Oleh Galun Eka Gemini
Kekalahan Jepang pada
Perang Dunia II memberikan implikasi yang cukup baik secara politis kepada
Indonesia sebagai negara jajahan Jepang. Pasalnya, setelah tersebar berita
Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, kekuasaan di
Indonesia mengalami “Vacum of Power”.
Kejadian itu dijadikan kesempatan oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya tepatnya tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan adalah peristiwa yang menandakan bahwa negara
Indonesia merdeka. Akan tetapi,
peristiwa Proklamasi Kemerdekaan ini belum bisa mengantarkan bangsa Indonesia
merdeka sepenuhnya khususnya kemerdekaan secara de jure (pengakuan dari dunia Internasional).
Sekutu sebagai pemenang
atas Perang Dunia II ternyata tidak menanggapi kemerdekaan Indonesia dengan positif,
Mereka merasa berhak atas penguasaan Indonesia dari tangan Jepang. Pada tanggal
29 September 1945, pasukan Sekutu yang diwakilkan oleh AFNEI (Allied Forces Nederlands East Indies)
mendarat di Jakarta (Tanjung Priok) dibawah pimpinan Sir Philip Christison.
Kedatangan Sekutu ke Indonesia pada awalnya disambut dengan baik oleh rakyat
Indonesia, namun sikap tersebut berubah setelah bangsa Indonesia mengetahui
bahwa kedatangan AFNEI ke Indonesia dengan membonceng NICA (Nederlands Indies Civil Administration).
Secara teoretis, tujuan
kedatangan AFNEI ke Indonesia telah keluar dari mekanisme yang mereka (sekutu)
terapkan, terbukti dengan ambisi mereka yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Padahal tugas Sekutu ke Indonesia adalah hanya untuk membebaskan tahanan perang
yang ditawan oleh Jepang dan melucuti penjahat perang tentara Jepang.
Atas nama untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban, Sekutu mengultimatum agar rakyat Indonesia dilarang
membawa, memiliki, dan mengangkat senjata serta harus diserahkannya kepada
pihak Sekutu. Jika dikritisi ultimatum itu mengandung makna untuk melemahkan
kekuatan rakyat Indonesia sehingga mereka dengan mudah dapat menancapkan
kembali kekuasaannya di wilayah Indonesia.
Dalam menanggapi hal
tersebut, rakyat Indonesia tidak mengindahkan aturan tersebut. Akibatnya, terjadinya
pertempuran-pertempuran di Indonesia untuk melawan pihak Sekutu/NICA seperti pertempuran
yang terjadi di Surabaya tanggal 10 November 1945. Dari penjelasan di atas, kemudian
penulis tergelitik untuk mengajukan sederet pertanyaan, mengapa tanggal 10
November dijadikan sebagai Hari Pahlawan? Apakah pertempuran Surabaya
satu-satunya bentuk perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
Indonesia? Apa dampak positif bagi bangsa Indonesia atas terjadinya peristiwa
tersebut?
Mungkin pertanyaan
tersebut sudah tidak asing lagi bagi sebagian rakyat Indonesia. Disisi lain, pertanyaan
di atas masih terasa asing kehadirannya bagi
mereka yang belum mengetahui secara utuh khususnya yang datangnya dari
kalangan kaum muda dan terpelajar sebagai
generasi penerus bangsa.
Persoalan subtantif,
rakyat Indonesia dalam hal ini Surabaya, menolak kedatangan Sekutu/ NICA bukan
terletak secara penolakan fisik semata melainkan karena kedatangannya dibarengi
oleh misi yang jelas-jelas akan mengancam kedaultan bangsa Indonesia dengan
menguasai kembali wilayah Indonesia.
Pada hakekatnya,
pertempuran Surabaya memiliki nilai historis yang sangat tinggi. Pertempuran
Surabaya merupakan pertempuran yang pertama kali terjadi pasca terbentuknya
negara Republik Indonesia dibanding pertempuran-pertempuran yang lainnya. Kita
ingat bahwa pertempuran Surabaya terjadi pada tanggal 10 November 1945, disusul
dengan Pertempuran Ambarawa tanggal 20 November 1945, kemudian Peristiwa Medan
Area yang terjadi pada tanggal 10 Desember 1945, Bandung Lautan Api 23 Maret
1946, dan seterusnya.
Bukan hanya itu,
orang-orang yang terlibat dalam pertempuran Surabaya mewakili masyarakat
Indonesia, artinya yang terlibat disitu ada juga pemuda-pemuda yang berasal
dari timur Indonesia/luar Surabaya (Jawa).
Manifestasi rakyat
Indonesia khususnya Surabaya atas sikap arogansi Sekutu/NICA diwujudkan dengan
perlawanannya yang bersifat heroik dan berapi-api. Dengan bekal semangat itulah
rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Bung Tomo tidak patah arang untuk memberikan
perlawanan terhadap Sekutu/NICA terbukti dengan terbunuhnya Mallaby yang
merupakan pimpinan Sekutu untuk Surabaya.
Bahkan dalam pidatonya,
Bung Tomo mengajak kepada seluruh pemuda-pemuda yang ada Indonesia mulai dari
pemuda Aceh, Sumatra, Sulawesi sampai Maluku untuk mengambil sikap yang sama,
yaitu untuk mengusir kehadiran Sekutu/NICA di Indonesia. Dapat disimpulkan, bahwa
pertempuran Surabaya telah berdampak besar terhadap perjuangan-perjuangan
bersenjata lainnya di wilayah Indonesia dan sebagai pembentukan jiwa
nasionalisme bangsa Indonesia untuk menentang kembali dominasi Sekutu/NICA di
Indonesia. Sehingga pertempuran Surabaya merupakan barometer dan motivasi bagi
daerah-daerah lain yang ada di wilayah teritorial Indonesia untuk melakukan hal
yang sama.
Dengan demikian, tidak
salah kalau pertempuran seperti itu dapat dikatakan bersifat nasional terutama
pertempuran Surabaya sebagaimana yang sedang penulis soroti ini. Alasannya,
karena tindakan itu dilakukan sebagai ekspresi akan harapannya untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara utuh. Hal itu berarti, tindakan
mereka sebagai perwujudan atas nama cita-cita kemerdekaan bangsa dan negara
Indonesia bukan kemerdekaan yang bersifat kedaerahan seperti halnya
perjuangan-perjuangan yang dilakukan Pangeran Dipenogoro, Thomas Matullesy,
Tuanku Imam Bonjol di masa pra-kemerdekaan.
Alasan historis dan semangat
nasionalisme itulah kemudian pemerintah menjadikan tanggal 10 November
diperingati sebagai “Hari Pahlawan” yang akan selalu kita peringati setiap
tahun sekali.