. (2005).
Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: HistoriaUtama Pers.
Kartodirdjo, S. (1984).
Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan.
Kartodirdjo, S. (1992).
Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lucas, A. (2003).
One Soul One Struggle, Peristiwa Tiga Daerah Revolusi dalam Revolusi. Jakarta: Resist Book
Ricklefs, M.C. (2008).
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Sudiyo. (2002).
Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Widja, G. (1988).
Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
Jurnal, dan Skripsi
Mulyana, A. (2000). Pergumulan Elite Sunda pada Masa Revolusi: Kasus Berdiri dan Bubarnya Negara Pasundan, 1947-1950. Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, 1 (1), hlm. 49-57.
Zuhdi, S. (2013). Antara Sewaka dan Soeria Kartalegawa: Dinamika Politik Pemerintahan di Jawa Barat pada Masa Revolusi Indonesia. Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, IV (7), hlm. 79-94.
Kurniadi, D. (2002). Karisidenan Priangan pada Masa Revolusi: Tinjauan di Bidang Politik dan Militer (Dari Proklamasi sampai Hijrah).Skripsi Program Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra. UI.Tidak Diterbikan.
Sumber Internet
Anonyme. “Bagian 4: Rezim Pendudukan”, di akses dari http://etan.org/etanpdf/2006/CAVR/bh/04-Rezim-Pendudukan.pdf, Tanggal 8 Maret 2014.
Sumber Lisan
Djaidin (88 tahun). 2014.
Ex Veteran, Pamong Desa Brujul Wetan, Pelaku Sejarah. Wawancara, Burujul Wetan, 23 April 2014.
H. Husein (90 tahun). 2014.
Ex TNI sekaligus Pelaku Sejarah. Wawancara, Burujul Wetan, 22 April 2014.
H. Kusnan (84 tahun). 2014.
Pelaku Sejarah.Wawancara, Jatiwangi, 22 April 2014.
H. Oi (85 tahun). 2014.
Pelaku Sejarah. Wawancara, Burujul Wetan, 23 April 2014.
Iyang (83 tahun). 2014.
Saksi Sejarah. Wawancara, Burujul Wetan, 22 April 2014.