Selasa, 29 November 2016

Oleh : Galun Eka Gemini


Selama ini sebagian besar masyarakat memandang yang menyangkut persoalan status, kedudukan dan peran perempuan kerap ter-subordinat di bawah kuasa laki-laki. Hal ini setidaknya didasarkan atas kenyataan perbedaan alamiah, genetis maupun aspek biologis antara laki-laki dan perempuan.



Perempuan yang memiliki kodrati organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui, kemudian memiliki peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik adalah hal yang alamiah. Namun persoalannya adalah ketika peran gender perempuan dihargai jauh lebih rendah daripada laki-laki yang pada perkembangannya melahirkan ketidakadilan, pendiskriminasian terhadap kaum perempuan itu sendiri. Lebih jauh lagi, perbedaan peran gender laki-laki atas perempuan acapkali dijadikan sebagai pembenaran untuk ‘memper-sempit’ peran perempuan di hampir setiap bidang terkecuali hanya diperuntukkan pada sektor domestik saja yang disederhanakan menjadi ‘tilu ur’: sumur, dapur, dan kasur. Sumur berarti tugas perempuan adalah mencuci. Dapur berarti memasak dan kasur berarti melayani kebutuhan biologis suami.



Ortner (Sekar, 2009: t.hal.) menyebutkan ketertindasan perempuan, secara antropologis disebabkan oleh sebuah sistem nilai yang diberikan makna tertentu secara kultural. Ortner menempatkan ketertinggalan perempuan pada tataran ideologi dan simbol kebudayaan. Dalam budaya universal, menurut Ortner merupakan manivestasi dari pemahaman antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan memberikan pembedaan antara manusia dan alam. Kebudayaan berupaya mengendalikan dan menguasai alam yang selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Oleh sebab itu kebudayaan berada pada posisi superior dan alam di pihak inferior.


Dalam hubungannya laki-laki dengan perempuan, maka perempuan akan diasosiasikan dengan alam dan laki-laki diasosiasikan dengan kebudayaan. Konsep ini menurut Robbins (1997: 11) hampir mirip dengan konsep orang Turki tentang perempuan, bahwa perempuan diasosiasikan dengan tanah dan laki-laki diasosiasikan dengan benih (padi) sebagai pemahaman atas reproduksi.

Memang pemahaman ini – secara objektif – sebetulnya tidak berlaku di seluruh komunitas masyarakat karena ada juga masyarakat yang ternyata menempatkan status dan kedudukan perempuan secara terhormat jauh sebelum isu kesetaraan gender banyak digaungkan bahkan penempatannya yang lebih tinggi dari kaum laki-laki. Kita sebut saja budaya Sunda klasik (buhun) misalnya.

Jika kita membaca ulang sejarahnya, perempuan Sunda mendapatkan tempat yang luhur.  Sebagai pembuktian kita sering mendengar ada ungkapan-ungkapan: indung tunggul rahayu, bapa tangkal kadarajatan. Artinya, ibu adalah kunci keselamatan, pokok kesejahteraan, bapak adalah pembawa derajat kehidupan. Maksud dari pengertian tersebut adalah tiada kebahagian, keselamatan tanpa do’a seorang ibu. Hal ini diperkuat dengan ungkapan lain indung nu ngandung bapa nu ngayuga, nya munjung lain ka gunung tapi ka indung, muja lain ka sagara tapi ka bapa. Makna penting dari ungkapan ini tersirat tak akan ada anak tanpa seorang ibu dan tentunya seorang bapa. Bila menyanjung hendaknya ke ibu, memuja hendaknya ke bapak. Tetapi di sini kata ibu lebih didahulukan dibanding bapak.

Djaspudin (PR, 02/03/2009) menyatakan konsep ungkapan-ungkapan Sunda di atas sejalan dengan nilai-nilai ke-Islam-an yang diajarkan Sang Junjungan alam, Nabi Muhammad SAW. Dalam Islam juga disebutkan bahwa surga berada ditelapak kaki ibu (bukan bapak). Bahkan sebagai bentuk penghormatannya terhadap perempuan, nama ibu dilisankannya tiga kali baru bapak. Demikian pula dalam budaya Sunda. Ini memperkuat pernyataan Sunda itu Islam dan Islam itu Sunda. Sebab nilai-nilai Sunda yang diajarkan sejak dulu memuat juga atau bernapaskan nilai-nilai ke-Islam-an yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sementara itu, sebagai pengejawantahan atas status, kedudukan dan peran perempuan dalam budaya Sunda buhun dikenalnya nama Sunan Ambu dalam cerita pantun Lutung Kasarung. Sunan Ambu digambarkan sebagai Dewa Wanita di kahyangan yang menjadi simbol keagungan di Buana Agung. Sunan akronim dari susuhunan berarti kepala dan dimaknai sebagai pemimpin atau orang yang sangat dihormati. Ambu padanan dari kata indung (ibu).

Selain Sunan Ambu, dalam cerita pantun Lutung Kasarung, muncul juga nama Nhay Purbasari Ayu Wangi . Diceritakan Ratu Purbasari adalah sosok perempuan Sunda yang cantik lahir-bathin. Kecantikannya memikat dewata; Sang Guruminda, putra Sunan Ambu. Ratu Purbasari kemudian diangkat menjadi penguasa di Kerajaan Pasir Batang menggantikan kedudukan ayahnya (Prabu Tapak Agung). Ia dipilih sebagai ratu karena tatalakunya yang berbudi, penyabar, peduli terhadap somah (rakyat) berbeda dengan kakaknya Nhay Purbararang yang ditokohkan memiliki watak antagonis.  

Nama perempuan  lainnya yang popular dalam pikiran kolektif manusia Sunda adalah
Dayang Sumbi. Nama ini menjadi tokoh sentral  di dalam legenda Sangkuriang. Diceritakan, ia hendak dipinang oleh anak kandungnya (Sangkuriang). Di sini Dayang Sumbi mengajukan beberapa syarat-syarat perkawinan demi mempertankan kehormatannya karena sebetulnya ia tak mau untuk ditikahi oleh anak kandungnya itu. Sebab perkawinan tersebut melanggar pakem sosial-budaya ataupun keyakinannya.

Kisah ini mencerminkan tentang pembenturan dua orang pribadi yang msing-masing yakin akan kebenaran pribadinya. Levy-Strauss (Marlina, t.th: 8) berpendapat tentang struktur dan transformasi yaitu “terjadinya perubahan (transformasi) dalam struktur pada tataran permukaan” bahwa di sini laki-laki tidak dengan sewenang-wenang menjalankan kehendaknya, terbentur pada keyakinan seorang wanita  yang tidak kalah kuatnya dengan keyakinan seorang laki-laki.  Jadi dalam cerita ini disiratkan sudah ada kesejajaran dan kesetaraan antara laki-laki dan wanita, untuk memiliki, mempertahankan prinsip masing-masing kedua pribadi tersebut.

Bila tadi penulis menampilkan tentang sosok imajiner, sekarang akan ditampilkan pula sederet tokoh perempuan Sunda yang secara riil menggoreskan namanya dalam catatan sejarah di Tatar Sunda bahkan juga di Indonesia.   

Misal saja pada periode Kerajaan Sunda, selama sejarah kerajaan di Sunda dikenal satu orang ratu (raja wanita) bernama Nhay Ambetkasih atau Rambutkasih – ada juga yang menyebut Ngambetkasih – dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Pada masa sesudahnya dikenal satu orang pejabat bupati yang diduduki wanita sebagai wakil anaknya, yaitu pejabat Bupati Sumedang Dalem Istri Ratu Ningrat (Pertengahan Abad ke-18). Meski Dalem Istri Ratu Ningrat dipilih menjadi pejabat bupati saat itu sebagai alternatif terakhir dikarenakan tak ada lagi calon laki-laki yang ‘syah’.

Di penghujung abad ke-19 muncul nama Rd. Dewi Sartika. mengenai kisah heroik Dewi Sartika, saya kira siapa yang tak mengenal sosok perempuan Sunda satu ini? perempuan tangguh ini dikenal sebagai perempuan mandiri, visioner dan pandai serta peduli terhadap kaumnya. Kepeduliannya kala itu dilatari oleh kesaksiannya atas ketertindasan perempuan dan hidup dalam kekangan sosial-politik penjajah yang patriarki. Kenyataan itu menggugah hati Dewi Sartika akan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Pendidikan dipandangnya sebagai saluran mobilitas sosial yang efektif untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Pergerakannya itu dimulai dengan mendirikan sakola istri pada 1904. Sebuah lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan  pengetahuan semata tetapi juga keterampilan bagi kaum perempuan. Dengan demikian, para perempuan kala itu bisa hidup sendiri tanpa bergantung kepada suami.

Dari beberapa kisah gemilang tentang perempuan Sunda yang sudah dipaparkan di atas, lantas saya pun sedikit bertanya-tanya mengapa budaya patriarki pun begitu ‘kuat’ dalam benak masyarakat Sunda yang katanya egaliter ini ? Bahkan ada juga manusia Sunda yang secara ‘ekstrem’ memandang rendah perempuan. Ya, memang tidak bisa juga dipungkiri kenyataan itu masih agak mewarnai di alam pikiran urang Sunda hingga terdengar ‘fatsun’ budaya taraje nanggeuh, dulang tinande (tangga bersandar, dulang siap menadah). Memuat makna perempuan harus selalu siap menjalankan kewajiban dan tunduk pada suami.

Untuk menjawab persoalan ini, mau tidak mau, kita juga harus membuka lorong sejarah Sunda saat berada di bawah penetrasi Jawa-Mataram. Model ‘penjajahan’ Mataram itu telah memberikan warna tersendiri dalam memupus pandangan budaya Sunda buhun terhadap perempuan. Keharusan tunduk baik secara politik ataupun kultural kepada mataram selama ratusan tahun (abad 17-18 M) disertai oleh terjadinya transformasi sosial, politik dan budaya dari masyarakat egaliter menuju masyarakat feodal. Harus kita ketahui, bahwa tradisi pada masyarakat feodal yang patriarki penempatan kuasa laki-laki lebih mendominasi dibanding perempuan.

Kendati demikian, yang harus dijelaskan juga di sini adalah penulis tidaklah bermaksud untuk menyalahkan budaya salah satu pihak atau apalagi membandingkannya; mana yang lebih unggul. Agak sedikit riskan juga ‘pendikotomian’ dua budaya tersebut (Jawa-Sunda) karena menyangkut sukuisme. Jadi harap jangan dimasukkan ke dalam hati, apalagi dalam dompet.

Tentu bagi penganut budaya patriarki maupun matriarki sendiri masing-masing memiliki alasan atau landasan filosofisnya mengapa tradisi itu dilahirkan. Sebab ciri mah sa-bumi, cara mah sa-desa, tiap-tiap daerah memiliki adat-budaya sendiri. Penulis percaya pada penganut budaya patriarki sekalipun, upaya ‘membatasi’ peran perempuan pada sektor publik pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan perempuan tetapi sebagai bentuk memuliakan juga melindungi kaum perempuan hingga pada simpulan spiritual-genetis bahwa mbok kuwi pangeran katon,  ibu itu Tuhan yang tampak. Dengan kata lain, perempuan (ibu) bernilai spiritual tinggi, maka kesakralannya harus di jaga dan di tata. Wallahul muwafiq ila aqwaamittoriq. ****
 

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *