Sabtu, 10 November 2012

Oleh Galun Eka Gemini

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II memberikan implikasi yang cukup baik secara politis kepada Indonesia sebagai negara jajahan Jepang. Pasalnya, setelah tersebar berita Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, kekuasaan di Indonesia mengalami “Vacum of Power”. Kejadian itu dijadikan kesempatan oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya tepatnya tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan adalah  peristiwa yang menandakan bahwa negara Indonesia merdeka.  Akan tetapi, peristiwa Proklamasi Kemerdekaan ini belum bisa mengantarkan bangsa Indonesia merdeka sepenuhnya khususnya kemerdekaan secara de jure (pengakuan dari dunia Internasional).

Sekutu sebagai pemenang atas Perang Dunia II ternyata tidak menanggapi kemerdekaan Indonesia dengan positif, Mereka merasa berhak atas penguasaan Indonesia dari tangan Jepang. Pada tanggal 29 September 1945, pasukan Sekutu yang diwakilkan oleh AFNEI (Allied Forces Nederlands East Indies) mendarat di Jakarta (Tanjung Priok) dibawah pimpinan Sir Philip Christison. Kedatangan Sekutu ke Indonesia pada awalnya disambut dengan baik oleh rakyat Indonesia, namun sikap tersebut berubah setelah bangsa Indonesia mengetahui bahwa kedatangan AFNEI ke Indonesia dengan membonceng NICA (Nederlands Indies Civil Administration).

Secara teoretis, tujuan kedatangan AFNEI ke Indonesia telah keluar dari mekanisme yang mereka (sekutu) terapkan, terbukti dengan ambisi mereka yang ingin kembali menguasai Indonesia. Padahal tugas Sekutu ke Indonesia adalah hanya untuk membebaskan tahanan perang yang ditawan oleh Jepang dan melucuti penjahat perang tentara Jepang.

Atas nama untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, Sekutu mengultimatum agar rakyat Indonesia dilarang membawa, memiliki, dan mengangkat senjata serta harus diserahkannya kepada pihak Sekutu. Jika dikritisi ultimatum itu mengandung makna untuk melemahkan kekuatan rakyat Indonesia sehingga mereka dengan mudah dapat menancapkan kembali kekuasaannya di wilayah Indonesia.  

Dalam menanggapi hal tersebut, rakyat Indonesia tidak mengindahkan aturan tersebut. Akibatnya, terjadinya pertempuran-pertempuran di Indonesia untuk melawan pihak Sekutu/NICA seperti pertempuran yang terjadi di Surabaya tanggal 10 November 1945. Dari penjelasan di atas, kemudian penulis tergelitik untuk mengajukan sederet pertanyaan, mengapa tanggal 10 November dijadikan sebagai Hari Pahlawan? Apakah pertempuran Surabaya satu-satunya bentuk perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia? Apa dampak positif bagi bangsa Indonesia atas terjadinya peristiwa tersebut?

Mungkin pertanyaan tersebut sudah tidak asing lagi bagi sebagian rakyat Indonesia. Disisi lain, pertanyaan di atas masih terasa asing kehadirannya  bagi mereka yang belum mengetahui secara utuh khususnya yang datangnya dari kalangan  kaum muda dan terpelajar sebagai generasi penerus bangsa.

Persoalan subtantif, rakyat Indonesia dalam hal ini Surabaya, menolak kedatangan Sekutu/ NICA bukan terletak secara penolakan fisik semata melainkan karena kedatangannya dibarengi oleh misi yang jelas-jelas akan mengancam kedaultan bangsa Indonesia dengan menguasai kembali wilayah Indonesia.

Pada hakekatnya, pertempuran Surabaya memiliki nilai historis yang sangat tinggi. Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran yang pertama kali terjadi pasca terbentuknya negara Republik Indonesia dibanding pertempuran-pertempuran yang lainnya. Kita ingat bahwa pertempuran Surabaya terjadi pada tanggal 10 November 1945, disusul dengan Pertempuran Ambarawa tanggal 20 November 1945, kemudian Peristiwa Medan Area yang terjadi pada tanggal 10 Desember 1945, Bandung Lautan Api 23 Maret 1946, dan seterusnya.

Bukan hanya itu, orang-orang yang terlibat dalam pertempuran Surabaya mewakili masyarakat Indonesia, artinya yang terlibat disitu ada juga pemuda-pemuda yang berasal dari timur Indonesia/luar Surabaya (Jawa).

Manifestasi rakyat Indonesia khususnya Surabaya atas sikap arogansi Sekutu/NICA diwujudkan dengan perlawanannya yang bersifat heroik dan berapi-api. Dengan bekal semangat itulah rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Bung Tomo tidak patah arang untuk memberikan perlawanan terhadap Sekutu/NICA terbukti dengan terbunuhnya Mallaby yang merupakan pimpinan Sekutu untuk Surabaya.

Bahkan dalam pidatonya, Bung Tomo mengajak kepada seluruh pemuda-pemuda yang ada Indonesia mulai dari pemuda Aceh, Sumatra, Sulawesi sampai Maluku untuk mengambil sikap yang sama, yaitu untuk mengusir kehadiran Sekutu/NICA di Indonesia. Dapat disimpulkan, bahwa pertempuran Surabaya telah berdampak besar terhadap perjuangan-perjuangan bersenjata lainnya di wilayah Indonesia dan sebagai pembentukan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia untuk menentang kembali dominasi Sekutu/NICA di Indonesia. Sehingga pertempuran Surabaya merupakan barometer dan motivasi bagi daerah-daerah lain yang ada di wilayah teritorial Indonesia untuk melakukan hal yang sama.

Dengan demikian, tidak salah kalau pertempuran seperti itu dapat dikatakan bersifat nasional terutama pertempuran Surabaya sebagaimana yang sedang penulis soroti ini. Alasannya, karena tindakan itu dilakukan sebagai ekspresi akan harapannya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara utuh. Hal itu berarti, tindakan mereka sebagai perwujudan atas nama cita-cita kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia bukan kemerdekaan yang bersifat kedaerahan seperti halnya perjuangan-perjuangan yang dilakukan Pangeran Dipenogoro, Thomas Matullesy, Tuanku Imam Bonjol di masa pra-kemerdekaan.

Alasan historis dan semangat nasionalisme itulah kemudian pemerintah menjadikan tanggal 10 November diperingati sebagai “Hari Pahlawan” yang akan selalu kita peringati setiap tahun sekali.

Know us

Our Team

Tags

Video of the Day

Contact us

Nama

Email *

Pesan *